Oleh: Kholili Hasib
Inpasonline.com-Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan satu poin tentang tujuan pendidikan Nasional. Yaitu: Bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
Dari situ dapat ditarik satu kesimpulang penting. Bahwa iman, takwa dan akhlak mulia menjadi faktor keberhasilan pendidikan Nasional. Intinya, tujuan pendidikan Nasional itu melahirkan manusia yang religius sekaligus sebagai bangsa yang baik. Hal itu tercermin dalam BAB 1 Ketentuan Umum Pasal satu poin “a” yang berbunyi: Pendidikan adalah suaha dasar dan terencana mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Tetapi, yang menjadi pertanyaan apakah ketiga standar tersebut dilaksanakan di lembaga pendidikan Indonesia? Kenyataan yang disaksikan adalah faktor akhlak tidak masuk unsur kelulusan seorang siswa mahasiswa. Standar kelulusan hanya nilai angka untuk materi pelajaran tertentu.
Umum diyakini, bahwa anak yang mendapatkan nilai tinggi di sekolah atau IPK tertinggi di Universitas adalah anak yang sukses belajar. Lebih dari itu, sekolah akan menjadi sekolah favorit bila lulusannya banyak diterima di perguruan tinggi negeri terkenal. Atau lulusan perguruan tinggi banyak diterima oleh perusahan-perusahan besar dengan gaji tinggi. Kuliah pun niatnya mendapatkan gelar dan ijazah. Padahal, jika seorang kuliah dan lulus pasti kampus memberi ijazah dan gelar akademik. Tetapi, taqwa dan akhlak belum pasti.
Jadi mestinya, iman, takwa dan akhlak mulia menjadi tiga standar keberhasilan penyelenggaraan pendidikan, dari dasar sampai perguruan tinggi. Bukan sekedar keberhasilan mencapai angka tinggi dalam penilaian. Jadi, pendidikan sukes itu bila berhasil melahirkan manusia beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. Jika ada pelajar pintar, meraih nilai angka tinggi tetapi akhlak nya buruk, mestinya tidak memenuhi standar lulus. Ia dinilai gagal dalam studi.
Akibat tidak menjadikan tiga standar tersebut dalam pendidikan, maka pendidikan masih menggunakan ukuran-ukuran materi dalam menentukan kesuksesan seorang dalam belajar. Misalnya, dalam penyelenggaraan perguruan tinggi ada yang mengutamakan gelar daripada penguasaan ilmu. Kuliah singkat, ijazah dapat secepat kilat, lulus dapat gelar. Jelas ini melanggar etika belajar sekaligus membuang amanah undang-undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional).
Di sekolah menengah, sekolah yang meluluskan siswa dengan nilai ujian Nasional tinggi dianggap sebagai sekolah yang berhasil, unggul dan bisa menjadi favorit. Perkara para siswa tersebut beriman, bertakwa dan berakhlak baik atau tidak adalah urusan belakang.
Akibat dari itu, akan ada orang-orang tidak baik tapi dinilai baik. Juga ada orang-orang baik tapi diabaikan. Dianggap tidak maju.
Karena itu, untuk menggunakan tiga standar tersebut demi menjalankan amanah undang-undang pendidikan Nasional perlu dirumuskan dahulu konsep iman, konsep takwa dan konsep akhlak. Tiga konsep ini harusnya menjadi bahan dasar menyusun kurikulum, dan menyusun standar kelulusan.
Dalam Islam, jika seseorang memenuhi tiga standar tersebut dapat disebut manusia yang baik (insan adabi). Sebagai agama yang memberi perhatian sangat lebih terhadap ilmu, maka Islam telah menjelaskan bagaimana seorang pelajar itu kelak lulus menjadi manusia yang baik.
As-Sayid al-Faqih Zein bin Sumaith menjelaskan ada lima perkara yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu agar sukses belajarnya dan ilmunya bermanfaat :
Pertama, Thaharatul Qulub wal Takhalliy ‘anil Mukhalafat (Membersihkan hati dan mengosongkan dari pelanggaran-pelanggaran syariat). Imam Nawawi mengatakan: “Bagi pelajar harus membersihkan hatinya dari kotoran, supaya ia dapat menerima ilmu, menjaganya dan memperoleh buahnya ilmu” (Imam al-Nawawi,Muqaddimah al-Muhadzab). Imam Malik pernah menasihati imam Syafi’i ketika menjadi muridnya: “Sesungguhnya Allah Swt memberi cahaya ilmu pada hatimu. Maka jangan padamkan cahaya itu dengan maksiat.
Kedua, Ikhlas karena Allah selama mempelajari ilmu. Niat yang benar dalam belajar ada lima, yaitu; belajarnya semata untuk tujuan ridha Allah Swt dan mengamalkannya, menghidupkan syariat, beribadah kepada Allah Swt, menghilangkan kebodohan yang ada dalam dirinya dari segala bentuk-bentuk kejahilan, menghidupkan agama dan mengekalkan Islam dengan amar ma’ruf nahi munkar.
Ketiga, Tawadhu’ wal khidmatul Ulama’. As-Sayid Ahmad bin Umar al-Hinduan menasihati : Sesungguhnya ilmu terhalang (pada mereka orang-orang bodoh) karena kurangnya penghormatan mereka kepada ahli ilmu (ulama). Kata imam Syafi’i, ilmu itu tidak dapat diperoleh pada orang yang merasa tinggi seperti raja, bangga diri. Menurut imam Syafi’I, jika pun ia dapatkan ilmu itu, tidak bisa menjadi manfa’at.
Keempat, Mengambil faidah ilmu dari mana saja. Salah satu adab penuntut ilmu adalah tidak segan mengambil faidah ilmu, faidah syariah dari orang yang kedudukannya lebih rendah dari dia. Serta mengambil dari tempat yang jauh sekalipun. Ia berpikir sempit membatasi diri ilmu hanya akan diambil dari orang yang banyak disebut orang, orang terkenal di masyarakat. Karena terkadang, orang baik ilmunya itu tidak dikenal. Banyak yang mustatir (tertutup).
Kelima, Meminimalisir makan dan tidur. Menurut Syekh Syahnun al-Maliki, seorang Qadhi alim dari Qarawiyyun, berpendapat bahwa ilmu itu diperoleh (dengan mudah) kecuali oleh orang yang kalau makannya tidak sampai terlalu kenyang. Sebagian ulama salaf juga berpendapat bahwa ada korelasi antara perut dengan akal. Mereka berpendapat, perut yang kenyang bisa menyebabkan tumpulnya akal. Dan perut yang tidak banyak isi bisa menajamkan akal.
Karenanya, imam al-Ghazali menulis kitabnya berjudul Ihya’ Ulumiddin dengan membuka dengan Kitabul Ilmi (kitab ilmu) dengan berbagai penjelasan yang cukup panjang mengenai pentingnya kaidah-kaidah ilmu dan cara menjaganya. Juga ditambah dengan Kitab yang membahasa perkara yang merusak jiwa (muhlikat) dan perkara yang menyelamatkan jiwa (munjiyat). Sesuai dengan judul kitabnya “Ihya’ Ulumiddin” (menghidupkan ilmu-ilmu agama), Kitabul Ilmi ditulis dalam rangka umat Islam benar dalam mempelajari agama. Bukan sekedar hafal al-Qur’an, hafal hadis, hafal ibaroh hokum fikih, dan lain sebagainya. Karena yang dinamakan ilmu bukan semata hafalan, tetapi bagaimana dengan pengetahuan itu menjadi “cahaya” dalam jiwanya.
Maka, dalam Islam, tazkiyatun nafs (membersihkan hati) itu termasuk salah satu metodologi belajar agama, yang mesti menjadi komponen dalam pembelajaran metode pendidikan atau falsafah pendidikan Islam.