Oleh : Dr. Ugi Suharto
Antara Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Prof. Dr. Yusuf al-Qaradawi memiliki pendapat yang sama tentang sekularisme. Keduanya sependapat bahwa sekularisme bertentangan dengan Islam.
Istilah sekularisme yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan ‘ilmaniyyah atau ‘almaniyyah telah menjadi perhatian khusus kedua ilmuwan ini. Di kalangan orang Arab sendiri ada yang menerjemahkan sekularisme sebagai ‘ilmaniyyah, yaitu dari akar kata al-‘ilm (ilmu) yang mendapat akhiran ‘alif’ dan ‘nun’ serta “ya'” yang menunjukkan sifat kepada ilmu, seperti pada perkataan ruh yang menjadi ruhaniyyah atau rabb yang menjadi rabbaniyyah, maka ‘ilm menjadi ‘ilmaniyyah. Sebagian yang lain menerjemahkannya sebagai ‘almaniyyah yang berasal dari kata al-‘alam (alam), meski dari akar kata ini lebih tepat menjadi kata ‘alamaniyyah, namun yang umum digunakan istilah ‘almaniyyah.
Al-Qaradawi lebih cenderung kepada ‘ilmaniyyah, sedangkan al-Attas lebih kepada ‘almaniyyah. Perbedaan penggunaan terjemahan ini sekaligus menunjukkan bahwa istilah sekularisme yang coba diterjemahkan kedalam bahasa Arab memang tidak mempunyai akar yang kokoh dalam pandangan hidup Islam. Perlu disebutkan juga bahwa kedua ilmuwan kita ini menolak secara tegas terjemahan-terjemahan di atas.
Al-Qaradawi misalnya menyatakan bahwa menerjemahkan sekularisme sebagai ‘ilmaniyyah tidak saja “satu terjemahan yang tidak teliti (ghayru daqiqah)”, tetapi juga “satu terjemahan yang tidak betul (ghayru sahihah),” karena “perkataan [sekularisme] itu tidak mempunyai kaitan langsung dengan lafaz al-‘ilm (ilmu) dan akar katanya.” Beliau menambahkan lagi bahwa “terjemahan perkataan asing dengan lafaz ‘ilmaniyyah ini disebabkan oleh orang-orang yang menerjemahkannya tidak memahami perkataan al-din dan al-‘ilm melainkan hanya dengan ide Barat Kristian, yang memang bagi orang Barat (al-insan al-gharbi) agama dan ilmu mereka itu adalah saling bertentangan.” Al-Qaradawi selanjutnya menyimpulkan bahwa menerjemahkan sekularisme dengan ‘ilmaniyyah dan mengkaitkannya dengan ilmu adalah “suatu usaha untuk menjadikannya satu makna dengan istilah ‘ilmiyyah.” dan karenanya, menurut al-Qaradawi, adalah “penipuan yang (patut) diungkap”.
Seiring dengan al-Qaradawi, al-Attas pun mengaitkan proses penterjemahan itu dengan gagasan Kristian Barat dan para penterjemah mereka. Namun bukan hanya itu, al-Attas bahkan menyesalkan terjemahan itu dibiarkan beredar dikalangan kaum Muslimin Arab pada hari ini.
Padahal penggunaan istilah yang salah dalam berbahasa bukan saja memberi makna yang salah dalam bahasa itu sendiri, tetapi juga akan merusak cara berfikir orang yang berbahasa. Lebih jauh lagi, apabila istilah yang salah itu terkait dengan perkara-perkara yang fundamental dalam kehidupan, seperti tentang Tuhan, agama, nilai, pandangan hidup, dan sebagainya, maka hal itu akan merusak cara berfikir seseorang mengenai hakikat kewujudan dan kebenaran. Oleh kerana wahyu itu sendiri disampaikan melalui bahasa, maka kerusakan makna konsep-konsep yang berdasarkan wahyu, dengan sendirinya akan merusakkan wahyu itu sendiri.
Al-Attas selanjutnya menelusuri asal-usul perkataan sekularisme. Walaupun al-Qaradawi juga membahas etimologi sekularisime, namun uraian al-Attas mengenai etimology sekularisme lebih mendalam dan lebih terperinci. Al-Qaradawi yang menulis dalam bahasa Arab hanya menyandarkan perkataan sekularisme berasal dari perkataan Inggeris secularize dan istilah Perancis laïque, sedangkan al-Attas yang menulis dalam bahasa Inggris menyandarkan perkataan itu dari bahasa Latin, yang menjadi sumber bahasa Inggris itu sendiri. Menurut al-Attas, istilah Inggris secular berasal dari bahasa Latin saeculum yang mempunyai pengertian time (masa) dan location (tempat atau kedudukan). Saeculum berarti masa kini, yang berarti masa sekarang, dan ini juga bermaksud di dunia ini.
Jadi faham sekular, menurut al-Attas, merujuk kepada makna dan faham ” kedisinikinian”. Oleh itu jika perkataan sekularisme itu ingin diterjemahkan juga kedalam bahasa Arab, maka terjemahan harfiah yang paling tepat adalah perkataan hunalaniyyah berasal dari dua kata Arab; huna yang bermaksud di sini dan al-an yang bermaksud kini. Jadi al-hunalaniyyah adalah faham “kedisinikinian” yang tercermin dalam istilah secularism.
Berdasarkan penelitian etimology itu, al-Attas menyimpulkan bahwa terjemahan sekularisme ke dalam bahasa Arab sebagai ‘almaniyyah sebenarnya tidak menjelaskan pengertian ide itu sendiri yang secara konseptualnya lebih mendekati ide waqi’iyyah yang mempunyai kaitan dengan aliran positivisme.
Sedang menurut al-Qaradawi, yang sejak awal memfokuskan pertentangan antara al-‘ilm (ilmu) dan al-din (agama) dalam konsepsi pemikiran dan pengalaman orang Barat, pengertian sekularisme itu sinonim dengan konsep alladiniyyah (tidak ada agama) atau al-dunyawiyyah (dunia tiada hubungan dengan agama). Beliau yang tidak juga menguraikan asal-usul perkataan sekularisme secara terperinci, selanjutnya menerjemahkan konsep sekularisme sebagai berikut: “Terjemahan yang betul untuk perkataan ini [yaitu sekularisme] adalah alladiniyyah atau al-dunyawiyyah. Hal ini bukan bermakna menomorduakan sesuatu yang bersifat ukhrawi semata-mata, tetapi [sekularisme] mempunyai makna yang lebih khusus, yaitu makna yang tidak mempunyai hubungan dengan agama (al-din), ataupun kalau ada hubungannya dengan agama, maka hubungan itu adalah hubungan pertentangan.”
Namun mengenai hubungan agama dan sekularisme, al-Qaradawi tetap mengakui teori kebebasan agama yang dianut oleh sekularisme, walaupun definisi kebebasan agama itu tidak sesuai untuk Islam. Al-Qaradawi berkata: “Sekularisme liberal tidak melarang umat manusia untuk beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan hari akhir. Karena sekularisme jenis ini punya prinsip “mengakui kebebasan beragama bagi setiap manusia”. Ini adalah haknya yang telah diakui oleh piagam internasional dan telah dijalani oleh undang-undang baru. Minimal dari segi teori. Tetapi di ‘negeri Islam’, Islam tidak merasa puas akidahnya hanya sebatas diperkenankan untuk diyakini.
Mengenai ide ‘dunyawiyah’ pula al-Qaradawi tidak memberikan ulasan apapun. Berbeda dengan al-Qaradawi, al-Attas mengomentari lebih lanjut mengenai makna sekular dan kaitannya dengan kehidupan dunia. Menurutnya, sekulasime merupakan sebuah ide yang lebih dekat dengan ideologi positivisme yang memang bertentangan dengan Islam.
Pertentangan ideologi ini terjadi karena positivisme menyatakan bahwa wujud di alam ini hanyalah fakta (dalam arti physics) dan tidak ada makna dibalik fakta (metaphysics), sedangkan bagi pandangan alam Islam, selain mengakui adanya fakta dunia ini, masih ada lagi makna yang lebih besar, bahkan mendasarinya, yaitu alam ruhani dan alam ukhrawi.
Tapi yang pasti kedua ilmuwan ini mengingatkan kepada kaum Muslimin agar hati-hati terhadap ide sekularisme. Keduanya telah memberikan kekuatan dalam pemikiran kaum Muslimin pada hari ini untuk terus mempertahankan diri dari serangan sekularisasi kemudian menyerang balik paham tersebut. Ini dimaksudkan agar paham tersebut tidak merusak agama Islam sebagaimana yang terjadi pada agama-agama lain.
.