Santri dan Tantangan Teknologi Kecerdasan Buatan

Oleh : Dr. Kholili Hasib

inpasonline.com – Di era teknologi digital yang semakin maju dan berkembang pesat, kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) menjadi topik yang makin menarik perhatian. Karena AI mencakup teknologi yang dapat meniru, belajar, dan menyempurnakan perilaku serta fikiran manusia, baik melalui pengolahan data, pengenalan pola, maupun pengambilan keputusan otomatis. AI kini diterapkan di berbagai bidang, mulai dari kesehatan, industri, pendidikan, hingga layanan publik. Mengganti peran manusia.

Namun, bagi santri—pelajar di pesantren yang mendalami ilmu agama—kemunculan teknologi ini membawa tantangan tersendiri. Meskipun teknologi AI dapat memberikan manfaat bagi santri, tantangan yang ditimbulkannya lebih besar dan memerlukan perhatian serius. Apakah AI akan menjadi peluang emas bagi santri untuk mengembangkan diri, atau justru menjadi tantangan serius baru yang harus dihadapi?

Teknologi AI merupakan produk teknologi digital untuk menciptakan mesin yang bisa “berpikir” dan “belajar” seperti manusia. Ini termasuk kemampuan untuk memproses informasi, membuat keputusan, dan beradaptasi dengan situasi baru. AI dapat diterapkan dalam berbagai bentuk. AI merujuk pada kemampuan mesin atau komputer untuk meniru fungsi kognitif manusia. Ini mencakup kemampuan untuk memahami bahasa, mengenali pola, serta membuat keputusan yang kompleks.

Berdasarkan itu, maka santri perlu menghadapi tantangan AI ini dengan sikap kritis, karena meskipun AI menawarkan potensi untuk meningkatkan pembelajaran, ia juga dapat menjadi ancaman terhadap nilai-nilai tradisional dan integritas pendidikan agama. Kecerdasan akal santri, potensi perasaan hati dan nalar logis santri tetap harus melakukan kerja mendrive, menyeleksi, memproteksi, mengabstraksi dan menyimpulkan sesuatu. Bertumpu seratus persen kepada teknologi AI akan menurunkan nilai-nilai penting dari seorang thalibul ilmi.

Pada satu sisi, AI memungkinkan santri untuk mendapatkan akses pengetahuan yang lebih luas melalui teknologi pencarian cerdas dan analisis data. Teknologi ini dapat menghubungkan santri dengan ribuan buku, kitab, dan karya ilmiah yang relevan dalam waktu singkat.

Selain itu, AI juga berpotensi meningkatkan efisiensi operasional administrasi pesantren. Beberapa sistem manajemen berbasis AI, seperti manajemen keuangan, pencatatan administrasi santri, hingga manajemen kurikulum, bisa mempermudah pengelola pesantren dalam mengatur kegiatan sehari-hari.

Pada sisi itu, maka dapat diambil satu kesimpulan bahwa teknologi AI merupakan sekedar alat. Sebagai sebuah alat, ia bekerja dengan tujuan membantu pekerjaan manusia. Sehingga, teknologi AI merupakan alat, manusia tetap menjadi tuan. AI sebagai mesin teknologi digital bekerja ber-khidmah pada manusia. Maka di sisi ini, peranan manusia tentu saja tetap harus dominan. Manusia tentu tidak akan tunduk kepada _khadim_nya itu.

Problematika serius terjadi apabila manusia menempatkan diri pada sebaliknya. Fikiran, akal, dan dzauq hati manusia “off” dengan menggantungkan sepenuhnya kepada teknologi AI. Kecerdasan buatan menjadi tuan yang berkuasa. Manusia menuruti semua apa saja yang dibuat oleh kecerdasan buatan. Akal dan rasa terasa mati.

Maka, di sini harus disadari bahwa teknologi AI adalah mesin digital. Tidak memiliki hati, perasan, dan akal. Ia bekerja sebagai mesin dengan menciptakan dan mendesain informasi beradasarkan informasi-informasi yang beredar di internet. Sebagai mesin maka kederdasan buatan, maka produk hasil pekerjaannya sangat tergantung dengan akses informasi yang ada di dunia digital. Produknya bisa benar dan bisa juga salah.

Ilmu pengetahuan modern yang sifatnya informatif dapat ditimba dari internet maupun AI, baik santri, pelajar maupun mahasiswa. Akan tetapi pelajaran adab, sikap, attitude dan pola pikir (worldview) tidak bisa dengan cara belajar dengan AI. Pengertian dari adab dan worldview bisa saja didapatkan dengan kecerdasan buatan. Akan tetapi, pemahaman dan internalisasinya harus diajarkan oleh seorang guru. Bahkan memerlukan latihan dan pendisplinan diri secara terus-menerus.

Imam Syafi’i mengatakan:

من تفقه من بطون الكتب ضيع الأحكام، ومن أخذ العلم من أفواه العلماء أخذ نصيباً وافراً

“Barangsiapa yang belajar ilmu dari buku saja (tanpa guru) maka ia akan menyia-nsyiakan hukum. Dan barangsiapa belajar ilmu dari ulama maka ia akan memperoleh bagian yang banyak”.

Dalam Islam, mempelajari ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama harus melalui guru. Guru inilah yang akan membimbang mana-mana ilmu yang bermanfaat mana-mana ilmu yang membawa mudharat. Guru ini selain mengajarkan ilmu juga mengajarkan adab dan sikap dalam menuntut ilmu serta bagaimana pengamalannya dalam keseharian. Bahkan dalam Islam, menguasai dan internalisasi adab serta pemikiran harus didahulukan daripada ilmu yang sifatnya informasi (Budi Handrianto, Revolusi Ilmu Pengetahuan di Era Revolusi Industri 4.0).

Terdapat kesempatan yang luas bagi seorang guru atau dosen muslim, di mana teknologi atau era industri apapun tidak akan mampu menggantikannya. Peran guru dalam Islam adalah membina secara langsung (talaqi) baik dalam aspek adab, ilmu, maupun pola pikir santri. Dari sinilah muncul sebuah keberkahan, yang mana istilah ini (berkah) tidak ditemukan dalam kamus ilmu pengetahuan Barat modern. Keberkahan dalam proses belajar di sebuah majelis antara guru dan murid saat mempelajari suatu cabang ilmu (apapun ilmunya) adalah hal yang dicari oleh para pelajar/mahasiswa serta guru/dosen muslim. Pendidikan agama yang berlandaskan pada interaksi langsung dan diskusi mendalam tergantikan oleh pembelajaran yang lebih mekanis dan kurang humanis. Hal ini dapat mengurangi kedalaman pemahaman santri terhadap ajaran agama. Sehingga nilai-nilai tradisional dalam pesantren akan terkikis.

Selain itu, jika santri terlalu mengandalkan AI untuk belajar, mereka mungkin kehilangan kemampuan berpikir kritis dan analitis yang penting dalam memahami konteks ajaran agama. Pendidikan agama seharusnya tidak hanya tentang menghafal, tetapi juga tentang memahami dan menerapkan ajaran dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa pendukung teknologi AI mungkin berpendapat bahwa penggunaan AI dalam pendidikan agama dapat memperkaya pengalaman belajar santri. Namun, penting untuk dicatat bahwa teknologi tidak dapat menggantikan pengalaman langsung dan bimbingan dari guru yang berpengalaman. Pembelajaran agama memerlukan nuansa dan konteks yang hanya dapat diberikan melalui interaksi manusia.

Selain itu, meskipun AI dapat meningkatkan efisiensi, ada risiko bahwa santri akan kehilangan motivasi intrinsik untuk belajar. Ketika teknologi mengambil alih proses pembelajaran, santri mungkin merasa kurang terlibat dan kurang bersemangat untuk mengeksplorasi ajaran agama secara mendalam.

Kemudahan akses dan kecanggihan AI dapat membuat pengguna, termasuk santri, rentan terhadap kecanduan teknologi. Media sosial, game daring, atau konten hiburan bisa mengalihkan perhatian santri dari kegiatan belajar dan ibadah mereka. Jika tidak dikontrol dengan baik, penggunaan teknologi berlebihan ini dapat mengurangi konsentrasi santri dalam mendalami ilmu agama dan memperburuk kualitas waktu yang mereka miliki.

Meskipun teknologi kecerdasan buatan menawarkan berbagai manfaat bagi santri, tantangan yang ditimbulkannya tidak dapat diabaikan. Bahkan cukup serius. Santri perlu menghadapi perkembangan ini dengan sikap kritis dan bijaksana. Penting untuk menjaga keseimbangan antara penggunaan teknologi dan nilai-nilai tradisional yang diajarkan dalam pendidikan agama. Dengan pendekatan yang tepat, santri dapat memanfaatkan teknologi tanpa mengorbankan integritas pendidikan mereka. Oleh karena itu, kita harus berupaya menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung penggunaan teknologi secara bijak dan sehat, sehingga santri dapat berkembang baik secara akademis maupun spiritual.

Pendidikan literasi digital menjadi sangat penting agar santri dapat memahami cara penggunaan teknologi secara tepat. Tidak berlebihan, dan tidak disalah gunakan. Pesantren juga bisa memberikan pembelajaran khusus tentang etika penggunaan teknologi, terutama AI, dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bekal literasi digital, santri dapat lebih bijak dalam menggunakan teknologi, menjauhi potensi kecanduan, dan lebih fokus dalam memanfaatkan AI untuk tujuan yang bermanfaat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *