Materialisme, Tantangan Besar Pendidikan dan Islamisasi Sains

IMG_20140511_092354Inpasonline.com-Dr. Adian Husaini, Ketua Program Doktor Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor mengingatkan bahwa mencari ilmu itu bukan di sekolah saja, atau dengan mengejar gelar akademik belaka.

“Kesalahan pendidikan kita saat ini adalah, sekolah dan kerja hanya untuk cari kerja, bukan cari ilmu”, ujar Adian dalam Kajian Ilmiah Islamisasi Sains di Universitas Brawijaya Malang, Ahad kemarin (11/05).

Dalam kajian bertajuk “Islamisasi Sains: Antara Peluang dan Tantangan” itu, Adian menyebut problem tersebut dengan istilah ‘sekolaisme’.

“Sekarang ada ‘penyakit’ baru yaitu ‘sekolaisme’. Yakni menganggap mencari ilmu itu hanya di sekolah saja. Ini salah. Jika sudah meraih gelar, sudah selesai cari ilmu. Padahal di luar sekolah itu juga sangat penting”, lanjut Adian dihadapan dua ratus lebih mahasiswa.

Akibat dari paradigma itu, terang Adian, niat pelajar mengejar materi dalam sekolah.

“Padalah, sekolah itu mestinya bukan BLK (Balai Latihan Kerja), tapi mendidik jiwa”, tegas peneliti INSISTS itu.

Pendidikan kata Adian dalam rangka untuk mengenal Allah. Sebab kebutuhan primer manusia bukan sandang, papan dan pangan saja. Tapi beribadah kepada Allah itu kebutuhan paling primer.

Namun, Adian menunjukkan kutipan sebuak buku ajar sekolah yang didalamnya mengandung problem. Yakni tidak memasukkan kebutuhan ibadah sebagai kebutuhan primer.

“Pelajaran seperti ini dari dulu sampai sekarang tidak berubah. Ini pandangan sekular”, terangnya sembari menunjukkan slide kutipan sebuah buku pelajar ilmu sosial untuk sekolah Dasar.

Penyakit ‘sekolaisme’ menurut Adian karena pengaruh hegemoni konsep Barat yang menilai kebahagian itu dengan materi.

“Manusia sekuler tidak tahu tujuan hidupnya. Setelah meninggal akan kemana. Bahagia dalam pandangan Barat dengan materi dan pencapaian. Jika sudah mencapai derajat tertentu dianggap bahagia”, katanya.

Karena itu, paradigma sains yang sekular itu harus diislamkan. Sebab melepaskan diri dari nilai-nilai ketuhanan.

“Sejarah barat modern itu adalah anti agama. Maka, dalam sains Barat tidak boleh ada campur tangan Tuhan. Sebab campur tangan itu akan mengganggu mereka”, pungkasnya.

Sains Tidak Netral

Dalam kajian yang diadakan oleh ITCON (Islamic Thought and Civilization Institute) dan ITJ Chapter Malang bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya Malang ini juga menghadirkan Dr. Budi Handrianto, peneliti INSISTS bidang Sains Islam.

Budi yang baru saja menyelesaikan gelar doktornya di UIKA Bogor, melanjutkan bahwa Barat sekular yang menganggap sains itu netral sebenarnya sains yang bebas dari agama.

“Jika dikatakan sains itu netral sebetulnya yang dimaksudkan adalah netral dari agama tapi tidak netral dari nilai kebudayaan lain”, tegasnya.

Barat menolak campur tangan agama dalam sains, karena terang Budi, Barat pernah mengalami trauma dengan agama pada era kegelapan sejarah peradaban Barat.

Ia menerangkan bahwa sains itu tidak netral. “Yang tidak netral adalah pendekatan kita pada sains”, tambahnya.

Budi yang menulis buku Islamisasi Sains Sebuah Upaya Mengislamkan Sains Barat Modern (Pustaka al-Kautsar; 2010) mengkritik orang yang kontra Islamisasi.

“Mereka salah faham membedakan antara sains dan teknologi. Kita harus membedakan antara sains dengan teknologi. Teknologi tidak ada masalah. Dari manapun. Yang kita persoalkan adalah penafsiran kita terhadap sains”.

Karena itu, menurutnya, ide islamisasi adalah wacana yang harus disamput positif.

“Dalam menyerap sains, ada yang diserap ada yang dibuang. Jika diserap semua akan menjadi panyakit. Seperti orang makan jika tidak dikeluarkan kotoran jadi penyakit” pungkasnya. (kh)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *