Radikal dan Radikalisme

Written by | Opini

Oleh: Ainul Yaqin,

(sekretaris MUI Prov. Jatim)

revolutionInpasonline.com-Radikal dan radikalisme, dua istilah yang akhir-akhir ini sering kali dikaikan dengan aksi-aksi kekerasan yang dikonotasikan dengan kekerasan berbasis agama termasuk aksi terorisme. Lalu dalam upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme muncul wacana strategi deradikalisasi, yaitu upaya untuk memutus rantai radikalisme, yang berangkat dari asumsi pemicu terorisme adalah radikalisme. Maka ketika isu ISIS mencuat yang disinyalir banyak melakukan tindakan kekerasan yang brutal, wacana deradikalisasi menguat kembali. Berikutnya muncul isu adanya situs Islam radikal yang berujung pada pembredelan situs-situs yang dikelola oleh beberapa komunitas atau organisasi Islam.

Fenomena terorisme sendiri bagi sebagian besar umat Islam masih menjadi tanda tanya, kendatipun berbagai wacana dan kajian tentang ini sudah banyak dilakukan, namun identifikasi penyebab masih kabur. Siapakah sebenarnya pelaku terorisme dan apa motif dibalik aksi terorisme. Namun yang jelas, semua ormas Islam yang resmi di nagara ini sama-sama menyatakan bahwa praktik terorisme bukanlah bagian dari Islam. Tidak terkecuali ormas-ormas yang sering distigma sebagai ormas garis keras seperti Fron Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI).

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah mengeluarkan fatwa tentang terorisme. Menurut fatwa MUI, terorisme hukunya haram dilakukan oleh siapapun dengan tujuan apapun. Dalam fatwa MUI juga dijelaskan perbedaan secara nyata antara terorisme dengan jihad. Jihad sifatnya untuk melakukan perbaikan (ishlah) sekalipun dengan cara peperangan, tujuannya menegakkan agama Allah dan/atau membela hak-hak pihak yang terzalimi, serta dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syari’at dengan sasaran musuh yang sudah jelas. Sementara itu, terorisme sifatnya merusak (ifsad) dan anarkhis /chaos ( faudla), tujuannya untuk menciptakan rasa takut dan atau menghancurkan pihak lain, serta dilakukan tanpa aturan yang jelas dan sasaranya tanpa batas.

Lalu bagaimana dengan radikal dan radikalisme sendiri yang sering dikaitkan dengan terorisme.   Istilah radikal dan radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), berarti akar, sumber, atau asal mula. Kamus ilmiah popular karya M. Dahlan al Barry terbitan Arkola Surabaya menuliskan bahwa radikal sama dengan menyeluruh, besar-besaran, keras, kokoh, dan tajam. Hampir sama dengan pengetian itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir atau bertindak”. Dalam pengertian lebih luas, radikal mengacu pada hal-hal mendasar, pokok, dan esensial. Berdasarkan konotasinya yang luas, kata itu mendapatkan makna teknis dalam berbagai ranah ilmu, politik, ilmu sosial, bahkan dalam ilmu kimia dikenal istilah radikal bebas.

Sedangkan istilah radikalisme, dalam Kamus ilmiah popular karya M. Dahlan al Barry diartikan sebagai faham politik kenegaraan yang menghendaki perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai kemajuan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. th. 1995, Balai Pustaka didefinisikan sebagai faham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Kemudian, Ensiklopedi online Wikipedia, membuat definisi yang lebih spesifik bahwa radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.

Dari sisi bahasa, istilah radikal sebenarnya netral, bisa positif bisa negatif. Mitsuo Nakamura misalnya, dalam sebuah tulisannya yang dipublikasikan di Asian Southeast Asian Studies Vo. 19, No. 2 th. 1981 menyebut bahwa Nahdlatul Ulama adalah organisasi yang berwatak tradisionalisme radikal. Istilah radikal dipilih oleh Mitsuo Nakamura untuk menggambarkan bahwa NU adalah organisasi yang otonom dan independen, bukan derivasi dari organisasi yang lain. NU juga mempunyai sikap politik yang kritis, terbuka, dan mendasar menghadapi status quo penguasa ketika itu yaitu presiden Soeharto. NU juga memperlihatkan dengan karakteristik keagamaan yang tetap konsisten. Dengan karakteristiknya yang bersifat mendasar inilah NU disebut radikal.

Istilah radikal juga digunakan sebagai kebalikan dari istilah moderat. Dalam penggunaannya, kata moderat menggambarkan suatu sikap mengambil jalan tengah ketika menghadapi konflik dengan gagasan atau ide lain, dengan kata lain cenderung kompromistis atau kooperatif. Sebaliknya, radikal berarti secara konsisten mempertahankan ide secara utuh ketika dihadapkan pada konflik dengan ide lain, atau dengan kata lain non-kooperatif. Sikap radikal dan moderat keduanya mempunyai contoh konkrit dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia.

Dalam sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia, dikenal dua strategi politik organisasi kebangsaan dalam kaitannya untuk mewujudkan Indonesia merdeka yaitu strategi non-kooperatif (radikal) dan kooperatif (moderat). Strategi radikal artinya satu tindakan penentangan secara keras terhadap kebijakan pemerintah kolonial serta tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Kaum radikal berpendapat bahwa untuk mencapai Indonesia merdeka haruslah dengan jerih payah anak bangsa sendiri dan bukan atas adanya campur tangan dari bangsa asing (Belanda). Sebaliknya moderat artinya sebagai satu sikap lunak terhadap kebijakan pemerintah kolonial (Belanda) di Indonesia. Kaum moderat berpandangan bahwa untuk mencapai Indonesia merdeka tidak dapat lepas dari kerja sama dengan berbagai bangsa yang ada di Indonesia saat itu, tidak terkecuali dengan pemerintah kolonial (Belanda). Adanya dua strategi ini dua-duanya sama-sama mempunyai tujuan kahir yang sama, yaitu untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Dalam konteks ini menunjukkan bahwa istilah radikal dan moderat sama-sama mempunyai pengertian yang positif.

Contoh yang lain, proklamasi 17 Agustus 1945 tidak akan terwujud tanpa ada tekanan kaum radikal, yang dimainkan oleh kelompok pemuda. Aksi penculikan Soekarno-Hatta di Rengasdengklok merupakan tindakan radikal yang dilakukan oleh kalangan pemuda pejuang kemerdekaan.

Istilah radikal juga bisa dilabelkan pada gerakan PKI yang pernah memberontak tahun 1948 maupun tahun 1965, keduanya adalah ekspresi dari gerakan radikal. Demikian pula berbagai organisasi berhaluan kiri seperti Serikat Buruh Seluruh Indonesia, Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), yang memelopori berbagai aksi buruh beberapa waktu lalu juga termasuk gerakan radikal.

Namun demikian ketika radikalisme dihubungkan dengan isu terorisme, istilah radikalisme akhir-akhir ini sering dimaknai lebih sempit. Muncul idiom-idiom seperti Islam radikal, Salafi radikal, atau yang agak umum radikalisme agama yang kesemuanya cendering berkonotasi pada Islam. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta misalnya, menerbitkan buku berjudul “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia” Ada empat kelompok yang dimasukkan sebagai “salafi radikal” dalam buku ini, yaitu Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbut Tahrir. Sayangnya penggunaan istilah salafi radikal disini sangat bias karena apa yang dimaksud dengan salafi dan apa pula yang dimaksudkan dengan radikal tidak jelas kriterianya.

Belakangan sesudah itu, sebuah LSM bernama Setara Institute menerbitkan buku hasil penelitian berjudul “Radikalisme Agama di Jabotabek dan Jawa Barat”. Buku ini merevisi model pengelompokan ala PPIM di atas. FPI yang sebelumnya dikategorikan salafi radikal, pada buku ini tidak dimasukkan ke dalam kelompok tersebut. Setara Institute membuat kategorisasi baru yang disebut tradisionalis Islam yang radikal dan memasukkan FPI di dalamnya. Menurut buku ini, selama ini ada anggapan bahwa kaum muslim radikal sering diidentikkan sebagai penganut aliran salafy radikal atau neo Wahabi. Sebaliknya selama ini sering dipersepsi bahwa kaum tradisionalis adalah kelompok yang toleran dan moderat. Namun temuan riset Setara Institute menunjukan bahwa gerakan Islam radikal tak didominasi oleh aliran modernis seperti kelompok salafy saja. Kaum tradisionalis juga menjadi kelompok yang aktif melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama agama. FPI contohnya. FPI yang selama ini banyak dipersepsikan sebagai sebagai kelompok salafy radikal adalah kurang tepat. FPI adalah penganut aliran tradisionalis. Mereka menganut mazhab Syafii dan memegang teguh teologi Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jamaah). Praktek keagamaannya pun begitu. Ia juga seorang penganut thariqat Alawiyah. Hal ini bisa dilihat dalam pengajian rutin FPI yang diadakan setiap malam Jumat. Pengajian ini merupakan acara ratiban. Dalam acara itu ada dua wirid yang selalu dilafadzkan yaitu wirid al Latif dan ratib al Haddad. Dua wirid ini sangat populer dilakukan oleh para penganut thariqat Haddiyah atau sering juga disebut thariqat Alawiyah. (Ismail Hasani dkk, 2010; hal 88-89)

Tapi, di sisi lain buku ini telah membuat kerancuan baru ketika menyebutkan ciri-ciri kaum radikal Islam. Menurut buku ini, kaum radikal yang diidentikkan dengan pelaku kekerasan fisik dan non fisik, baik yang tradisionalis maupun modernis mempunyai doktrin yang sama yaitu: Pertama, menegakkan syari’at Islam adalah kewajiban yang tak bisa ditawar; Kedua, memahami bahwa Amar Ma’ruf Nahi Mungkar adalah wajib; dan Ketiga, mempunyai pemahaman bahwa kebanyakan kaum Nasrani selalu punya niat jahat kepada umat Islam dengan merujuk ayat Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 120. (Ismail Hasani dkk, 2010; hal 90-92)

Tiga doktrin di atas bila dikaitkan dengan radikalisme sangat tidak spesifik alias rancu, karena setiap orang Islam yang memahami Islam dengan benar akan membenarkan doktrin tersebut. Doktrin yang pertama misalnya bahwa menegakkan syari’at Islam adalah wajib, bila orang Islam yang memegangi doktrin seperti ini disebut radikal dalam konotasi negatif ini, maka orang yang paling radikal adalah Nabi Muhammad Saw dan para sahabat-sahabatnya karena merekalah orang-orang yang secara gigih melaksanakan syari’at Islam. Demikian pula semua orang Islam yang mempunyai pemahaman yang benar adalah radikal, karena mereka pasti berkeyakinan melaksanakan syari’at Islam adalah wajib. Yang disebut syari’at Islam adalah aturan Islam. Maka shalat, puasa, haji adalah bagian dari syari’at Islam. Demikian pula memilih pemimpin yang baik, jujur dan amanah, tidak karena money politik adalah aturan syari’at Islam. Berpolitik yang baik, tidak menghalalkan segala cara, tidak korup adalah tuntunan syari’at Islam. Jadi aneh bila seorang muslim mengingkari kewajiban untuk menegakan syari’at Islam. NU misalnya, yang sering dicitrakan sebagai organisasi Islam moderat, tujuan perjuangannya adalah untuk izzul Islam wal Muslimiin menuju terwujudnya jama’ah Islamiyyah (masyarakat Islam) (KH Ahmad Siddiq, 2005: h. 15). Yang dimaksud dengan masyarakat Islam sudah tentu adalah masyarakat yang kehidupannya diatur menurut syari’at Islam. Sedangkan Izzul Islam wal Muslimiin menurut KH Ahmad Siddiq (2005: h. 104) diartikan sebagai berlakunya ajaran Islam dalam segala segi kehidupan, dan adanya kesetiaan para pemeluknya untuk menyesuaikan kehidupannya dengan hukum dan ajaran Islam. Yang dimaksud hukum dan ajaran Islam tidak lain adalah syari’at Islam. Bahkan dalam perspektif NU, penerimaan terhadap Pancasila adalah manifestasi dari upaya umat Islam Indonesia menjalankan syari’at Islam (KH A. Muchith Muzadi, 2006; 76).

Di dalam al-Qur’an terdapat seruan yang tegas agar setiap muslim masuk kepada Islam secara kaffah (menyeluruh), artinya bersedia menjadikan seluruh aspek kehidupannya diatur oleh syari’at Islam. Lihat firman Allah Swt QS. Al-Baqarah: 208.

Doktrin radikal yang kedua menurut buku Setara Institute adalah mengakui bahwa amar makruf nahi munkar adalah wajib. Penyebutan ini sebagai doktrin kaum radikal juga rancu, karena semua orang Islam yang memahami dan membenarkan ajaran Islam, pasti mengakui bahwa amar makruf nahi munkar adalah kewajiban agama. Perintah untuk menjalankan amar makruf nahi munkar sangat banyak, baik di dalam al-Qur’an maupun al-Hadits.

Kemudian doktrin radikal yang ke tiga menurut buku Setara Institute, bahwa orang Yahudi dan Nasrani cenderung tidak rela pada umat Islam jika tidak mau mengikuti ajaran mereka. Pemahaman seperti ini juga pemahaman Islam yang benar karena memang al-Qur’an menjelaskan seperti ini. Tetapi dalam implementasinya tidak berarti lantas umat Islam boleh bertindak sewenang-wenang terhadap orang Nasrani dan Yahudi. Justru jika syari’at Islam ditegakkan, tidak boleh ada perbuatan sewenang-wenang kepada siapapun, sesuai dengan firman Allah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Maidah: 8)

Demikian pula firman Allah Swt sebagai berikut:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ(8)إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ(9)

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Mumtahanan: 8-9)

Mencermati pemahaman radikalisme yang bias seperti di atas, menjadi sangat problematis jika dijadikan acuan dalam program deradikalisasi. Jika upaya deradikalisasi masih tetap berangkat dari pemahaman seperti ini, pantas dicurigai telah dibonceng oleh gerakan syari’ah phobia, atau dengan kata lain sekularisasi terselubung.

Upaya penanggulangan terorisme dengan jalan sekularisasi terselubung atau pendekatan syari’ah phobia seperti ini hampir bisa dipastikan tidak akan menyelesaikan masalah, dan malah menimbulkan masalah baru. Masyarakat Indonesia yang tidak kurang dari 87% nya beragama Islam, sangat bermasalah jika mereka harus dipola dengan dijauhkan dari agamanya. Upaya-upaya seperti ini pasti akan melahirkan ketegangan baru. Semestinya umat Islam yang merupakan elemen mayoritas justru harus terus dipupuk semangat keberagamaannya sehingga menjadi potensi yang positif bagi pembangunan bangsa. Islam jangan dicurigai, karena ajaran Islam adalah aset besar bagi pembangunan bangsa ini.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

 

Last modified: 16/07/2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *