Oleh: Ahmad Kholili Hasib
Inpasonline.com-Seringkali umat Islam disodori dua pilihan statemen yang bisa menyempitkan pemahaman tentang Islam. ‘Jika menolak liberal, maka berarti Anda radikal’. ‘Jika Anda anti radikal, berarti liberal’. Dua pernyataan tersebut keliru. Karena slam itu tidak kedua-duanya.
Ada sekelompok orang menyeru: ‘Kaum Muslimin yang menolak pluralisme dan multikulturalisme berarti mereka mereka intoleran, kaku, radikal dan fundamentalis’. Sebuah cap yang gegabah.
Sedangkan, kelompok yang toleran dan ramah disimpulkan hanya milik kaum liberal. Sedangkan kelompok yang bukan barisan liberal terburu-buru divonis radikal dan keras.
Inilah yang namanya menyempitkan makna Islam itu. Islam yang sempurna sejatinya tidak membutuhkan liberal. Juga tidak pula memerlukan bentuk radikal. Untuk menjadi muslim yang toleran tidak perlu menjadi seorang pluralis. Bersikap ramah kepada makhluk, baik Muslim maupun kafir tidaklah tepat harus menjadi seorang liberal.
Kerugiannya amat besar jika ingin menjadi seorang yang humanis, ramah, dan toleran sampai membedol syari’ah. Perkataan ‘Islam tanpa liberal pasti menjadi radikal’ hanyalah khayalan. Mitos yang tidak terbukti.
Jika ada semacam dorongan massal agar kaum Muslimin menggunakan perspektif satu dalam melihat realitas. Dorongan paling berpengaruh adalah perspektif HAM Barat.
Statemen yang berbunyi, “Orang yang beribadah harus menghormati orang yang tidak beribadah”, adalah salah satu contoh penggunaan cara pandang sempit, HAM ala Barat. Seorang Muslim tidak perlu mempermasalahkan memilik pemimpin Muslim atau non-Muslim. Ulama yang menyeru memilih pemimpin Muslim adalah ulama yang keras. Suatu kesimpulan yang sangat rancu.
Supaya menjadi seorang Muslim yang toleran, maka pelacuran, narkoba, perzinahan dan kemaksiatan yang lain, tidak disentuh.
Sekali mengkritik pelacuran dan mengajukan pasal perzinahan, tidak lama mendapat lemparan tuduhan ‘radikal’, dan ‘intoleran’. Suatu vonis yang semena-mena. Bentuk dari suatu bentuk kekerasan verbal.
Radikal dalam konteks adalah kekerasan. Tidak ada dalam agama Islam. Sikap yang berlebih-lebihan terminologi agamanya adalah ghuluw. Ibn Hajar mengatakan: “Ghuluw adalah berlebih-lebihan terhadap sesuatu dan menekan hingga melampau batas” (Fathul Bāri, 13, hal. 278).
Allah Swt berfirman:“Wahai ahli Kitab, janganlah kalian bertindak melewati batas (ghuluw) dalam agama kalian” (QS an Nisa’:171).
Yahudi, misalnya, sejarah menceritakan betapa banyak kisah–kisah seputar kehadiran mereka yang sangat aktif dalam lapangan tindakan ekstrem yang berbentuk aksi teror, kebiadaban, dan keangkuhan yang salah satunya terwujud dalam aksi mendustakan, mengintimidasi, dan bahkan membunuh sebagian para Nabi.
Allah Swt menjelaskan sifat ghuluw tersebut: “Orang-orang Yahudi berkata: Uzair itu putera Allah dan orang-orang Nasrani berkata: “Al-Masih itu putera Allah. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. Al-Taubah: 30).
Yahudi dan Nasrani dikatakan melampaui batas (ghuluw), karena melintasi batas-batas yang telah Allah Swt gariskan. Bahwa Uzair dan Isa adalah manusia, bukan Tuhan. Nashrani bertindak ghuluw (melampaui batas atau sikap ekstrem) dengan mengangkat Isa bin Maryam sampai pada tingkat ketuhanan dan mereka pun menyembahnya.
Beginilah fenomena tindakan radikal yang dilakukan umat terdahulu dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Jadi, sebelum Islam datang, dua kaum ini sudah memulai tindak radikal atau ghuluw.
Jadi ghuluw dalam beragama adalah sikap melampau batas-batas dalam perintah agama. Hal itu dilakukan dengan cara menambah dengan porsi yang berlebihan sehingga mengeluarkannya dari apa yang dimaksudkan perintah agama. Sebab menjalankan perintah syariat itu tidak boleh berlebihan (ifrāth) tidak pula menganggap remeh (tafrīth) (Mas’ud Shobri, al-Ghuluw fi al-Dīn wa al-Hayāh,14). Radikal biasanya muncul dengan bentuk sifat ifrath terhadap sesuatu ajaran. Dan karakter kaum liberal dengan asas kebebasannya itu biasanya merendahkan perintah agama.
Contoh sikap ifrath yang bisa melahirkan tindak radikal adalah berlebihan dalam hukum takfir. Selama seorang muslim itu mengamalkan ijtihad fiqh para ulama’, maka ia tidak boleh dikafirkan. Perbedaan dalam ijtihad fiqih di kalangan para ulama’ tidak sampai kepada hukum saling mengkafirkan. Seperti hukum membaca qunut subuh, jumlah shalat tarawih, membaca dzikir bersama-sama, mengadakan majelis kelahiran Nabi Saw dan ijtihad-ijtihad lainnya tidak diperkenankan sampai mengkafirkan. Perkara-perkara ijtihad itu disebut ikhtilaf tanawwu (perbedaan fariatif). Adapun jika seseorang telah keluar jauh dari al-haq, berbuat kekufuran secara jelas, dan hal-hal lain yang dalam teks agama masuk ke dalam kelompok yang dikafirkan, maka otoritas hukum tentu menghukumi kafir.
Islam sudah sempurna. Ajaran kebaikan apa saja dapat dicari dalam khazanah Islam. Dalil-dalil tentang toleransi, cinta, kasih-sayang, berakhlak, ramah, disiplin, kebersihan dan lain-lain cukup banyak. Ajaran sosial pun menumpuk dalam petuah-petuah Nabi Saw. Mulai adab kepada teman, tetangga, saudara, orang tua, guru, bahkan terhadap orang yang membenci kita ada etikanya. Jadi, Islam sudah tidak membutuhkan ideologi-ideologi sosialis, marxs dan komunis.
Pluralisme adalah paham yang merusak akidah. Jika ada Muslim yang mengajarkan pluralisme kepada orang lain maka harus dicegah. Tindak pencegahan ini bukan bentuk radikalisme, tetapi mengamalkan ajaran Islam yang ramah.
Bila ada orang yang memang tidak menyembah Allah dan menentang Rasulullah Saw, maka hukum nya kafir. Vonis ini khas dalam Islam. Imam al-Ghazali mengatakan: …dan termasuk perkara qat’i adalah sesungguhnya barang siapa yang mendustakan Nabi Muhammad Saw adalah kafir yaitu kekal di dalam neraka setelah mati” (Imam al-Ghazali,Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hal. 156).
Sementara dalam al-Milal wa an-Nihal karya Imam al-Syahrastani dinyatakan: “Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) adalah golongan yang keluar dari agama yang benar dan syariat Islam”(Syahrastani,al-Milal wa an-Nihal, hal.247).
Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyari pernah berfatwa kitabnya Risalah Ahlissunnah wal Jama’ah mengutip pendapat Imam Qadhi Iyadh: “Begitu juga orang yang mengakui keesaan Tuhan akan tetapi menolak kenabian Nabi Saw maka dia kafir tanpa diragukan” (Hasyim Asy’ari,Risalah Ahlissunnah Wal Jama’ah, hal. 12).
Nabi Saw bersabda: “Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorangpun, baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni neraka” (HR. Muslim).
Jadi hukum tentang kekufuran itu ada dalam Islam. Dalam ajaran agama lain juga kemungkinan ada dengan istilah yang lain. Karena term kufur itu khas dalam khazanah Islam, yang tidak ada term itu dalam diktum agama lain. Sebagai bagian dari ajaran Islam, maka harus dipahami betul-betul. Tidak serampangan mudah mengkufurkan, juga tidak menghilangkan hukum kufur ini.
Dalam interaksi muslim dengan non-muslim atau kepercayaan yang berbeda, Islam memiliki dua konsep penting; toleransi dan berdakwah. Toleransi (samahah) merupakan ciri khas dari ajaran Islam. Islam mempunyai kaidah dari sebuah ayat Al-Qur’an yaitu laa ikraaha fi al-dien (tidak ada paksakan dalam agama).
Namun bukan artinya tidak menyebarkan Islam. Tetapi, dakwah dalam Islam bersifat mengajak, bukan memaksa. Dari kaidah inilah maka ketika non-muslim (khususnya kaum dzimmi) berada di tengah-tengah umat Islam atau di negara Islam, maka mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam bahkan dijamin keamanannya karena membayar jizyah sebagai jaminannya.
Sehingga yang disebut tawasuth dan tawazun itu adalah pemikiran yang seimbang dan adil. Bila ada orang Islam yang berbeda madzhab fikih dalam ubudiyahnya, maka tidak boleh dikafirkan, karena mereka memiliki dalil yang merujuk pada imam madzhabnya. Sedangkan, jika kaum Yahudi dan Nasrani itu memang menentang kenabian Nabi Muhammad Saw, maka disebut kufur. Serta ajaran yang menyama-nyamakan agama itu juga ajaran kekufuran. Meskipun begitu mereka yang kufur tetap manusia, tetapi bukan yang Muslim. Memperlakukannya sebagai manusia yang berbeda perlakuannya dengan yang Muslim. Yang kufur diperlakukan sebagai sesama manusia. Yang Muslim kita perlakukan sebagai saudara Muslim. Inilah yang disebut moderat.