Prof. Dr. H. M. Rasjidi, Pemikiran & Perjuangannya (Kedua)

1.   Islam Menentang Komunisme

Dua bulan setelah peristiwa G 30 S/PKI, tepatnya pada tanggal 29 November 1965, Kodam V/Jaya mengundang Rasjidi untuk memberi ceramah pada rapat atau apel yang dihadiri para ulama. Karena isinya sangat penting, maka ceramah ini kemudian diterbitkan menjadi buku setebal 42 halaman oleh Yayasan Islam Study Club Jakarta. Buku ini berisi penjelasan mengenai paham komunis oleh Rasjidi. Rasjidi menulis, bahwa komunisme adalah pandangan hidup (weltanschaung) yang didasarkan atas doktrin-doktrin falsafah, politik, ekonomi, dan sosial serta menganggap dirinya dapat menafsirkan dunia dengan tafsiran yang masuk akal.

Menurut Rasjidi, kita tidak diperbolehkan hanya membuang sebagian ajaran-ajaran Marx serta menerima sebagian yang lain. Tolak saja ajaran Marx secara total. Kita tidak akan dapat memahami tindakan kaum komunis jika tidak mengetahui seluruh dasar ajaran mereka. Lebih lenjut Rasjidi menjelaskan bahwa setiap orang komunis yang menduduki jabatan penting pastilah tahu bahwa tugasnya adalah mengkomuniskan dunia.

Orang komunis hidup dalam alam pikiran yang berlainan dengan alam pikiran kita. Mereka merasa hidup dalam suatu masyarakat yang akan hancur, karena susunan masyarakat itu mengandung unsur-unsur kehancurannya sendiri. Dari puing-puing kehancuran itu akan muncul sesuatu yang lebih baik.

Mengenai aktivitas komunis di Indonesia, Rasjidi menjelaskan dan mengingatkan kita bahwa selama 20 tahun Indonesia merdeka, sudah dua kali mengalami malapetaka yang hebat sebagai akibat tindakan kaum komunis. Pertama pada tahun 1948 ketika bangsa Indonesia sedang menghadapi kaum penjajah Belanda. Kedua pada tanggal 30 September 1965, yang jauh lebih parah lagi sehingga sejumlah pembesar Angkatan Darat menjadi korban.

Kedua malapetaka itu merupakan kudeta yang gagal dan menelan korban yang tidak sedikit dari pihak rakyat sipil. Karena itu, Rasjidi menghimbau agar rakyat Indonesia khususnya umat Islam agar siap siaga selalu.

Dalam masalah in, Rasjidi mengkritik konsep dialektika (dialektik) dengan mengatakan bahwa sepintas lalu gambaran perkembangan masyarakat sebagaimana yang dijelaskan oleh Marx tampak masuk akal, tapi konsep itu (dialektik)  sebenarnya telah mengganti formal logic (ilmu mantiq). Selain itu, Rasjidi mengutip pendapat Trotsky yang memberika penjelasan tentang dialektica dengan formal logis adalah bagi movie (gambar hidup) dan foto (gambar mati). “Akan tetapi, bagi seseorang yang telah mempelajari filsafat, anggapan seperti itu tidak dapat diterim”, ungkap Rasjidi. Formal logic yang diciptakan Aristoteles dan yang dipakai oleh para ulama sebagai mantiq, masih tetap berlaku.

 

2.   Islam dan Indonesia di Zaman Modern

Pada suatu hari di bulan September 1966 datanglah Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof. Mr. Subekti, untuk meminta kesediaan Rasjidi mengajar Hukum Islam di Fakulta Hukum UI. Prof. Subekti mengenal Prof. Rasjidi melalui Prof. Dr. Mr. Hazairin yang juga guru besar pada Fakultas Hukum UI. Dalam hal ini, Prof. Rasjidi diminta membantu Prof. Hazairin menguji mahasiswanya dalam Studi Hukum Islam, karena mahasiswanya terlalu banyak sedangkan jumlah guru besarnya sangat terbatas.

Segera tawaran itu diterimanya dengan antusias. Fakultas Hukum UI lalu berkirim surat kepada Departemen Luar Negeri, tempat kerja Prof. Rasjidi sebelumnya untuk meminta izin menggunakan tenaga dan pikirannya. Kemudian pada tanggal 20 April 1968 Prof. Rasjidi dikukuhkan sebagai guru besar untuk Hukum Islam dan lembaga-lembaga Islam.

Pidato pengukuhannya, berjudul Islam dan Indonesia di Zaman Modern. Isi pidatonya menjadi perhatian serius dari kalangan intelektual Islam. Mengingat isi pidato pengukuhannya sebagai guru besar banyak diminta oleh berbagai kalangan, maka pihak panitia merasa perlu untuk menerbitkan tulisannya agar setelah menjadi buku diharapkan dapat diketahui oleh masyarakat luas.

Di bagian kata pengantar buku setebal 25 halaman ini, Prof. Rasjidi menyampaikan ucapan terima kasihnya pada guru-guru serta dosen pembimbing disertasinya, yakni Louis Massignon[1].

Dalam buku yang diterbitkan penerbit Bulan Bintang ini Prof. Rasjidi banyak mengkritik Snouck Hurgronje, sekaligus mengutip pendapat Snouck yang menyatakan bahwa seorang muslim Indonesia jika mendapat pendidikan secara khusus, maka mereka tidak akan kalah dengan bangsa-bangsa lain. Snouck mencontohkan seorang pribumi, yakni Prof. Dr. Husein Djajadiningrat, yang semasa hidupnya pernah menjadi guru besar Hukum Islam di Universitas Indonesia.

 

3.   Islam dan Kebatinan

Setelah menyelesaikan pendidikannya pada jurusan Filsafat dan Agama di Universitas Kairo, Rasjidi kemudian pulang ke Indonesia tahun 1938. Bertepatan dengan tahun itu pula di kota Surakarta muncul inisiatif untuk mendirikan sebuah universitas Islam, yang diberi nama “Pesantren Luhur” oleh Dr. Satiman Wiryosanoyo. Karna Rasjidi oleh pengelola perguruan tersebut dianggap menguasai ilmu-ilmu keislaman, maka ia diberi tugas untuk mengajar Islam dan bahasa Arab di underbow-nya “Islamitiche Middlebaare School”. Sayang sekali sekolah tersebut tidak berumur panjang karena terpaksa ditutup setelah tentara Dai Nippon membangun markas di Surakarta.

Di kota Surakarta inilah awal Rasjidi berkenalan dan tertarik pada literatur kebatinan, seperti buku Hikayat Jati karangan pujangga Kraton Surakarta, yaitu R. Ng. Ronggowarsito dan buku-buku lain diantaranya adalah Darmo Gandul dan Gatoloco yang pernah menjadi objek penelitian untuk karya tulis disertasi di Universitas Leiden. Selain itu, Rasjidi juga mempelajari kitab Centini yang menurut Prof. R.M. Ng Purbacaraka merupakan chef de’euvre (karya puncak) dalam literatur kebatinan Jawa, sehingga literatur tersebut kemudian dijadikan disertasi oleh Rasjidi di Universitas Sorbonne.

Pada suatu hari, panitia pertemuan periodik ormas-ormas kebatinan, kejiwaan dan kerohanian yaitu panitia yang dibentuk oleh PAKEM (Pengawas Aliran-aliran Kepercayaan Masyarakat) mengadakan sebuah pertemuan. Kejaksaan Tinggi Jakarta Raya yang merasa pertemuan itu merupakan sebuah momen penting, kemudian mengundang Orof. Rasjidi untuk memberikan ceramah tentang “Mencari Pegangan Hidup untuk Individu dan Masyarakat” pda tanggal 19 Januari 1967.

Sekali lagi, isi penting ceramah Prof. Rasjidi menyebabkan penerbit Bulan Bintang menerbitkannya dalam bentuk buku berjudul Islam dan Kebatinan. Buku kecil setebal 150 halaman ini isinya mudah dipahami, sehingga tiap dosen yang mengampu mata kuliah Aliran Kebatinan di Fakultas Ushuluddin mewajibkan kepada mahasiswanya untuk membaca buku tersebut.

Dalam buku inil, Rasjidi mengingatkan agar pembaca berpikir kritis dan bisa membedakan antara kebatinan dan Islam. Kebatinan, pada dasarnya adalah ajaran Yoga Tantrisme – Hindu Budha, yang bertujuan untuk melepaskan diri dari penderitaan. Lepas dari penderitaan atau ekstase itu sendiri eksis dan bisa diperoleh di alam dunia, sehingga aliran tersebut beranggapan bahwa alam akhirat tidak ada dan tidaka ada yang mengetahuinya. Dengan dmeikian, maka dengan melakukan Yoga, ada yang mendapatkan ilmu ghaib, seperti mengetahui hari kemudian dan sebagainhya, ilmu alam cosmogani yang tidak alamiah, dan etika yang berdasarkan literatur Hindu. Di sini banyak istilah Islam dipakai, akan tetapi diberi arti yang sangat berlainan sama sekali bahkan bertentangan.

Kaitannya dengan kebatinan, Rasjidi berpendapat bahwa kebatinan itu berpikir secara tradisi, sehingga orang-orang yang memakai Islam sebagai gerakann kebatinan yang sebenarnya adalah mereka yang tidak mampu membedakan antara ajaran dasar Hindu dan Islam. Aliran kepercayaan itu, kata Rasjidi, tidak akan membawa masyarakat Indonesia kepada kemajuan. Pendalaman Rasjidi terhadap aliran kebatinan mendapat apresiasi dari Dawam Rahardjo. Dawam meyakini, bahwa peranan dan jasa Rasjidi yang menonjol bisa diumpamakan bahwa Rasjidi adalah guardian atau penjaga Islam. Ia membersihkan Islam dari unsur-unsur kebatinan Jawa yang dipengaruhi oleh aliran Hinduisme tertentu yang merusak citra Islam dengan jalan menisbatkan istilah-istilah tasawuf secara keliru sebagai tercermin dalam versi-versi buku Hikayat Jati, Darmo Gandul, Gatoloco dan Centini.

4.   Mengapa Aku Tetap Memeluk Agama Islam

Buku setebal 64 halaman ini terbit pertama kali pada tahun 1968, diterbitkan oleh penerbit Bulan Bintang. Dalam buku ini Rasjidi mengakui bahwa dunia modern merupakan dunia yang multireligius. Tetapi Rasjidi bersama orang-orang yang sevisi dengannga menentang aktivitas Kristenisasi yang marak melanda umat Islam khususnya. Di akhir tulisannya, Rasjidi memperingatkan kepada seluruh pemeluk agama Kristen, bahwa jika punya keinginan membantu umat Islam yang sedang menderita kemiskinan, kebodohan dan kesakitan silakan membantu, tetapi biarkanlah mereka itu tetap berada dalam keyakinan Islamnya.

5.   Agama dan Etik

Buku kecil berjudul Agama dan Etik ini berasal dari makalah Rasjidi pada Konferensi Perhimpunan Filsafat Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 13-16 Januari 1972 di Jakarta. Mengingat banyak permintaan dari masyarakat luas agar makalah tersebut dijadikan sebuah buku, maka penerbit Sinar Hudaya menerbitkannya pada tahun yang sama.

Menurut Rasjidi, jika kita mempelajari agama Islam, secara ilmiah, maka apa yang dikemukakan oleh Islam mengenai etika adalah masuk akal, sesuai watak manusia dan dapat dijadikan dasar umum. Kemudian Rasjidi berkomentar bahwa teknologi bukan satu-satunya yang diperlukan oleh negara-negara yang sedang berkembang. Dengan tidak berpegang pada etika yang bersumber dari Dzat yang transenden, teknologi akan membawa manusia kepade kehancuran. Ia menegaskan, bahwa etika menurut ajaran Islam adalah etika yang tepat bagi bangsa Indonesia dalam masa pembangunan seperti sekarang dan sesudahnya, serta dalam kehidupan nasional maupun internasional.

6.   Koreksi Terhadap Dr. Nurcholis Madjid Tentang Sekularisme

Buku setebal 112 halaman ini terbit pertama kali pada tahun 1972 dan kemudian pada tahun 1977 oleh penerbit Bulan Bintang. Dicetak ulang karena banyak permintaan masyarakat yang ingin mengetahui isi buku itu. Pada dasarnya isi buku ini merupakan tanggapan terhadap pemikiran Nurcholis Madjid sekitar tahun 1970, terutama gagasannya tentang sekularisasi. Nurcholis pernah menjabat Ketua Umum PB HMI. Dalam sebuah diskusi pada bulan Januari 1970, Nurcholis menyajikan makalah berjudul Keharusan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.

Diskusi tersebut diprakarsasi oleh GBI, HMI, dan PII. Saat membahas sub-judul “Liberalisasi Pandangan Terhadap Ajaran-Ajaran Islam Sekarang”, dibicarakan juga masalah sekularisasi. Tampil sebagai penyanggah adalah Abdul Qadir Djaelani, Ismail Hasan Metarum dan Saifuddin Anshori. Di antara ketiga penyanggah ini Abdul Qadir Djaelani dan Saifuddin Anshori tegas-tegas menolak ide sekularisasi tersebut. Seluruh makalah diskusi tersebut kemudian diterbitkan oleh Islamic Research Centre Jakarta, yang dikatapengantari Utomo Danandjaja.

Sekularisasi menurut Rasjidi tetap bertentangan dengan ajaran Islam. Tanggapan Rasjidi terhadap pemikiran-pemikiran Nurcholis luas dan dalam. Tanggapan ini menunjukkan bahwa Rasjidi menguasai serta memahami isi Islam secara komprehensif, di samping memahami isi agama lain.

Rasjidi menolak secara keras pendapat Nurcholis bahwa sekularisasi di satu konteks dapat bernilai lain jika dikenakan pada konteks yang lain; misalnya berperang mempertahankan diri hukumnya wajib padahal dalam peperangan kitu terjadi bunuh-membunuh, sedang membunuh dalam konteks yang lain adalah haram. Sebagai kelanjutan dari teorinya itu, Nurcholis mengatakan bahwa sekularisasi yang menjurus pada sekularisme memang dilarang, sebab memghapuskan atau meniadakan kepercayaan kepada Tuhan.

Bagi Prof. Rasjidi, sekularisasi tidak mungkin dipisahkan dari sekularisme.

Buku itu ia luncurkan setelah upaya pendekatan secara pribadi gagal dilakukan. Sebagai guru besar di Universitas Indonesia, Prof. Rasjidi tak segan-segan menasehati Nurcholish yang ketika itu masih sarjana S1. Setelah memberikan kritiknya, Prof. Rasjidi menulis :

 “… jika Saudara sudah pernah membaca uraian semacam ini, dan Saudara tetap dalam alam sekularisasi dan desakralisasi Saudara, maka saya hanya dapat berkata “Saya telah melakukan kewajiban saya, watawasau bil-haqqi watawasau bissabri.

 

7.   Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya

Pada tahun 1974 penerbit Bulan Bintang menerbitkan buku karangan Dr. Harun Nasution yang berjudul Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, dalam dua jilid. Kemudian pada cetakan kelima tahun 1985, buku tersebut diterbitkan oleh penerbit Universitas Indonesia sampai mengalami beberapa kali naik cetak. Karena isinya banyak yang tidak sesuai dengan konsep-konsep dalam ajaran Islam, maka Prof. Rasjidi mengajukan laporan kepada Menteri Agama dan para pembantunya mengenai buku tersebut.

Kritik Rasjidi dianggap angin lalu saja. Buku Harun Nasution dijadikan buku pegangan wajib, tanpa menyertakan kritik dari Prof. Rasjidi. Bisa dipahami, jika banyak mahasiswa yang kemudian mengenal dan menjadi pengikut setia pemikiran Harun Nasution. Padahal, Prof. Rasjidi sudah mengingatkan, cara pandang buku tersebut terhadap Islam adalah “sangat berbahaya”.

Setelah lebih dari satu tahun laporan tersebut tidak mendapat perhatian dari Departemen Agama, Prof. Rasjidi kemudian menulis buku yang berjudul Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Buku setebal 156 halaman ini terbit pertama kali tahun 1977 yang diterbitkan oleh penerbit Bulan Bintang. Penerbitan buku ini bertujuan agar mereka yang pada mulanya menyatakan keberatan terhadap buku Dr. Harun Nasution, dapat menemukan keterangan-keterangan yang dirasa perlu untuk diketahui dan disajikan kepada para mahasiswa IAIN khususnya dan umat Islam Indonesia pada umumnya.

Tentang buku Harun Nasution tersebut, Rasjidi menyatakan :

“Saya menjelaskan kritik saya fasal demi fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr Harun tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementrian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh Kementrian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.”

Berdasarkan uraian di atas, ditulisnya buku Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution oleh Prof. Rasjidi ini adalah bentuk keprihatinannya terhadap isi buku itu dan keluhan-keluhan dari masyarakat luas mengenai materi atau pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Dr. Harun Nasution. Menurut Prof. Rasjidi, buku Dr. Harun Nasution yang diwajibkan untuk dipelajari mahasiswa IAIN adalah buku yang penuh dengan pikiran kaum orientalis. Dalam buku itu ada beberapa permasalahan yang disimpulkan oleh Prof. Rasjidi. Pertama, adalah pernyataan bahwa Tuhan tidak perlu ditakuti, tetapi dicintai, adalah pendapat Kristen. Kedua, agama monotheisme adalah Islam, Yahudi, dan Kristen (Katholik dan Protestan) dan Hindu adalah pikiran comparative religion yang dimunculkan oleh orang-orang yang mendasarkan pemikirannya hanya pada hal-hal yang ilmiah dengan tidak beriman sedikit pun. Ketiga, orang-orang yang kotor tidak akan diterima kembali ke sisi Yang Maha Suci, adalah ekspresi Kristen, pengaruh dari Neo-Platonisme dan Gnostcidme. Keempat, tidak dapat diketahui dengan pasti mana hadits yang benar-benar berasal dari Nabi SAW dan mana hadits yang dibuat-buat. Ini adalah pengaruh pemikiran Goldziher, seorang orientalis Yahudi dari Hongaria.

Sedangkan masalah ketujuh, Islam dalam sejarah tidak mengambil bentuk ketatanegaraan atau dengan kata lain tidak ada konsep negara Islam. Ini adalah konsep Kristen, karena ajaran Kristen tidak mengandung konsepsi tentang negara Kristen.

Prof. Rasjidi menegaskan, pokok-pokok pikiran buku itu menunjukkan pikiran orang yang belum yakin akan kebenaran mutlak isi al-Qur’an dan belum sadar akan kelemahan serta bibit kehancuran yag sekarang tengah menggerogoti peradaban Barat. Pada awalnya kita, umat Islam Indonesia menginginkan generasi muda Islam yang menguasai ilmu-ilmu keislaman. Di samping itu, mereka juga harus menguasai ilmu-ilmu semacam sosiologi, hukum, ekonomi, dan sebagainya. Buku Dr. Harun Nasution menunjukkan gejala kuatnya pengaruh orientalis terhadap pemikiran umat Islam sehingga Islam dianggap harus menyesuaikan diri dengan peradaban Barat. Dengan begitu akan hilanglah identitas Islam kita, dan akan hilanglah kekuatan jiwa yang kita dapat dari al-Qur’an.

8.   Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi

Diberlakukannya pendidikan agama mulai dari Sekolah Dasar hingga ke jenjang Perguruan Tinggi telah menjadi Keputusan MPRS No.11 Tahun 1960 tertanggal 3 Desember 1960. Prof. Rasjidi sendiri waktu itu menjabat sebagai Ketua Badan Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi.

Buku setebal 116 halaman ini diterbitkan pertama kali tahun 1974 oleh penerbit Bulan Bintang dan mengalami cetak ulang yang ketiga tahun 1983. Dalam buku ini Prof. Rasjidi menjelaskan mengenai tingkatan teologi dan metafisik, pengelompokan agama-agama di dunia, serta sikap yang harus diambil umat Islam dalam menghadapi agama-agama lain. Dalam hal ini Prof. Rasjidi berpedoman pada al-Qur’an surat al-Ankbut ayat 46.

9.   Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional

Prof. Rasjidi yang aktif berkecimpung dalam gerakan kebangsaan dan keagamaan merasa wajib memberikan kritisi terhadap sebuah artikel yang ditulis oleh AMW Pranarka dengan judul Secara Kultural Nasionalisme adalah Dalil Dasar Sejarah Indonesia. Artikel tersebut dimuat dalam harian Suara Karya pada Jumat, 14 April 1978. Sebagai sebuah tulisan ilmiah, Prof. Rasjidi memandang artikel itu mengandung banyak kekeliruan yang tidak dapat dibiarkan begitu saja. Ia khawatir jika tidak dikritisi, maka para pembaca akan menganggapnya sebagai artikel yang mengandung kebenaran dan dapat diterima.

Dengan adanya kekhawatiran itu, maka Prof.Rasjidi menulis buku setebal 119 halaman, diterbitkan oleh Bulan Bintang tahun 1980. Menurut Prof. Rasjidi, dasar-dasar pemikiran tentang strategi kebudayaan yang dilontarkan oleh AMW Pranarka akan menghilangkan identitas umat Islam Indonesia yang kuantitasnya terbesar di dunia.

Meski berulang kali AMW Pranarka yang beragama Katholik itu mengatakan bahwa nasionalisme tidak memusuhi agama, tetapi menurut Prof. Rasjidi inti artikel bertajuk strategi kebudayaan ini adalah sekularisme, senada dengan historical materialism.

Sejak awal Prof. Rasjidi sudah mengendus adanya hidden agenda dalam artikel AMW Pranarka tersebut, apalagi semenjak Daud Yusuf menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, wacana pembaharuan pendidikan manusia Indonesia senantiasa didengung-dengungkan oleh sang menteri. Dan hidden agenda itu terbukti dengan diterbitkannya buku oleh CSIS[2] yang berjudul Strategi Kebudayaan dengan AMW Pranarka sebagai penulisnya. Bermula dari sini, maka Prof. Rasjidi sudah bisa menduga ke arah mana Pendidikan Nasional akan diarahkan.

Dalam buku tersebut Prof. Rasjidi juga mengkritisi kebijakan menghilangkan liburan bulan puasa untuk Sekolah Dasar. Menurutnya, ini adalah kebijakan yang sangat gegabah terhadap umat Islam di Indonesia. Kebijakan tersebut bersumber dari pokok-pokok pikiran yang tercantum dalam buku Strategi Kebudayaan.

10.   Apa Tuhan Syiah?

Buku kecil setebal 60 halaman ini diterbitkan pertama kali oleh penerbit Media Dakwah Jakarta tahun 1984. Tujuan diterbitkannya buku ini menurut penulisnya adalah ingin memberikan pengertian tentang Syiah dan menjelaskan perbedaannya dengan Ahlussunnah. Menurut Prof. Rasjidi, pada prakteknya, fiqih Syiah dan Ahlussunnah mengandung perbedaan :

1.   Yang disebut ushul dan furu’ oleh Ahlussunnah berbeda dengan yang dimengerti oleh Syiah. Itu terjadi karena aqidah dan ajaran-ajaran Syiah berbeda dengan Ahlussunnah.

2.   Karena ahli fiqih Syiah tidak boleh meriwayatkan hadits kecuali hanya Imam Syiah atau Alim Syiah, atau Rawi Syiah. Maka mendasarkan hukum-hukum syara’ dan hadits-hadits menurut riwayat Syiah. Hal ini tentu saja mengakibatkan kesempitan legitimasi dan keharusan menyalahi hukum Ahlussunnah.

3.   Ahli fiqih Syiah tidak menerima ijma’ sebagai dasar legislasi, karena hal tersebut berarti menerima pendapat orang-orang yang bukan Syiah. Ahli fiqih Syiah juga menentang qiyas, karena qiyas adalah pendapat. Padahal agama itu bukan pendapat dan harus diambil dari Alloh, Rasul dan imam-imam yang maksum. Hal ini karena mereka menganggap bahwa para imam tersebut dianggap sebagai nash-nash yang tidak mungkin dibantah.

 

 

11.   Hendak Dibawa Kemana Umat Ini?

Sejak Barat menguasai dunia Timur, maka dunia Islam telah menjadi bulan-bulanan yang menyenangkan bagi mereka. Kemajuan ilmu dan teknologi serta paham materialisme yang terus-menerus digaungkan, telah membuat umat Islam merasa inferior (dan sebagian lainnya tetap tegar). Sebagai kompensasinya, umat Islam mencoba meniru pola-pola pemikiran Barat yang individualis dan sekular. Mereka yang sudah terkena pengaruh Barat kerap tidak menyadarinya, karena ide-ide Barat masuk secara perlahan tapi simultan ke berbagai jalur politik, pertahanan, ekonomi, pendidikan, budaya, ilmu dan teknologi.

Dengan berpegang pada slogan “Barat adalah lambang kemodernan”, umat Islam berhasil dipoles menjadi “modern” yang terpisah jauh dari nilai-nilai keislamannya yang utuh dan sempurna. Bahkan, mereka terkadang lebih berani untuk mensekularkan (sekular, sekularisasi, atau sekularisme pada dasarnya sama-sama menghilangkan aqidah) atau membumikan dan mempribumikan Islam. Semua itu mereka lakukan atas nama tajdid atau pembaharuan. Padahal tajdid yang dikehendaki Islam adalah meluruskan kembali pemahaman keislaman yang centang-perenang akibat mencampuradukkan khurafat, bid’ah, dan yang lainnya dengan ajaran-ajaran Islam yang murni.

Di Indonesia, dalam dua dasawarsa terakhir, kelompok yang menamakan dirinya mujaddid atau pembaharu muncul dengan didukung media massa mainstream, baik surat kabar maupun majalah. Menurut Prof. Rasjidi, pada tahun 1970, Nurcholis Madjid secara berani berteriak lantang tentang perlunya “liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam” melalui proses sekularisasi, kebebasan berpikir, idea of progress, dan terbuka. Dari sikap intelektualnya itu, untuk pertama kali terlontar ucapan yang kemudian menjadi slogan di berbagai kesempatan, “Islam Yes, Partai Islam No!”. Kemudian dalam menutup pernyataannya itu, yang disampaikan dalam acara halal bi halal HMI, GPI, PII di Menteng Raya Jakarta itu, Nurcholis menyatakan perlunya kelompok pembaruan yang liberal.

Ide sekularisasi ini menurut Prof. Rasjidi makin memperoleh momentumnya ketika Nurcholis Madjid berbicara di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 28 Oktober 1972. Di dalam makalahnya yang berjudul “Perspektif Pembaruan Pemikiran Islam”, Nurcholis dengan penuh emosi hingga nyaris lepas kontrol mengkritik habis-habisan sikap apologi umat Islam dalam menghadapi kemajuan di masa datang. Dalam menjawab pertanyaan hadirin malam itu, ia bahkan berani menuduh kaum Muslimin yang berdoa dengan mengutip ayat al-Qur’an baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, sebagai bodoh. Menurutnya, ayat itu diperuntukkan bagi penduduk yanf diperintah Ratu Balqis, yang masih ingkar.

Buku kecil setebal 35 halaman ini berisi wawancara dan jawaban Prof. Rasjidi terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan wartawan Panjimas. Inilah petikan wawancara Panjimas dan Prof. Rasjidi :

Panjimas :

Gerakan-gerakan pembaharu yang muncul di masa Orde Baru, dengan tokoh-tokohnya seperti Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, dan (Menag) Munawir Sjadzali berbeda dengan tipologi gerakan salaf. Pada mereka, terdapat kecenderungan kuat untuk memformulasi dan melakukan idealisasi terhadap ajaran-ajaran Islam supaya lebih kontekstual terhadap perkembangan zaman (setidaknya menurut mereka yang kurang atau tidak setuju). Menurut bapak sendiri bagaimana?

Rasjidi :

Gerakan Nurcholis Madjid telah saya kenal sejak tahun 1970, ketika ia memberi ceramah di Taman Ismalik Marzuki tentang sekularisasi dengan judul “Menyegarkan Pemahaman Umat Islam Indonesia”. Saya rasa ia tetap dalam sikapnya bahkan sekarang lebih “shopisticated”. Abdurrahman Wahid tidak se-“shopisticated” Nurcholis sehingga orang lebih mudah menolak buah pikirannya : seperti gagasan mengubah “assalamu’alaikum” menjadi “selamat pagi”. Tentang Menteri Agama, saya sangat menyayangkan. Mestinya kalau ada keragu-raguan tentang  Islm, beliau dapat mengajak diskusi secara tertutup dengan beberapa orang yang ingin mencari kebenaran, dan bukan dengan orang-orang yang punya tugas untuk dilemparkan dalam masyarakat Islam. Sungguh saya kecewa ketika berada di pesawat dalam perjalanan pulang ke Jakarta, saya disodori surat kabar al-Syarqul Awsat. Dalam satu halaman, surat kabar itu memuat bantahan terhadap Menteri Agama. Setibanya di Jakarta, saya membacanya lagi dua artikel tentang pendapat Menteri Agama.

Panjimas :

Pembaharuan atau tajdid itu hanyalah sekadar episode-episode yang harus dilalui dalam perkembangan pemikiran Islam yang pada akhirnya akan diuji oleh sejarah. Menurut bapak, bagaimana seyogyanya umat Islam, baik yang intelektual atau yang awam, memahami atau mengantisipasi tajdid atau pembaharuan?

Rasjidi :

Perubahan atau tajdid tentu saja akhirnya diuji oleh sejarah. Tetapi yang jelas soal tersebut tidak perlu terjadi, dan menghabiskan tenaga dan pikiran orang yang ingin bekerja untuk Islam. Ketika dua puluh tahun yang lalu saya bekerja di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal Kanada, saya pernah berbicara dengan seorang wakil direkturnya. Saya bertanya : “Tuan mengajarkan bermacam-macam aspek dari Islam dengan begitu baik, sehingga menimbulkan pertanyaan, ‘mengapa Tuan tidak memeluk Islam?’. Ia menjawab, ‘Karena saya mengambil nasehat dari filsof kierkegaard, yang lahir pada 1813 di Copenhagen. Ia menganjurkan saya supaya orang Kristen melakukan “leap” (loncatan) dalam soal kepercayaan. Atinya tenanglah, jangan mencari-cari permasalahan. Saya seorang Kristen dan akan tetap memeluk Kristen. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Orang awam yang sudah mantap dengan Islam, malah diberi bahan-bahan yang meragukan atau yang kontroversial, saya sungguh tidak mengerti apa maksud gerakan mereka itu’.

Sebenarnya, persoalan mendasar yang dihadapi umat Islam Indonesia sekarang ini adalah eksistensi Islam itu sendiri. Kalau Islam akan disaring, ini yang boleh dan ini yang dilarang, niscaya rakyat menjadi bingung. Padahal Islam sudah jelas, ini al-Qur’annya dan itu haditsnya. Prof. Roger Garaudy pernah menulis buku Testamen Filsafat pada Abad 20 : Suatu Biografi. Ia menggambarkan bagaimana ia menjadi manusia Muslim, padahal ia seorang Guru Besar Filsafat Prancis. Ia orang yang jujur, membela bangsa Palestina yang diusir dari tanah tumpah darahnya, dengan tiada takut kepada fitnah-fitnah dna loby Yahudi yang kuat dan dahsyat itu.

 

*Penulis adalah Peneliti InPAS

 

 

 


[1] Louis Massignon adl salah seorang zending Kristen berkebangsaan Prancis yang pernah menjadi penasihat pada Departemen Koloni Prancis Urusan Afrika Selatan. Bukunya yg terkenal ialah Hallaj: Mystic and Martyr yang terbit tahun 1922.

[2] CSIS (Centre for Strategic and International Studies) lembaga think tank yang dibentuk tahun 1971 ketika Hadi Susastro dan beberapa kawan-kawannya pulang belajar dari Eropa. Merekalah yang mengusulkan dibentuknya sebuah lembaga think tank. Sebelum bergiat dalam CSIS, para kader Pastor Beek itu sudah berkiprah dalam operasi khusus (Opsus) pimpinan Ali Murtopo. Pastor Beek mempunyai kontak yang amat bagus dengan CIA. Sebagian pastor mencurigai Beek sebagai agen Black Pope di Indonesia. Black Pope adalah seorang kardinal yang mengepalai operasi politik Katholik di seluruh dunia. Worldview CSIS mengarah kepada kebijakan anti-Islam karena peran Beek di dalamnya. Setelah komunis dihancurkan oleh tentara, Beek melihat ada dua ancaman (setan) yang dihadapi kaum Katholik di Indonesia. Kedua ancaman sama-sama berwarna hijau. Islam dan tentara. Tapi Beek yakin, tentara adalah ancaman yang lebih kecil (Lesser evil) dibanding Islam yang dilihatnya sebagai setan besar.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *