Beberapa mahasiswa Islam di Universitas McGill Kanada tampak gelisah saat Prof. Yosep Schacht, seorang orientalis kaliber internasional memberikan kuliah di universitas ini. Mereka ingin mengajukan pertanyaan, bahkan mungkin bantahan atas pernyataan Schacht, namun wibawa Schacht menghalangi.
Schacht mempersamakan antara hukum Islam dengan hukum masyarakat Arab jahiliyah. Menurutnya, sistem hukum di Arab sebelum Islam adalah arbitrage, karena tidak ada hukum tertulis. Arbitrage dalam bahasa Arab adalah hakama. Yang bertindak sebagai hakim (penengah) bukan hanya kepala suku, tetapi juga setiap orang yang dianggap bijaksana.
Oleh karena itu, meskipun Nabi Muhammad mmepunyai kekuasaan politik dan militer, ia selalu bertindak sebagai arbitre (penengah) dan tidak mempunyai kekuasaan legislatif. Mendengar ceramah itu, para guru besar Islamic Studies di Universitas McGill tampak puas dan bangga.
Tapi para mahasiswa yang kebanyakan beragama Islam merasa ada yang salah dan harus diluruskan. Karena mereka segan harus membantah seorang guru besar sekelas Schacht, mereka akhirnya bungkam.
Namun Prof. H. M. Rasjidi, yang saat itu menjadi Associate Professor di Universitas McGill kemudian membantah pendapat keliru tersebut, dengan mengatakan bahwa uraian profesor itu didasarkan atas kekeliruan memahami bahasa Arab. Kata hakama dan qadla (memutuskan) dalam al-Qur’an adalah sinonim, dan memang hakama secara khusus juga berarti arbitrage.
Karena banyak orientalis yang tidak berkenan dengan bantahan Prof Rasjdi tersebut, maka beliau pun akhirnya dihadapkan ke forum guru besar untuk menanggapi segala pertanyaan dari mereka. Forum ini sekaligus untuk meluruskan kesalahan berpikir para orientalis. Prof. Rasjidi mengatakan bahwa tidak mungkin Nabi Muhammad SAW setelah menerima wahyu akan menggunakan sistem Arab jahiliyah. Arbitrage hanya dilakukan jika tidak ada teks hukum al-Qur’an.
Para orientalis yang hadir saat itu tidak terima dengan sanggahan Prof. Rasjidi, namun mereka bungkam tidak mampu mendebat setelah Prof. Toshihiko Izutsu membenarkan penjelasan Prof. Rasjidi.
Siapa Prof. Rasjidi? Mungkin bagi kaum intelektual muda yang hidup di abad ke-20, nama ini masih terasa asing. Mereka lebih sering mendengar nama seperti Mukti Ali, Harun Nasution, Nurkholis Madjid atau Ahmad Wahid. Namun, tentu saja, kapasitas intelektual, karir akademik serta kiprah Prof. Rasjidi jauh melampaui para juniornya tersebut, yang menjadi besar karena ide-ide sangat Western oriented dan pembesaran oleh media mainstream.
Prof. Dr. H. M. Rasjidi lahir di Kotagede Yogyakarta pada tanggal 20 Mei 1915 atau 4 Rajab 1333 H. Sejak kecil Prof. Rasjidi haus ilmu. Maka setelah membaca di sebuah majalah bahwa ada sebuah perguruan islam modern yang dikelola perguruan al-Irsyad al-Islamiyah (1914) di bawah pimpinan Syekh Surkati al-Anshori yang berada di Jawa Timur, Rasjidi tertarik menimba ilmu di sana. Segera saja dia menyurati pimpinan perguruan tersebut dan menjelaskan niatnya menjadi santri di sana.
Prof. Rasjidi berkesempatan berguru kepada Syekh Ahmad Surkati secara langsung. Menurut Syekh Ahmad Surkati, Rasjidi merupakan murid yang tekun dan cerdas, beberapa peristiwa yang cukup menarik adalah ketika usai bulan Ramadhan, Rasjidi diizinkan duduk di kelas empat pada permulaan sekolah berikutnya. Pada waktu itu Rasjidi sudah mampu membaca kitab-kitab yang cukup berat dan berbobot. Di antaranya buku gramatika bahasa Arab Alfiyah karya Ibnu Malik, yang dikenal sebagai buku standar bagi mereka yang hendak mempelajari bahasa Arab.
Kitab yang terdiri dari seribu bait itu semuanya dihapal di luar kepala oleh Rasjidi, sementara teman-temannya sekelas belum mampu melakukannya. Dengan kemampuannya itu, Rasjidi ditunjuk oleh Ahmad Surkati untuk menjadi asisten dalam mata pelajaran gramatika bahasa Arab. Setelah dua tahun lamanya belajari di Lawang, Jawa Timur, ia pun memperoleh ijazah (diploma). Kemudian ia kembali ke Kotagede.
Sekembalinya ke Kotagede, Rasjidi memutuskan akan menuntut ilmu di Mesir. Sebelumnya ia memang sudah mengetahui tentang perguruan tinggi di Mesir dari orang-orang yang lebih dulu belajar ke Mesir, di samping karena saat itu Mesir menjadi pusat pendidikan Islam.
Jauh sebelum arus pemikiran Islam modern menerobos Indonesia, warna Mesir dan Arab begitu kuat menjadi corak pemikiran Islam Indonesia. Sewaktu hubungan dengan Mekah atau negara-negara Timur-Tengah semakin lancar, yaitu dengan dibukanya Terusan Suez, ditemukannya kapal uap dan dilonggarkannya pengawasan serta izin naik haji oleh pemerintah kolonial Belanda, pesantren memperoleh jalan untuk memperlancar hubungan langsung dengan pusat Islam di Mekah. Literatur Islam dari Arab Saudi makin merajai pesantren. Selain itu, tidak sedikit para haki mukim yang tinggal bertahun-tahun di Mekah pulang, lalu mendirikan pesantren atau bergabung dengan pesantren yang sudah ada.
Dalam proses ini kedudukan pesantren bertambah kokoh, baik sebagai pusat studi Islam tradisional maupun pusat otoritas Islam, khususnya di daerah pedesaan. Dari informasi-informasi inilah kemudian Rasjidi tertarik untuk menimba ilmu ke Timur-Tengah. Sesampainya di Mesir Rasjidi dibantu oleh Abdul Kahar Mudzakkir yang juga berasal dari Kotagede. Rasjidi kemudian mendaftar ke Qism Am, sekolah bagian umum dan sekolah persiapan memasuki perguruan tinggi.
Selepas lulus dari sekolah persiapan, Rasjidi izin sebentar untuk mempelajari bahasa Inggris dan Prancis secara intensif . Kepala sekolah persiapan menaruh simpati pda Rasjidi lalu meminta Rasjidi kembali kesana setelah delapan bulan menekuni bahasa Inggris dan Prancis.
Saat kembali ke Qism Am, Rasjidi diuji dan masuk ke kelas lima, dan akhirnya berhasil meraih diploma Sekolah Menengah Umum dan hapal al-Qur’an 30 juz. Setelah menerima ijazah, Rasjidi berhak meneruskan ke perguruan tinggi. Universitas Darul Ulum menjadi pijakan pertamanya sebagai mahasiswa.
Universitas Kairo juga menarik minat Rasjidi. Dia tercatat menjadi mahasiswa jurusan Filsafat dan Agama. Sebagian dosennya berasal dari Universitas Sorbonne, Prancis, salah satunya adalah Syekh Mustafa Abdul Razak, murid dari Syekh Muhammad Abduh. Pada ujian akhir, Rasjidi berhasil lulus dan mendapat peringkat satu di kelasnya.
Pulang ke Indonesia dan mengemban berbagai jabatan yang diamanahkan kepadanya, Rasjidi mulai berpikir bagaimana caranya kuliah di Prancis untuk mengambil program doktor di Universitas Sorbonne, Paris. Atas pertolongan Alloh SWT, tanpa diduga datanglah seorang pria yang mengaku warga Amerika. Orang tersebut ternyata utusan dari Rockefeller Foundation, yang bersedia membantu dan memberikan beasiswa selama dua tahun untuk belajar di Prancis.
Pada Jumat, 23 Maret 1956, Prof. Rasjidi berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul l’Evolution de i’Islam en Indonesie ou Consideration Critique du livre Tjentini. Sidang disertasi tersebut dihadiri pula oleh para pejabat KBRI di Paris. Penguji yang diketuai oleh promotor dan didampingi oleh seorang pakar bahasa Arab merasa puas dengan disertasi Prof. Rasjidi sehingga memberikan predikat cum laude dengan pujian atasnya.
*Penulis adalah Peneliti InPAS
[1] Toshihiko Izutsu merupakan seorang profesor yang mengajar Islamic Studies di Universitas McGill Kanada yang menguasai lebih dari 30 bahasa, termasuk Arab, Persia, Sanskerta, Pali, China, Rusia, dan Yunani, dengan melakukan penelitian di sejumlah negara Timur-Tengah, Iran, India, Eropa, Amerika Utara dan Asia. Buku-buku yang pernah ditulisnya antara lain Ethico-Religious Concepts in the Qur’an, Concept of Belief in Islamic Theology, God and Main in the Qur’an, Sufism and Taoism : A Comparative Study of Key Philosophical Concepts, Creation and the Timeless order of Things : Essays in Islamic Mystical Philosophy, Toward a Philosophy of Zen Buddhism, Language and Magic : Studies in the Magical Function of Speech.
[2] Karya tulisnya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Law yang terbit pada tahun 1960. Dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil penelitiannya tentang Hadis Nabawi, di mana ia berkesimpulan bahwa Hadis Nabawi, terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijrah.