Para mahasiswa Muslim tampak gelisah. Mereka kelihatan ingin bertanya bahkan menolak pernyataan tersebut. Tapi wibawa Schacht menghalangi keberanian mereka. Namun tiba-tiba seorang laki-laki berdiri dan menyanggah ucapan sesat sang profesor. Ia mengatakan, pendapat Schacht didasarkan kekeliruannya memahami bahasa Arab.
Laki-laki itu adalah Prof. HM. Rasjidi, cendekiawan Islam Indonesia yang tengah menjadi Associate Profesor di Universitas McGill.
Beberapa hari kemudian Rasjidi “disidang” oleh para orientalis di McGill. Kesempatan ini dimanfaatkannya untuk memaparkan bantahannya terhadap Schacht. Rasjidi tidak sendirian saat itu. Prof. Isutzu, orientalis terkenal asal Jepang turut membelanya.
Ketika Rasjidi menjabat sebagai wakil direktur Islamic Centre di Washington DC, ia pernah berdiskusi dengan Prof H.A.R. Gibb mengenai ”Islam dan Perdamaian”. Di akhir diskusi, Gibb menyetujui pendapat Rasjidi bahwa Islam adalah agama cinta damai.
Bintang Gemilang
Nama aslinya Saridi. Lahir di Yogyakarta, 20 Mei 1915. Nama “Rasjidi” diberikan oleh Syaikh Ahmad Surkati, gurunya saat sekolah di Al-Irsyad, Lawang, Kab. Malang. Saat itu Syaikh Surkati –pendiri Al-Irsyad– merasa kesulitan menghafal nama Jawa “Saridi”. Berulang kali Syaikh memanggil “Saridi” dengan “Rasjidi” (Rasyidi-pen). “Sejak itu saya mengubah nama menjadi Rasjidi,” katanya.
Anak kedua dari lima bersaudara ini menghabiskan masa kecilnya di Kotagede, Yogyakarta. Memasuki usia sekolah, Rasjidi belajar di Ongko Loro. Tak lama di Ongko Loro, putra Atmosudigdo ini pindah ke sekolah Muhammadiyah. Tamat dari Muhammadiyah, ia melanjutkan di Kweekschool Muhammadiyah Ngabean, Sleman.
Belum sempat menyelesaikan sekolahnya, ia pindah ke perguruan Al-Irsyad di Lawang. Dari sini Syaikh Surkati mengetahui kecerdasan Rasjidi. Ia sudah hafal kitab Alfiah karya Ibnu Malik, kitab tata bahasa Arab yang berisi seribu bait syair.
Karena kecerdasannya yang menonjol, Rasjidi sering diajak diskusi oleh Syaikh Surkati di rumahnya. Bahkan, menunjuknya sebagai asisten pelajaran gramatika Bahasa Arab. Selama belajar dengan Surkati, Rasjidi banyak mendalami kitab-kitab klasik karangan para ulama Islam. Dua tahun belajar di perguruan ini, ia memperoleh gelar diploma.
Rasjidi kembali pergi menuntut ilmu. Ia berangkat ke Kairo, Mesir. Di kota ‘seribu satu menara’ ini ia belajar di Qisim Aam bagian umum. Lalu ia melanjutkan ke Sekolah Guru Tinggi Bahasa Arab Darul Ulum. Masuk sekolah ini tidak mudah. Karenanya, sebagai persiapan ia mengambil les privat. Sedang pengajarnya waktu itu adalah Sayid Qutb, penulis tafsir fi dzilâl al-qur`an.
Rasjidi tidak hanya lulus tes, tapi langsung di terima di kelas tiga. Di sini ia belajar dengan tekun. Hasilnya, gelar diploma berhasil ia raih sekaligus mampu menghafal 30 juz Al-Qur`an. Lalu Rasjidi melanjutkan pendidikannya di Universitas Darul Ulum. Baru setengah bulan belajar, Rasjidi memutuskan pindah ke Universitas Kairo jurusan filsafat dan agama. Dari universitas ini Rasjidi mendapat ijazah Licence (setingkat S1).
Sekitar 1950-an Rasjidi meneruskan kuliahnya di Universitas Sorbonne Paris, Perancis. Dengan tesis berjudul ”l’Evolution de l’Islam en Indonesie ou Consideration Critique du Livre Tjentini” (Evolusi Islam di Indonesia atau Tinjauan Kritik terhadap Kitab Centini), ia meraih gelar doktor dengan predikat cum laude.
Membendung Liberalisme
Rasjidi dikenal gigih menentang sekularisme dan liberalisme. Tiga puluh tahun lalu ia mengkritik buku Harun Nasution yang berjudul ”Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya”. Menurutnya, buku itu sangat membahayakan ajaran Islam. Apalagi buku itu dijadikan buku wajib di seluruh Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) di Indonesia.
Maka pada 1975, Rasjidi menulis laporan rahasia kepada menteri agama dan beberapa eselon tinggi di Departemen Agama (Depag). Rasjidi menulis: “Laporan Rahasia tersebut berisi kritik terhadap buku Sdr. Harun Nasution yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Saya menjelaskan kritik saya fasal demi fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementerian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh Kementerian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan sebagai buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia”.
Karena laporannya tidak ditanggapi, maka pada 1977 Rasjidi menulis buku berjudul ”Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang `Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya`”. Di buku ini ia banyak membantah pendapat-pendapat Harun yang keliru.
Selain membantah ide-ide Harun, Rasjidi pun menulis buku bantahan terhadap ide sekularismenya Nurcholis Madjid. Buku itu berjudul ”Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisme”. Selain kedua buku itu, Rasjidi juga menulis buku-buku lain tentang bahaya sekulerisme dan liberalsime.
Untuk Dakwah dan Negara
Tahun 1946, Rasjidi diangkat sebagai Menteri Agama pertama RI oleh Perdana Menteri Sjahrir. Setahun kemudian Rasjidi ditunjuk sebagai sekretaris dan bendahara Delegasi Diplomatik RI untuk negara-negara Timur Tengah di bawah pimpinan Haji Agus Salim. Bermarkas di Kairo, delegasi ini berhasil meyakinkan negara-negara Timur Tengah untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.
Saat Haji Agus Salim ditugaskan ke Amerika, Rasjidi ditunjuk sebagai Kepala Perwakilan RI di Kairo. Setelah dua tahun menjadi Duta Besar di Mesir, Rasjidi ditugaskan menjadi duta besar di Iran. Tak lama, ia dipanggil ke Jakarta untuk membantu Departemen Luar Negeri.
Pada 1965 Raja Faisal dari Arab Saudi meminta Rasjidi bergabung di Rabithah Alam Islami. Selama di Rabithah, ia banyak menulis dan menerjemahkan buku. Rasjidi pun diangkat sebagai kepala kantor Rabithah Indonesia. Rasjidi juga dipercaya sebagai anggota Majlis Ta’sisi (Dewan Konstitusi) yang beranggotakan 50 orang dari berbagai negara Islam.
Rasjidi juga aktif di Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) sejak berdirinya hingga meninggal dunia. Bersama Natsir, pendiri DDII, Rasjidi banyak bekerjasama membendung sekularisme dan kristenisasi di seluruh Indonesia.
Di masa tuanya Rasjidi lebih banyak membaca dan menulis. Pada 30 Januari 2001 Rasjidi dipanggil oleh Allah swt. Ia dikuburkan di tanah kelahirannya, Kotagede. Tidak banyak orang tahu, tidak ada liputan besar dari media, juga tak ada penghormatan dari pemerintah. *(Dwi Budiman/Hidayatullah)