Oleh: Ahmad Kholili Hasib
Inpasonline.com-“Untuk membendung kemungkinan blok persatuan Islam, CIA (Central Intelligence Agency) mendukung gerakan komunis bawah tanah, hanya karena mereka tahu gerakan itu akan menghancur-leburkan negara-negara Islam”.
Pernyataan tersebut ditulis oleh Maryam Jameelah (Margaret Marcus) — seorang adalah mantan Yahudi — dalam bukunya Islam and Modernism (Edisi Indonesia Islam dan Modernisme terj. A Jainuri dan Syafiq A Mughni). Kalimat tersebut ditulis ketika menjelaskan tentang makar kaum sosialis Sudan dan komunis Yaman beberapa waktu silam yang berakhir dengan perang saudara.
Menurutnya, uji coba CIA dilakukan di beberapa negara Islam. Barat memakai tangan komunis untuk melemahkan kekuatan. Tentu saja, dalam frame imperialis Barat, komunis sudah bukan musuh utamanya. Kata Prof. Stanley Spector dari Washington University “Bukan komunis yang benar-benar berbahaya tetapi umat Islam konservatif dan fanatik”(HS.Shafiuddin,The Muslim World, hal2).
Dari pendapat mantan Yahudi itu dapat disimpulkan, sebenarnya tanpa kita rasakan ada gerakan bersama secara sistematis antara imperialisme modern dan komunisme. Sosialisme, komunisme, marxisme dan Lenisme dijadikan alat imperialis untuk menghadapi Islam secara terbuka. Meski komunisme adalah musuh kapitalisme Barat, tetapi secara tidak terlihat dijadikan senjata. Sebabnya, di era modern, komunisme bukan lagi musuh utama kapitalisme. Yang ditakutkan imperalis Barat adalah tersusunnya blok persatuan Islam.
Salah satu gaya imperialisme modern adalah para penjajah tidak melakukan kontak langsung dengan negara yang akan dijajah, tetapi memakai tangan kaum komunis dan marxis. Mereka berfikir, gaya komunis dan marxis yang radikal, dan militan mempercepat pelemahan umat Islam.
Taufiq Ismail, sastrawan kenamaan, mengatakan di Indonesia pelemahan umat Islam oleh komunis pada tahun 60-an dilakukan dengan cara melancarkan fitnah-fitnah kepada para ulama.
“Pada masa 60-an, kata dia, mereka berhasil memenjarakan pemimpin dan aktivis Islam seperti Buya Hamka dan Isa Anshary”, kata Taufiq dalam republikaonline 22/1/2017.
Ulama menjadi sasaran, karena gerakan ulama’-lah yang mempu membangkitkan kesadaran rakyat. Oleh sebab itu, dengan mengkriminalkan ulama, maka kesadaran rakyat akan runtuh. Demikian logikanya.
Cara pelemahan itu dengan dua cara; pertama dengan kriminalisasi secara fisik. Kedua, pelemahan pemikiran para pemimpin umat itu. Kriminalisasi fisik, telah dilakukan Belanda dan komunis. Adapun pelemahan pemikiran ini merupakan model baru. Tingkat bahayanya lebih besar daripada kriminalisasi fisik. Karena, mereka mengubah hak menjadi batil dan batil menjadi haq.
Zaman penjajahan Belanda, pelemahan pemikiran sulit dilakukan. Tetapi tetap dijalankan. Zaman itu para barisan ulama dan santri sangat solid. Basis pesantren menjadi benteng utama. Tetapi bukan berarti tidak ada upaya.
Upaya itu dilakukan dengan cara mendatangkan sarjana Belanda yang ahli keislaman dan budaya lokal seperti Snouck Hurgronje, Van Vollenhove, JH Kern, JLA Brandes NJ. Krom dan lain-lain. Proyek politik Etis Belanda itu tujuannya melumpuhkan ulama dan pesantren. Maka, salah satu proyek tersebut dilakukan dengan membangun sekolah-sekolah bercorak Belanda.
Pakar Sejarah Indonesia, Prof. Ahmad Mansur Suryanegara menulis: “Pemerintah kolonial Belanda, tidak hanya ingin mengetahui lebih dalam tentang agama Islam, tetapi juga bertujuan ‘menaklukkan’ ulama dan santrinya. Di samping itu pemerintah colonial Belanda juga mengadakan penelitian ajaran agama Hindu dan Budha. Adapun tujuan penelitian tersebut, dapat dipastikan akan digunakan sebagai media pelaksanaan devide and rule. Melalui hasil penelitian para pakar yang didanai pemerintah colonial Belanda, pola pikir pribumi Indonesia akan diubah menjadi berbalik berbudaya seperti Barat dan agama pun diperangkan” (Ahmad Mansur Suryanegara,Api Sejarah 1, hal. 286).
Menaklukkan ulama dan santri berarti menaklukkan Islam. Salah satu cara strategis dan halus untuk menalkukkan Islam itu adalah dengan mengangkat kebudayaan Hindu Buda dan menyusun kesan Islam tidak memiliki kontribusi apa pun terhadap bangsa Indonesia. Bahkan Islam dinihilkan dari gerakan kemerdekaan dan nasionalisme.
Pertama yang dilakukan para sarjana Belanda itu adalah dengan memugar candi Budha Borobudur dan candi Prambanan, yang sudah ratusan tahun tertanam di dalam tanah. Tujuan Belanda memugar candi-candi itu adalah menghidupkan kembali Hindu Budha dan menggeser pengaruh Islam serta para ulama. Target upaya ini adalah mengubah pandangan penduduk pribumi, bahwa Islam dan para ulama tidak memiliki peran apapun dalam membangun bangsa. Bahkan, ulama dan santri disebut sebuah media eropa pada masa itu sebagai kaum ekstrimis berbahaya. Inilah yang dinamakan kriminalisasi sejarah ulama dan santri.
Ahmad Mansur Suryanegara menulis: “Di sisi lain, candid an patung Hindu dan Budha sebenarnya hanya terdapat di sebagian kecil Nusantara. Penganutnya pun sebagai minoritas. Namun, penulisan sejarah Hindu-Budha dibesar-besarkan, jauh lebih besar daripada Islam. Disebutnya zaman Hindu-Budha sebagai zaman kejayaan dan keemasan. Sebaliknya, Islam yang telah menyebar ke seluruh Nusantara dan mampu melancarkan perlawanan terhadap penjajah Barat, dinilah sebagai zaman perpecahan. Tidak pula dibicarakan masalah partisipasi umat Islam dalam menegakkan kedaulatan bangsa dan negara atau yang dikenal dengan istilah ipoleksosbud hankam” (Api Sejarah, hal. 289).
Dampak menyakitkan dari Politik etis Belanda adalah ‘mematikan’ pesantren dan membangun opini bahwa pesantren sebagai faktor keterbelakangan. Sekolah-sekolah yang didirikan Belanda, seperti Europesche Lager School (ELS), Westerch Lager School (dua sekolah ini untuk orang Eropa dan pribumi dari kalangan ningkrat), Hollandsch Chinese School (HCS), sekolah untuk keturunan Cina, Ambonsche Burger School (ABS) sekolah khusus untuk suku Ambon, dan lain-lain merupakan sekolah elit dengan fasilitas mewah. Akibatnya, menumbuhkan pemahaman dari kaum bangsawan pribumi bahwa sekolah di sekolah Belanda meningkatkan status sosial, lebih terhormat daripada sekolah di pesantren.
Selain difitnah, pesantren kerap menjadi sasaran serangan serdadu penjajah. Dibakar atau dirobohkan. Beberapa pesantren mengalami kelumpuhan. Tujuannya, pesantren tidak dapat bekerja secara sistematis dengan penataan kurikulum dan strata studinya.
Namun, yang paling menyakitkan sebetulnya munculnya orang-orang pribumi yang anti pati terhadap ulama dan santri. Mereka berasal dari kaum abangan dan kebatinan produk proyek pendidikan Belanda.
Zaman telah berlalu, tetapi efek kolonialis Belanda bisa jadi masih dirasa. Buya HAMKA pernah mengatakan: “Sejarah tidaklah mengulang dirinya. Tetapi perangai manusia di segala zaman, baik dalam nama feodalisme, atau demokrasi atau diktator adalah sama saja”(HAMKA,Dari Perbendaharaan Lama, hal. 120).
Karena itu, nasihat Ibnu Athoillah patut dipegang jadi panduan: “Janganlah kamu bersahabat dengan seseorang yang keadaannya tidak membangkitkanmu untuk taat agama dan ucapannya tidak menunjukkanmu kepada jalan Allah” (kitab al-Hikam).