Oleh: Ahmad Hasan Saleh*

 Umar-Bin-KhattabInpasonline.com-Dalam berbagai literatur, “kepemimpinan” dimaknai sebagai bentuk kemampuan menggarap orang lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh seorang pemimpin. Misalkan Munson dalam bukunya The Management of Man yang disadur oleh Pamudji (1989:11)  mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan menangani atau menggarap orang-orang sedemikian rupa untuk mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan sekecil mungkin pergesekan dan sebesar mungkin kerjasama. Allport mengatakan “Leadership means direct face to face contact between leader and followers; it’s personal social control (kepemimpinan berarti mengarahkan kontak tatap muka antara pemimpin dan pengikut-pengikut; ini adalah pengendalian atau pengontrolan pribadi sosial). Sedangkan Bundell dalam Pamudji (1989:12), mengatakan sebagai seni mendorong atau mempengaruhi orang lain untuk mengerjakan apa yang dikehendaki seorang pemimpin untuk dikerjakannya.

Dari definisi diatas menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak ada bedanya dengan penindasan, namun dikemas dalam bentuk kata-kata yang indah. Sehingga wajar, ketika banyak pemimpin memiliki orentasi yang salah dalam mencapai tujuan, terutama dalam merebut kursi (kedudukan). Sehingga cara yang digunakan untuk goal-striving dilakukan dengan berbagai cara. Karena kekuasaan saat ini bukanlah kesejahteraan, kedamaian, keadilan yang menjadi main purpose, tapi kehormatan, pangkat/jabatan, harta bahkan penguasaan terhadap hak-hak individu seseorang. Sehingga kepemimpinan menjadikan dirinya bertindak sebagai Tuhan (mengambil alih hak Tuhan).

Orientasi kepemimpinan yang berubah memberikan gambaran pada diri kita dan orang lain bahwa framework yang dimiliki selama ini sebagai muslim telah ada kekeliruan. Karena bisa jadi kesalahpahaman tersebut disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap konsep islam dalam memandang kepemimpinan. Atau teracuninya pemikiran umat muslim oleh pemikiran-pemikiran Barat (orientalis).

Orintalisme dalam memaknai pemikiran kepemimpinan khususnya dalam memahami kisah Yusuf dalam meminta posisi bagi dirinya sendiri telah didistorsi secara nyata.

Dalam surat Yusuf (11):54-56 yang intisarinya adalah Nabi Yusuf diberi kekuasaan (orang terpercaya) oleh Al Aziz (raja) bukan meminta kekuasaan pada Al Aziz, karena pada ayat 54 dinyatakan “Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami.”. Karena nabi Yusuf tahu kemampuan dirinya (keimanan, ketaqwaannya tidak diragukan pada Allah), maka Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”(ayat 55).

Tidak benar jika suatu kekuasaan harus diminta dengan membanggakan dirinya, penuh dengan janji pada umat, sedangkan dirinya tidak menunjukkan sikap hidup yang bisa dicontoh oleh umat, misalkan dalam memimpin rumah tangga, ia belum bisa menjadi pemimpin yang baik bagi keluarganya dengan membiarkan anggota keluarga tidak menjalankan sholat lima waktu, tidak menutup aurat, memberikan nafkah yang tidak sesuai dengan syariat dan sebagainya. Dari lingkungan kecil inilah sesungguhnya akan mampu melihat kepribadian diri dan harusnya mampu menjadi bahan intropeksi diri (self assesment) sebelum dirinya dipilih umat untuk menjadi pemimpin yaitu melihat kemampuan diri secara jujur atas kemampuan dan keahlian dirinya untuk menjadi ushwa (teladan) dalam masyarakat.

Kalau membaca kisah Umar bin Khattab dalam melayani dan memperhatikan umat sungguh luar biasa. Umar bin Khattab dalam setiap malamnya berkeliling untuk melihat kondisi umatnya dan bahkan rela dirinya memikul beras untuk diberikan kepada seorang ibu dan anaknya yang sedang kelaparan. Ibu itu pun tidak tahu kalau yang memberikan semalam adalah seorang khalifah (pimpinan negara). Dan kisah Umar bin Abdul Aziz yang mau mendengarkan nasehat dari anak kecil yang berusia belasan tahun.

Dari kisah diatas menunjukkan bahwa seorang pemimpin harusnya mau untuk bersusah payah (bertanggung jawab) memperhatikan dan peduli terhadap umatnya dengan turun secara langsung untuk lebih dekat mereka dan mau mendengarkan kebaikan yang datang dari siapapun dan darimanapun.

Ada tiga istilah sebagai landasan kepemimpinan dalam perspektif Islam. Pertama, dalam Al-Qur’an istilah pemimpin disebut Al-Imâm (Jamaknya : A-immah). Kata ini bersal dari amma – ya’umm – amman- wa Imâman. Artinya, pemimpin sebagai pemegang amanat, baik dari Allah maupun dari manusia, yang harus dipertanggungjawabkan. (Lihat QS. Al-Anfâl : 27). Kedua, pemimpin sebagai Khalîfah (Jamaknya : Khulafâ , Khalâif). Khalifah berarti penguasa, pengganti, wakil, atau mandataris. Juga berarti Khalfun (dari kata khalafa – yakhlifu) yang berarti belakang, sehingga pemimpin harus bersikap “tutwuri handayani”, mengikuti dan mendorong aspirasi umat, selain sebagai Imâm yang harus berada di depan memberi teladan. Ketiga, pemimpin sebagai Râ-in (penggembala). Kata ini berasal dari ra’â – yar’â –ra’yan – ri’âyatan – wa mar’an. Ini antara lain memiliki arti “perhatian” (ri’âyatan) dan juga berarti “tempat gembalaan” (mar’an), sehingga seorang pemimpin harus mempunyai perhatian sampai kepada tempat dan kondisi yang dipimpinnya.

Kepemimpinan Islam, sudah merupakan fitrah bagi setiap manusia yang sekaligus memotivasi kepemimpinan yang Islami. Manusia di amanahi Allah untuk menjadi khalifah Allah (wakil Allah) di muka bumi (Q.S.al-Baqarah:30), yang bertugas merealisasikan misi sucinya sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Sekaligus sebagai abdullah (hamba Allah) yang senantiasa patuh dan terpanggil untuk mengabdikan segenap dedikasinya di jalan Allah.  Sabda Rasulullah “setiap kamu adalah pemimpim dan tiap-tiap pemimpin dimintai pertanggungjawabannya (responsibilitiy-nya)”.

Konsep amanah yang diberikan kepada manusia sebagai khalifal fil ardli menempati posisi senteral dalam kepemimpinan Islam. Logislah bila konsep amanah kekhalifahan yang diberikan kepada manusia menuntut terjalinannya hubungan atau interaksi yang sebaik-baiknya antara manusia dengan pemberi amanah (Allah), yaitu: (1) mengerjakan semua perintah Allah, (2) menjauhi semua larangan-Nya, (3) ridha [ikhlas] menerima semua hukum-hukum atau ketentuan-Nya. Selain hubungan dengan pemberi amanah (Allah), juga membangun hubungan baik dengan sesama manusia serta lingkungan yang diamanahkan kepadanya (Q.S.Ali Imran:112). Tuntutannya, diperlukan kemampuan memimpin atau mengatur hubungan vertical manusia dengan Sang Pemberi (Allah) amanah dan interaksi horizontal dengan sesamanya.

Jika kita memperhatikan teori-teori tentang fungsi dan peran seorang pemimpin yang digagas dan dilontarkan oleh pemikir-pemikir dari dunia Barat, maka kita akan hanya menemukan bahwa aspek kepemimpinan itu sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas maupun kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi secara horizontal semata. Konsep Islam, kepemimpinan sebagai sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas, kegiatan mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi baik secara horizontal  maupun vertikal. Kemudian, dalam teori-teori manajemen, fungsi pemimpin sebagai perencana dan pengambil keputusan (planning and decision maker), pengorganisasian   (organization), kepemimpinan dan motivasi (leading and motivation), pengawasan (controlling) dan lain-lain (Aunur Rahim, dk., 2001:3-4).

Ada beberapa dasar kepemimpinan dalam Islam yang harus dijadikan landasan dalam berorganisasi (Quraish Shihab, 2000), di antaranya ialah :

  1. Tidak mengambil orang kafir, tidak beriman sebagai pemimpin (QS.An-Nisaa: 144).
  2. Tidak mengangkat pemimpin dari orang-orang yang mempermainkan Agama Islam, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Maidah: 57;
  3. Pemimpin harus mempunyai keahlian, selektif dan mendukung terhadap kebaikan yang sesuai syariat.
  4. Pemimpin harus bisa diterima (acceptable), mencintai dan dicintai umatnya, mendoakan dan didoakan oleh umatnya.

Dari dasar kepemimpinan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa seorang pemimpin harus memiliki karakter yang khas, yang disingkat dengan memiliki sifat yaitu:

  1. Siddiq (Honest): Jujur
  2. Istiqomah (Consistent): konsisten
  3. Fatonah (Smart): cerdas menanggulangi persoalan danintropeksi bila muncul permasalahan
  4. Amanah (Responsible): tanggung jawab
  5. Tabligh (Comunicative): menyampaikan kebenaran dan terbuka.

  Karakter sifat merupakan sintesis Rasulullah terhadap Al Quran sebagai mu’jizat terbesar dalam kehidupan. Sifat ini adalah karakter Rasulullah dalam memimpin umat dan dijadikan tauladan oleh pemimpin setelahnya (khalifah) dan ternyata sikap yang terbentuk dengan memegang teguh karakter dasar mampu mempengaruhi orang lain dan menarik simpati manusia. Dan terbukti sangat efektif dan efisien dalam mencapai tujuan dunia dan akhirat.

Penulis adalah aktivis ITCON Malang

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *