Adian Husaini: “Integrasi Ilmu Dunia dan Akhirat Menghasilkan Manusia Beradab”

Written by | Berita

Adian_husaini_20130625_150144Inpasonline.com- Sabtu5 April 2014, INSISTS (Insitute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) mengadakan Diskusi Dwipekanan bertajuk “Bedah Jurnal ISLAMIA : “Isu-isu Pendidikan Antara Problematika dan Konseptualisasi”, dengan pemateri Dr. Adian Husiani, di kantor INSISTS Jl. Kalibata Utara Jakarta Selatan.

Dalam diksusi itu Adian mengatakan   bahwa integrasi ilmu dunia dan akhirat justru akan menghasilkan manusia yang beradab.

Sekarang ini terang Adian, terjadi penyempitan makna belajar. Kita banyak mengatakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) itu adalah kegiatan sekolah formal di kelas sehari 7 jam. Di luar itu, tidak disebut KBM. Menurut Adian ini salah.

Dalam diskusi itu Adian sempat menceritakan pengalaman masa kecilnya. Menurutnya, pada masa itu, anak-anak diberi kebebasan bereksplorasi. Alam menjadi laboratorium-nya. Main ke sungai, mencari ikan di sana, main bola dan permainan lainnya yang menggunakan alam sebagai pusat belajar, mendewasakan mereka.

“Anak kampung seperti saya nggak dicariin sama orangtua. Mau main ke sungai nggak pulang-pulang, jam 12 malam main bola, nggak papa. Tapi, kalau sekali saja ketahuan nggak ngaji, wah sudah. Dimarahi habis-habisan,”tutur lulusan Madrasah Diniyah Nurul Ilmi, Bojonegoro, Jawa Timur, itu sembari tergelak.

Penulis buku “Pendidikan Islam, Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab” itu menambahkan, membuat kurikulum tidak boleh berbasis keinginan orangtua murid. Sekolah macam itu pada akhirnya tidak memiliki visi karena mengikuti arus pasar.

Adian mensinyalir itulah perbedaannya dengan pengajar zaman sekarang.

“Guru zaman dulu semangat ngajar. Saya pernah punya guru bidang fikih di pesantren. Murid dua sekalipun, semangatnya sama. Tetap total mengajar,”ulasnya lagi.

Walaupun komersialisasi pendidikan marak saat ini, ia pernah menemui seorang Kiai disebuah Ponpes yang tidak mau menerima bayaran dari orangtua murid. Alasannya sederhana namun sangat bermakna.

“Katanya dia takut kalau nerima bayaran, sekolahnya berkembang. Muridnya nambah. Kalau muridnya nambah, dia merasa nggak sanggup lagi ngajar,”tutur Adian.

Di balik sikapnya itu, sebetulnya mengandung kedalaman makna. Dengan tidak menerima uang dari orangtua murid, pimpinan ponpes itu bisa menggariskan kurikulum tanpa intervensi pihak luar pesantren.*

Last modified: 07/04/2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *