Politik Islam dan Ketakutan Kaum Imperialis

Written by | Opini

Oleh: Kholili Hasib

A-Snouck_Hurgronje-490x326Inpasonline.com – Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, suhu politik semakin hangat. Isunya menjadi lebih sensitif jika menyangkut agama. Apalagi ada unsur ketakutan (phopia) terhadap fenomena politik Islam. Atau bahkan disertai stigmatisasi negatif terhadap organisasi Islam. Ketakutan yang berlebihan justru bisa  memancing suasana menjadi tidak kondusif.

Ketakutan yang tidak wajar baru-baru ini diungkapkan oleh Rohaniawan Katolik, Romo Franz Magnis Suseno. Ia menumpahkan kekhawatiran yang berlebihan melalui surat yang dikirimkan ke salah satu capres (calon Presiden) RI. Dalam surat yang dimuat tempo.com pada Rabu 2 Juli itu, ia mengatakan:

“Yang bikin saya khawatir adalah lingkungannya. Koq Prabowo sekarang sepertinya menjadi tumpuan pihak Islam garis keras. Seakan-akan apa yang sampai sekarang tidak berhasil mereka peroleh mereka harapkan bisa diperoleh andaikata saja Prabowo menjadi presiden? Adalah Amin Rais yang membuat jelas yang dirasakan oleh garis keras itu: ia secara eksplisit menempatkan kontes Prabowo-Jokowi dalam konteks perang Badar, yang tak lain adalah perang suci Nabi Muhammad melawan kafir dari Makkah yang menyerang ke Madinah mau menghancurkan umat Islam yang masih kecil! Itulah bukan slip of the tongue Amin Rais, memang itulah bagaimana mereka melihat pemilihan presiden mendatang. Mereka melihat Prabowo sebagai panglima dalam perang melawan kafir. Entah Prabowo sendiri menghendakinya atau tidak. Dilaporkan ada masjid-masjid di mana dikhotbahkan bahwa coblos Jokowi adalah haram. Bukan hanya PKS dan PPP yang merangkul Prabowo, FPI saja merangkul”.

Dalam surat itu, seakan-akan, umat Islam akan balas melakukan dendam kepada kelompok minoritas jika Prabowo berkuasa. Angan-angan Magnis tersebut dipertegas lagi dalam paragraf selanjutnya, :

“Mengapa? Saya bertanya: kalau Prabowo nanti menjadi presiden karena dukungan pihak-pihak garis keras itu: bukankah akan tiba pay-back-time, bukankah akan tiba saatnya di mana ia harus bayar kembali hutang itu? Bukankah rangkulan itu berarti bahwa Prabowo sudah tersandera oleh kelompok-kelompok garis keras itu?

Bararti, para ulama — di antaranya banyak sekali dari ulama NU — menurut surat Magnis masuk dalam lingkarang kelompok garis keras. Seperti ada pemahaman, bahwa selama ini umat Islam (NU, Muhammadiyah, Persis, Parpol Islam dan lain-lain) hobi berbuat kekerasan.

Genaralisasi yang tak masuk akal ini akan membahayakan harmonisasi kehidupan beragama di Indonesia ke depan. Generalisasi hanya akan menciptakan musuh sendiri secara berhadap-hadapan.

Jika ada seorang Katolik berbuat jahat, misalnya, kaum Muslimin tidak akan dan tidak boleh menuduh agama Katolik beserta tokohnya termasuk Franz Magnis Suseno adalah penjahat. Kita kaum Muslimin tidak akan melakukan stigamtisasi buruk tersebut.

Surat Frans Magnis Suseno patut disayangkan. Sebab akan memperkeruh suhu politik menjelang pilpres. Bahkan, ungkapan Magnis yang seorang pendeta Katolik itu bisa makin memperuncing dikotomisasi Islam-Kristen di negara ini. Padahal, harmonisasi ini sedang dan terus diupayakan agar terjaga kedamaian di bumi Nusantara. Berarti, tidak ada i’tikad baik dari nya agar hubungan ini terjalin harmonis dengan cara-cara elegan.

Ketakutan tersebut menurut penulis sebenarnya mengandung dua pesan inplisit. Pertama, pesan untuk kaum Muslimin, bahwa Islam tidak boleh memegang kendali kekuasaan di negeri ini. Kedua, pesan untuk non-Islam, agar mewaspadai gerak-gerik hal-hal yang berbau Islam. Partai Islam, organisasi Islam, kajian Islam, bank Islam, politik dan lain-lain.

Pesan pertama, telah lama disampaikan penjajah Belanda melalui tulisan Snouck Hurgonje, orientalis yang menjadi penasihat para kolonialis Belanda. Ia menulis pesan: “Yang harus ditakuti pemerintah Belanda bukanlah Islam sebagai agama, tapi Islam sebagai doktrin politik. Biasanya dipimpin oleh small majority yang fanatik, yakni ulama yang membaktikan hidupnya terhadap cita-cita Pan-Islamisme. Golongan ulama ini lebih berbahaya kalau pengaruhnya meluas kepada petani di desa-desa. Karena itu (pemerintah kolonial, pen) disarankan supaya bertindak netral terhadap Islam sebagai agama dan sebaliknya bertindak tegas terhadap Islam sebagai dotkrin politik” (Artawijaya, Dilema Mayoritas, hal.45).

Hurgonje, yang pernah menyamar menjadi Muslim, dalam pesan ingin mengatakan bahwa penjajah Belanda agar menjauhkan kaum Muslimin untuk beraktifitas politik serta mewaspadai para ulama.

Ia hendak mempersempit Islam, bahwa Islam hanya ritualisme saja. Tidak menyangkut aspek-aspek lain termasuk aspek politik. Sebab, jika Islam menjadi dasar gerakan politik akan mengancam eksistensi penjajah di negeri ini.

Dalam catatan sejarah, beberapa kali para ulama bersama rakyat membuat kerepotan penjajah Belanda untuk menancapkan kuku-kukunya di negeri ini. Penjajah tak akan memberi peluang kaum Muslimin sedikit pun untuk menduduki jabatan politis.

Peran ulama dan santri dalam mengusir penjajah sangat besar. Di Aceh, para ulama terlibat Perang Sabil tahun 1873-1904. Di Jawa Jimur, KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad untuk merebut kota Surabaya pada 23 Oktober tahun 1945.

Dalam tiap tahap-tahap perjuangan bangsa, selalu ada peran ulama. Sebelum memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno di Cianjur menemui dua ulama besar, yaitu KH. Abdul Mukti dari Muhammadiyah, dan KH. Hasyim Asy’ari dari NU untuk meminta masukan (Ahmad Mansyur Suryanegara, Api Sejarah).

Selepas penjajah Belanda terusir dari Indonesia, tampaknya mereka telah serius menanam misinya kepada oknum-oknum pribumi. Hal itu tampak jelas pengaruhnya pada saat merencanakan persiapan kemerdekaan dan menyusun dasar negara.

Ingatan sejarah kita tidak akan lupa, pada tanggal 22 Juni 1945 panitia Sembilan yang terdiri dari Muslim dan non-Muslim telah sepakat sila pertama Pancasila berbunyi: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Kalimat tersebut ditolak keras Latuharhari, wakil dari Maluku beragama Kristen. Soekarno meminta kepadanya untuk menerima. Ia mengatakan: “Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, suapaya sukalah saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita”.

Rupanya, ketakuta terhadap poros politik Islam sangat kuat. Secara tiba-tiba, pada proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihilangkan tanpa musyawarah panitia Sembilan.

Begitulah perjalanan sejarah Indonesia, selalu poros politik Islam ditakuti. Jasa-jasa para ulama dan pejuang Muslim dalam mempertahankan NKRI sama sekali tidak dihiraukan.

Padahal, persatuan Indonesia yang melewati batas-batas suku, agama dan ras atas jasa besar ulama saat memperjuangkan melawan penjajah. M. Natsir, tokoh Masyumi, mengatakan: “Pergerakan Islamlah yang lebih dulu membuka jalan medan politik kemerdekaan di tanah ini, yang mula-mula menanam bibit-bibit persatuan Indonesia, yang menyingkirkan sifat kepulauan dan kepropinsian, yang mula-mula menanam persaudaraan dengan kaum yang sama senasib di luar batas Indonesia dengan tali keislaman”

Karena itulah, penjajah Belanda ketakutan jika politik Islam aktif akan menyatukan negara kesatuan Indonesia. Penulis yakin, pesan politik penjajah Balanda itu kini ditanamkan dalam bentuk penyebaran Islamophobia ke dalam masyarakat Indonesa. Secara fisik, penjajah telah hengkang dari Indonesia. Tapi mereka telah menanamkan pengaruhnya secara kuat. Agar imperialisme gaya baru tetap berlanjut.

Dalam suasana suhu politik yang menghangat, hendaknya pernyataan-pernyataan yang memicu polemik ditahan. Apalagi dalam suasana bulan puasa.

Keinginginan agar pemimpin Indonesia sesuai dengan Islam, adalah wajar dan masuk akal. Sebab  sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa, legal dan sesuai undang-undang dasar. Sebagaimana tercantum dalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sudah sepatutnya, negara ini siap untuk tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. Konsep ketauhidan ini merupakan konsep yang ideal bagi penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim.

Negara yang berketuhanan atas dasar pemahaman tauhid akan melahirkan masyarakat yang beradab dan berkeadilan. Yakni yang mampu meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai dengan ketentuan Allah Swt.

Romo Fanz Magnis Suseno harusnya tidak perlu ketakutan jika faham dengan perjuangan ulama dalam kemerdekaan. Semoga ketakutan tersebut bukan karena kebencian yang berlebihan terhadap poros politik Islam. Dalam sejarahnya, poros politik Islam tidak pernah memaksa kan non-Muslim menjadi Muslim, atau mengusirnya. Malah justru, kaum Muslim terlalu bersabar. Sehingga di beberapa derah kerap terjadi tirani minoritas.

Last modified: 03/07/2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *