Oleh: Kholili Hasib
Inpasonline.com – Banyak orang yang menjalankan puasa, tapi usai puasa maksiat jalan lagi. Sebabnya, karena dia hanya puasa lahir, tidak batin.
Bagi orang-orang shalih, puasa itu lahir-batin. Tidak hanya menahan makan-minum, namun juga menahan hati dan anggota tubuh dari hal-hal yang mengundang dosa. Bahkan, di antaranya meninggalkan sesuatu yang makruh.
Diriwayatkan dari Hasan al-Bashri, suatu hari ia melihat sekelompok orang yang sedang tertawa terbahak-bahak pada bulan Ramadhan. Kemudian ia berkata : “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan bulan Ramadhan sebagai medan bagi hamba-hamba-Nya untuk berlomba-lomba berbakti kepada-Nya. Sebagian Muslim berhasil dan keluar sebagai pemenang, tapi sebagian nya lagi merugi karena tertinggal di belakang.
Karena itu sungguh amat mengherankan, masih ada orang yang tertawa dan bermain-main pada hari kejayaan orang-orang yang menang dan sungguh kecewa orang-orang yang bertindak sia-sia!. Demi Allah, seandainya tirai penutup yang ghaib dibuka, niscaya setiap orang yang telah berbuat kebajikan akan sibuk dengan hasil kebajikannya dan yang telah berbuat kejahatan akan sibuk dengan hasil kejahatannya”.
Meskipun tertawa terbahak-bahak, bersenang-senang hingga puas secara hukum tidak membatalkan puasa, namun bagi orang sekelas Hasan al-Basri hal itu ditinggalkan. Bagi dia, perkara yang makruh ditinggalkan seperti halnya meninggalkan yang haram.
“Hasanātul Abrār, Sayyi’ātul Muqarrabīn” (amal kebajikan biasa orang-orang sholeh, merupakan masih dinggap keburukan bagi kaum muqarrabīn). Muaqarrabīn adalah kekasih Allah (wali Allah) yang sangat dekat dengan-Nya. Bagai muqarrabīn, amaliyah dzahir yang baik belum cukup. Kebaikan batin, adalah wajib.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin I, membagi puasa menjadi tiga tingkatan. Pertama, puasa umum. Yaitu menahan diri terhadap makan, minum dan hubungan biologis suami istri dan hal-hal lain yang membatalkan puasa – sebagaimana diterangkan dalam kitab-kitab fikih.
Kebanyakan kita berada dalam puasa tingkat pertama ini. Puasa cukup dengan memenuhi syarat, rukun dan menghindarkan anggota tubuh dari perkara yang membatalkan (mubthilātu) ibadah puasa. Inilah puasa ‘lahir’. Yakni tingkatan puasa kaum Muslimin awam.
Kedua, puasa khusus. puasanya tidak hanya menahan diri dari lapar, haus dan nafsu syahwat saja tetapi juga menahan pendengaran, penglihatan, lidah, tangan, kaki serta seluruh anggota badan dari melakukan sesuatu yang mendatangkan dosa. Puasa ini adalah puasanya orang sholih.
Puasa ini lebih sempurna dari puasa umum. Mata tidak melihat maksiat, telinga tidak mendengar gunjingan, mulut tidak berbohong, menghasut atau mencaci.
Untuk mencapai pada tingkatan puasa ini, ada beberapa syarat. Pertama, Tidak melihat apa yang dibenci dan dilarang oleh Allah Subhanahu wa ta’ala atau yang dapat melalaikan hati dari mengingat Allah. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. bersabda, “Pandangan mata adalah salah satu dari panah-panah beracun milik setan, yang telah dikutuk Allah. Barangsiapa menjaga pandangannya, karena takut kepada Nya, niscaya Allah akan memberinya keimanan, dan menemukan manisnya iman dalam hatinya” (HR. al-Hakim).
Kedua, Menjaga lidah (lisan) dari perkataan sia-sia, berdusta, mengumpat, menyebarkan fitnah, berkata keji, melontarkan kata-kata permusuhan. Lidahnya dengan lebih banyak diam, memperbanyak dzikir dan membaca al-Qur’an. Said Sufyan berkata, “Sesungguhnya mengumpat akan merusak puasa! Laits mengutip Mujahid yang berkata, ‘Ada dua hal yang merusak puasa, yaitu mengumpat dan berbohong.”
Ketiga, menjaga pendengaran dari segala sesuatu yang tercela; karena setiap sesuatu yang dilarang untuk diucapkan juga dilarang untuk didengarkan. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta’ala tidak membedakan antara orang yang gemar mendengarkan sesuatu yang haram dengan mereka yang gemar memakan yang haram.
Keempat, Menjaga perilaku dari dosa: kaki dan tangan dijauhkan dari perbuatan yang makruh, dan menjaga perut dari makanan yang syubhat ketika berbuka puasa. Bagi orang sholih, puasa tiada memiliki arti apapun jika dengan hanya menahan diri makan dan minum, namun tangan melakukan perbuatan makruh dan haram.
Kelima, Berbuka puasa dengan makan yang tidak berlebihan, sehingga rongga dadanya menjadi sesak. Tidak ada kantung yang lebih tidak disukai Allah selain perut yang penuh (berlebihan) dengan makanan halal.
Keenam, Setelah berbuka puasa, selayaknya hati berada diantara takut (khouf) dan harap (raja’). Karena siapa pun tidak mengetahui, apakah puasanya diterima sehingga dirinya termasuk orang yang mendapat karunia Allah sekaligus orang yang dekat dengan Nya, ataukah puasanya tidak diterima, sehingga dirinya menjadi orang yang dicela oleh Nya.
Sedangkan tingkatan puasa yang ketiga adalah puasa khususul khusus. Ini adalah tingkat puasa yang tertinggi, yakni puasanya hati dari segala keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran keduniaan, dan mengekangnya dari segala sesuatu selain Allah.
Hati dipagari agar tidak memikirkan duniawi atau memikirkan sesuatu yang tercela. Hatinya secara total berisi Allah. Puasa ini merupakan tingkatan para wali muqarrabīn. Memikirkan perkara makruh saja, dianggap telah membatalkan puasa. Apalagi memikirkan perkara yang haram.
Memikirkan perkara duniawi dianggap batal kecuali perkara tersebut mendorong ke arah pemahaman agama, karena dunia yang demikian merupakan bekal akhirat dan tidak termasuk bagian duniawi. Puasa tingkat ketiga ini merupakan puasa total, seluruh bagian tubuh dan jiwa lahir dan batin ikut berpuasa.
Tingakat kedua dan ketiga adalah puasa batin. Cara puasa demikianlah yang mendatangkan takwa. Sedangkan puasa pertama, belum ada jaminan takwa. Hanya sekedar memenuhi syarat dan rukun. Banyak orang yang menjalankan puasa, tapi usai puasa maksiat jalan lagi. Sebabnya, karena dia hanya puasa lahir, tidak batin.
Sejatinya, yang diperintahkan Allah adalah puasa secara lahir dan batin itu. Dalam sabdanya, Rasulullah memberi peringatakan; “Betapa banyak orang berpuasa namun tidak memperoleh sesuatu dari puasanya itu selain rasa lapar dan haus” (HR. Nasa’i).