Oleh: Ahmad Kholili Hasib
Inpasonline.com-Suatu kali Habib bin al-Syahid menasihati putranya: “Wahai anakku, bergaullah engkau dengan para fuqaha serta pelajarilah adab mereka”. Terkait dengan hal itu, imam al-Syafi’i pun pernah ditanya seseorang, “Sejauh manakah perhatianmu terhadap adab?”
Beliau menjawab, “Setiap kali telingaku menyimak suatu pengajaran budi pekerti meski hanya satu huruf, maka seluruh organ tubuhku akan ikut merasakan seolah-olah setiap organ itu memiliki alat pendengaran. Demikianlah perumpamaan hasrat dan kecintaanku terhadap pengajaran budi pekerti”.
Beliau lalu ditanya lagi, “Lalu bagaimanakah usaha-usaha dalam mencari adab itu?” imam al-Syafi’i menjawab, “Aku akan senantiasa mencarinya laksana usaha seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang”.
Dua kisah di atas mengandung pelajaran penting bagi pelajar dan para ilmuan. Bahwa tujuan ilmu adalah menegakkan adab. Bahkan sebelum ilmu, adab perlu diajarkan.
Ibnu Jama’ah pernah mengatakan, “Mengamalkan satu bab adab itu lebih baik daripada tujuh puluh bab ilmu yang hanya sekedar dijadikan sebagai pengetahuan” (Ibnu Jama’ah,Tadzkira al-Sami wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim, hal, 193).
Hari-hari ini, pendidikan Nasional patut banyak bersyukur. Semakin banyak muncul bibit-bibit ilmuan yang berprestasi nasional maupun internasional. Hal itu seperti misalnya tidak absennya pelajar Indonesia dalam kancah olimpiade sains dan lomba teknologi tingkat internasional dengan prestasi yang membanggakan.
Namun, capaian tersebut belumlah dapat disebut prestasi final. Bagi pelajar Islam, sebenarnya indikator kemajuan bukan sekedar dengan keberhasilan dalam bidang sains dan teknologi belaka. Tapi, keluhuran adab merupakan indikator utama kemajuan suatu umat.
Dalam Islam, ilmu menjadi lengkap jika membawa perbaikan kepada keluhuran akhlak dan budi. Tidak disebut ilmu manfaat, jika ilmu pengetahuan tersebut tidak memberi kebahagian dunia dan akhirat.
Berkembangnya sains dan teknologi merupakan satu tanda kemajuan, namun bukan satu-satunya. Bahkan kemajuan teknologi yang disertai kemerosotan akhlak adalah kemunduran peradaban dalam skala yang lebih mengerikan. Perilaku korup, khianat, penipuan, keserakahan, nepotisme dan lain-lain malah mendapatkan amunisinya melalui teknologi tinggi dan kemajuan sains. Sains dan teknologi maju di tangan manusia yang hilang budi pekertinya, bagaikan memberi senjata pemusnah masal kepada orang jahat, sehingga kejahatannya menjadi-jadi (Usep Muhammad Ishaq, Menjadi Saintis Muslim, hal. 7).
Karena itu, diperlukan formulasi pendidikan yang bertujuan mengadabkan jiwa dan pikiran. Kini, dalam pendidikan Nasional terdapat muatan pendidikan karakter. Kemajuan ini di satu sisi merupakan kabar gembira. Namun, karena penafsirkan pendidikan karakter masih memiliki makna beragam, maka, dalam konteks Islam pendidikan karakter harus berdasarkan nilai-nilai epistemologis al-Qur’an.
Tanpa konsep akhlak al-Qur’an, pendidikan karakter kehilangan ruh dan makna hakikinya. Sebab, landasan pendidikan karakter Nasional masih belum memiliki basis yang jelas. Justru cenderung menrupakan kelanjutan pendidikan karakter yang berkembang lebih bercorak budaya materialisme.
Sementara itu, praktik akhlak tidak boleh keluar dari jalur rambu-rambu Islam. Bahwasannya agama Islam itu agama yang berbudi. Sedang berakhlak itu adalah melaksanakan syariat yang ditetapkan dalam agama Islam. Tidak boleh disebut berakhlak jika bertentangan dengan kaidah-kaidah yang sudah pasti dalam agama. Syariat dan akhlak merupakan satu-kesatuan yang tak terpisah.
Dalam pandangan Islam, pendidikan karakter adalah pendidikan berakhlak dan beradab. Proses mendidik anak harus memiliki empat proses, yaitu; konsisten (istiqamah), terpecaya (amanah) dan kontinyu (bi al-tikrar).
Pendidikan adab saat ini sudah saatnya diberi prioritas utama. Sebab masalah yang mendasar yang dihadapi umat modern saat ini bukanlah, mundurnya sains dan teknologi. Namun masalah besarnya adalah hilangnya nilai-nilai adab/akhlak dalam ilmu pengetahuan (the loss of adab).
Lahirnya pemimpin-pemimpin yang tidak layak di masyarakat juga disebabkan minimnya akhlak yang luhur dalam diri intelektual dan saintis. Di sinilah pentingnya proses pendidikan perlu menyadari hubungan erat ilmu dan adab. Integrasi ilmu dan adab akan membawa ilmuan kepada jalan lurus.
Adab tidak sekedar ‘hiasan’ seorang ilmuan, namun harus menjadi intisari jiwanya. Tanpa adab seorang yang pintar akan jatuh pada kecelakaan intelektual, ilmunya tidak membawa manfaat untuk dirinya sendiri.
Maka, ada satu hal yang patut dilakukan pelajar Muslim untuk membina akhlak adalah tazkiyatu nafs. Pembersihan hati dalam praktik pendidikan agama Islam sebenarnya telah menjadi metode. Ingatlah kisah imam Syafi’i ketika meminta petunjuk kepada gurunya tentang kesulitan dalam menghafal suatu subjek ilmu. Guru tersebut bukan mentraining tetapi menasihati agar membersihkan hatinya. Memang, ilmu dalam Islam itu sangat mulya. Al-Qur’an menyebut kata ‘ilm dan deravisanya sebanyak 750 kali. Semuanya berkisah tentang kebaikan ilmu. Maka cara mendapatkannya juga harus dengan cara-cara yang mulya dan dengan persiapan hati yang bersih.
Maka, adab merupakan suatu hal yang amat penting yang harus diperhatikan oleh setiap cendekiawan, ilmuan dan para pelajar. Tidak ada yang patut dibanggakan jika prestasi sains pelajar sampai tingkat internalisonal namun hobinya tawuran. Kita tidak menjadi berbangga jika ada ilmuan hebat tetapi diketahui ahli zina. Kemajuan sains bukanlah satu-satunya yang akan menjadi pilar kesuksesan sejati. Keluhuran akhlak-lah yang akan menjadi pilar ilmuan mengantarkan ke dalam derajat keagungan, kemulyaan dan kebahagiaan. Pintar saja tidak cukup, tapi harus beradab. Alangkah lebih baik jika pelajar Islam pintar dalam sains dan teknologi sekaligus memiliki akhlak yang mulia. Inilah yang disebut kesuksesan yang sesungguhnya.