Oleh: Anwar Djaelani
Inpasonline.com-KH Mas Abdurrahman banyak berkiprah di bidang pendidikan agama Islam.. Dia lahir pada 1882 di Pandeglang Banten. Di daerah itu pula, pada 1916, dia mendirikan Perguruan Islam Mathla’ul Anwar. Kini, Mathla’ul Anwar telah menyebar luas.
‘Pabrik Cahaya’
Ayah Mas Abdurrahman bernama KH Mas Jamal. Dia sosok orang tua yang memiliki keinginan tinggi agar anaknya menjadi seorang ulama dan pendidik yang aktif memajukan umat.
Di saat masih kecil, sang ayah mendidik langsung Mas Abdurrahman. Misal, Mas Abdurrahman kerap diajak sang ayah untuk ikut berdakwah, bahkan sampai harus naik-turun gunung. Untuk itu, terkadang, sang ayah terpaksa menggendong Mas Abdurrahman karena tidak kuat naik-turun gunung.
Mas Abdurrahman pernah belajar kepada seorang kiai setempat. Dia pun pernah belajar di Pondok Pesantren Al-Qur’an di daerah Serang. Di situ, dia berada di bawah bimbingan KH Ma’mun.
Mas Abdurrahman masih tergolong kecil – berusia sekitar 10 tahun, – saat sang ayah berhaji ke Tanah Suci. Si ayah meninggal di Mekkah dan dikuburkan di sana pula. Sejak saat itu terbit keinginan Mas Abdurrahman untuk bisa ke Mekkah, berhaji, berziarah ke makam ayahnya, dan menuntut ilmu.
Kesempatan itu datang pada 1905. Mas Abdurrahman bisa ke Mekkah, berhaji walau dengan bekal hanya cukup untuk ongkos berangkat saja. Kecuali menunaikan ibadah haji, kesempatan itu juga diniatkannya untuk berziarah ke makam ayahandanya walaupun tidak jelas di mana kuburannya. Dia lalu memilih bermukim di Mekkah untuk menuntut ilmu agama.
Di Mekkah dia belajar kepada banyak ulama termasuk kepada Nawawi Al-Bantani dan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, yang keduanya adalah ulama asal Indonesia. Saat di Mekkah, Mas Abdurrahman semasa dengan Ahmad Dahlan (di kemudian hari mendirikan Muhammadiyah) dan Hasyim Asy’ari (di kemudian hari mendirikan Nahdlatul Ulama).
Selama sepuluh tahun hidup di Mekkah, Mas Abdurrahman tekun belajar agama Islam. Selama itu pula semua hambatan –seperti uang saku yang terbatas, kondisi alam di Mekkah yang berbeda dengan Indonesia- berhasil dia atasi. Misal, karena uang saku yang tak memadai maka selama tinggal di Mekkah dia memilih untuk belajar dan beristirahat di Masjidil Haram.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terkadang dia pergi ke luar kota mencari kayu bakar untuk dijual dan hasilnya ditukar dengan beras. Karena sulitnya mendapatkan bahan makanan, maka saat menanak nasi dia mencampurkan beras dengan air dalam komposisi ‘super-irit’.
Hal tersebut dilakukannya hampir tiap hari di sepanjang dia bermukim di Mekkah. Situasi menjadi sedikit berbeda di saat musim haji tiba, sebab dia akan mendapatkan penghasilan tambahan dari jasa memandu jamaah haji yang berziarah ke sejumlah tujuan.
Kehidupan yang apa adanya itu tidak menyurutkan semangat Mas Abdurrahman dalam mencari ilmu. Seluruh pelajaran diikutinya dengan penuh perhatian. Dia sangat rajin belajar sekalipun tak memiliki peralatan tulis-menulis yang lengkap. Atas keterbatasan itu, dia lebih banyak mengandalkan indera pendengaran untuk menangkap ilmu dan menghafalnya. Dengan cara itu dia berhasil menyerap ilmu-ilmu yang diajarkan, khususnya di bidang bahasa Arab, fikih, ushul fikih, nahwu, sharaf, balaghah, tafsir, dan tasawuf.
Sebagai pelajar, Mas Abdurrahman dinilai berhasil dalam menguasai ilmu agama selama bermukim di Makkah. Terkait itu, lalu ada rencana untuk mengangkat Mas Abdurrahman menjad asisten pengajar di tempat dia menuntut ilmu.
Sementara, di saat yang hampir bersamaan, kehidupan sosial di daerah asalnya -di Pandeglang Banten- memburuk. Berbagai bentuk kemaksiatan –seperti judi, mabuk-mabukan, pencurian- berkembang di tengah masyarakat. Tokoh masyarakat Pandeglang Banten -seperti KH Sholeh dan KH Yasin- sangat prihatin dengan situasi itu. Mereka lalu bemusyawarah untuk mencari cara menyelesaikannya. Hasilnya, mereka sepakat untuk meminta Mas Abdurrahman untuk pulang dari Mekkah dan lalu turut membenahi masyarakat. Alasan mereka, Mas Abdurrahman dinilai cocok dan mampu menyelesaikan masalah tersebut.
Singkat cerita, Mas Abdurrahman lalu pulang. Dengan demikian, urung-lah rencana pengangkatan dia sebagai asisten pengajar di Mekkah. Dia memilih untuk aktif berdakwah termasuk dengan mendirikan pesantren di Pandeglang Banten. Pada perkembangan berikutnya, Mas Abdurrahman berperan penting dalam memajukan dunia pendidikan di Indonesia dan terutama di Banten.
Pada 10/07/1916, bersama sembilan tokoh Islam lainnya, Mas Abdurrahman mendirikan Mathla’ul Anwar. Itulah lembaga pendidikan klasikal pertama di Banten yang berbasis ajaran agama Islam. Mathla’ul Anwar bertujuan menyebarkan ajaran Islam di masyarakat. Tujuan itu tersirat lewat nama Mathla’ul Anwar yang berarti “Tempat Terbitnya Cahaya”.
Dalam perkembangannya, lewat Mathla’ul Anwar telah lahir banyak kader muballigh dan ulama. Mereka bergerak menyebarkan ajaran Islam lewat dakwah. Cabang-cabang Mathla’ul Anwar didirikan hingga ke luar Pandeglang Banten. Pendek kata, Mathla’ul Anwar kini telah ada dimana-mana dan aktif melahirkan para Mujahid Dakwah yang siap memberikan ‘cahaya’ bagi Indonesia.
Hingga kini Perguruan Mathla’ul Anwar –yang mengembangkan pendidikan mulai dari dari Taman Kanak-kanak hingga ke Perguruan Tinggi- masih berjaya dan menyebar ke berbagai penjuru Indonesia. Bahkan, Mathla’ul Anwar berkembang menjadi Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam, berdiri sejajar dengan –misalnya- NU, Muhammadiyah, dan PERSIS.
Mas Abdurrahman adalah ulama yang kreatif dan punya banyak potensi, termasuk dalam hal tulis-menulis. Beliau telah menulis beberapa buku di seputar tajwid, sharaf, dan lain-lain.
Berharap ‘Abadi’
KH Mas Abdurrahman wafat pada 1943. Jenazahnya dimakamkan di Pandeglang Banten, tak jauh dari lokasi Perguruan Mathla’ul Anwar. Semoga ‘cahaya’ yang telah ditebarkan KH Mas Abdurrahman berumur panjang. []