Oleh: M. Anwar Djaelani
Inpasonline.com-“Yusril: PERPPU Ormas Lebih Kejam dari Penjajah Belanda dan Orba” (www.kumparan.com 14/07/2017). “Fadli Zon: PERPPU Ormas Bentuk Kediktatoran Gaya Baru” (www.republika.co.id 12/07/2017).“Keluarkan PERPPU untuk Bubarkan Ormas, Pemerintah Dinilai Kalap”(www.persis.or.id 12/07/2017). Duhai, ada apa dengan negeri ini?
Dalam Mencekam
Pada 12/07/2017 Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) No. 2 Tahun 2017 perubahan atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Keormasan. Setelah mencermati isinya, mengalirlah kritik tajam atas PERPPU tersebut.
Pengritik PERPPU berasal dari beragam kalangan seperti dari ahli Hukum Tata Negara, pengurus Ormas, akademisi, politisi, LSM, dan masyarakat umum. Sekilas, mari ikuti inti dari rangkaian berita di paragraf awal tulisan ini.
Pada berita pertama, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc. menyatakan bahwa PERPPU No. 2 Tahun 2017 “Memberikan peluang seluas-luasnya kepada Pemerintah, khususnya Mendagri dan Menkumham untuk menilai apakah suatu ormas itu antara lain ‘menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila’ sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (4) huruf c PERPPU ini”. Jadi, lanjut Yusril, “Kalau ormas itu punya anggota 1 juta orang, maka karena organisasinya dianggap bertentangan dengan Pancasila dan melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) PERPPU ini, maka 1 juta orang itu semuanya bisa dipenjara seumur hidup, atau minimal penjara 5 tahun dan maksimal 20 tahun”.
Lebih jauh, “Ketentuan seperti ini sepanjang sejarah hukum di negeri kita sejak zaman penjajahan Belanda sampai zaman Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi belum pernah ada, kecuali di zaman Presiden Jokowi ini,” kritik Yusril.
Lalu, di berita kedua, Fadli Zon menilai PERPPU itu sebagai bentuk kediktatoran gaya baru jika dilihat dari beberapa hal. “Misalnya saja,” kata Fadli Zon, “PERPPU tersebut menghapuskan pasal 68 UU No. 17 Tahun 2013 yang mengatur ketentuan pembubaran Ormas melalui mekanisme lembaga peradilan”. Maka, “Kehadiran PERPPU tersebut selain memberikan kewenangan yang semakin tanpa batas kepada Pemerintah, juga tidak lagi memiliki semangat untuk melakukan pembinaan terhadap Ormas. Ini kemunduran total dalam demokrasi kita”. Dengan demikian, “Menurut saya, PERPPU ‘diktator’ ini harus ditolak,” tekad Wakil Ketua DPR ini.
Kemudian, pada berita ketiga, anggota PP Persatuan Islam (PERSIS), Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum berpendapat, bahwa Pemerintah “Mengembalikan demokrasi kita kembali ke era 80-an yang represif dan anti-kritik”. Hal ini, lanjut dia, merupakan bentuk kekalapan menghadapi situasi yang semakin menyudutkan pemerintah yang tidak mampu mengelola pemerintahan dengan baik.
Duh, Berkacalah!
Telah banyak kisah, bahwa penguasa terjungkal secara mengenaskan karena memosisikan dirinya di atas hukum. Sudah banyak contoh, bahwa penguasa dilawan oleh rakyatnya sendiri jika dia melawan hukum atau tak satu jalan antara kata dan perbuatannya.
Perhatikanlah! Islam meminta untuk selalu mencermati sekaligus mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa di dunia ini. “Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (Rasul-Rasul)” (QS Ali-‘Imraan [3]: 137).
Sejarah itu selalu berulang dan kita wajib mengambil hikmah darinya. Misal, buka-lah sejarah di 2011. Warga Mesir berdemonstrasi menentang Presiden Hosni Mubarak. Gelombang ketidakpercayaan –untuk tak menyebut kemarahan- terjadi karena rakyat merasakan bahwa kemiskinan, pengangguran, penindasan, dan korupsi merajalela.
Buah dari demonstrasi besar-besaran di berbagai kota itu berupa berakhirnya kekuasaan Mubarak secara tragis. Nasib serupa juga dialami –antara lain- Zine El Abidine Ben Ali di Tunisia dan Soekarno serta Soeharto di Indonesia.
Lihatlah, rezim Ben Ali yang berakhir pada 15/01/2011. Penggulingan rezim yang telah berkuasa 23 tahun itu berlangsung cepat. Faktor pemicu gelombang gerakan sosial waktu itu adalah ketidakpuasan publik atas praktik tata-kelola pemerintahan yang tak bersih dan berujung kepada maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Faktor lainnya adalah hasrat warga melakukan reformasi ekonomi, yaitu untuk bebas dari himpitan yang menyesakkan. Maka, tercatatlah sebuah peristiwa tragis berupa aksi ‘bakar diri’ seorang sarjana berumur 26 tahun. Dia -bernama Bouazizi- menjadi penjual buah karena ekonominya terpuruk. Kekesalannya memuncak dan berujung pada aksi ‘bakar diri’ setelah pada 17/08/2010 barang dagangannya disita polisi di Kota Sidi Bouzid. Konon, aksi inilah yang lalu menyulut gejolak sosial besar-besaran di Tunisia dan lalu membuat Ben Ali kabur ke luar negeri.
Bagaimana Indonesia? Mahfud MD menulis “Soekarno, Soeharto, dan Dalil Acton” di Jawa Pos 31/05/2008. Mahfud MD menulis: “Siapapun yang membaca sejarah pasti tahu bahwa Soekarno adalah salah seorang putra terbaik bangsa Indonesia yang berhasil memerdekakan Indonesia dari penjajahan asing pada 1945”. Namun, “Tragisnya, Soekarno jatuh dari kekuasaannya karena (pada akhirnya) memerintah secara tidak demokratis dan banyak melakukan pelanggaran atas konstitusi”.
Soeharto? Mahfud MD menulis: “Siapapun yang membaca sejarah pasti tahu bahwa Soeharto adalah putra terbaik bangsa Indonesia yang menyelamatkan Indonesia dari krisis politik dan ekonomi.” Soeharton itu “Rendah hati, yang dipilih oleh rakyat dan mahasiswa (angkatan ’66) karena sifat kebapakannya dan menjanjikan kehidupan yang demokratis dan konstitusional bagi Indonesia”. Tapi, “Tragisnya, Soeharto jatuh dari kekuasaannya karena (pada akhirnya) memerintah secara tidak demokratis dan menumbuhsuburkan korupsi yang hingga sekarang menjadi kanker ganas di Indonesia”.
Perih, Perih!
Wahai para penguasa, jangan lupakan sejarah. Jangan lakukan tindakan yang menyakitkan rakyat. Jangan khianati amanah dengan melakukan sesuatu yang melampaui kewenangan yang telah ditetapkan oleh si pemberi amanah. Ingatlah, semua penyakit kekuasaan akan mendekatkan kepada kehinaan di dunia dan di akhirat. []