Oleh M. Anwar Djaelani
Inpasonline.com-Said bin Al-Musayyib, memesona. Sebagai ulama -termasuk tabi’in-, dia berilmu tinggi dan berakhlaq mulia. Atas berbagai persoalan, banyak –termasuk kalangan penguasa- yang meminta nasihat kepadanya. Di keseharian, dia bisa menempatkan diri termasuk kala berhadapan dengan penguasa.
Sikap Itu
Kata Adz-Dzahabi, Said bin Al-Musayyib lahir pada saat pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab Ra. Dalam perjalanan hidupnya, dia sezaman antara lain dengan Umar bin Khaththab Ra, Usman bin Affan Ra, Ali bin Abi Thalib Ra, Abu Hurairah Ra, dan Aisyah Ra.
Said bin Al-Musayyib sangat dikenal di kalangan kaum berilmu. Dikenal pula sebagai ahli ibadah. Berikut ini, sekadar beberapa ilustrasi. Suatu saat Ibnu Umar Ra bertanya tentang satu keputusan yang telah ditetapkan oleh sang ayah, Umar bin Khaththab Ra. Dalam kaitan ini, Said bin Al-Musayyib memang patut ditanya, lantaran dinilai sebagai orang yang paling tahu tentang keputusan-keputusan yang telah diambil oleh Abu Bakar Ra, Umar bin Khatthab Ra, dan Usman bin Affan Ra.
Kata Ibnu Hibban, “Dia -Said bin Al-Musayyib- termasuk pembesar tabi’in karena kefakihan, kewara’an, ibadah, dan kemuliaannya. Dia merupakan ulama fikih paling terkenal di Negeri Hijaz dan yang paling bisa diterima pendapatnya oleh masyarakat umum. Selama 40 tahun dia selalu menunggu datangnya adzan di masjid untuk shalat berjamaah.”
Lalu, Abdul Mu’in bin Idris -dari ayahnya-, berkata: “Selama 50 tahun Said shalat subuh dengan wudhu shalat Isya’. Sementara, dari Said bin Al-Musayyib sendiri, “Saya tidak pernah ketinggalan takbir pertama dalam shalat selama 50 tahun”.
Dia memang tidak pernah ketinggalan shalat berjamaah. Selama antara 40 sampai 50 tahun saat shalat berjamaah itu, dia tidak pernah melihat “punggung orang yang sedang berjamaah” karena dia selalu ada di shaf terdepan.
Said bin Al-Musayyib berguru ke banyak Sahabat Nabi Saw dan salah satunya adalah Abu Hurairah Ra. Dari sang guru –Abu Hurairah Ra- dia banyak meriwayatkan hadits. Di kemudian hari, Abu Hurairah Ra menikahkan putrinya dengan Said bin Al-Musayyib.
Said bin Al-Musayyib dikenal tegas dan tidak mudah tunduk kepada penguasa. Tapi, dia lembut dan santun dalam pergaulan dengan sesama, terlebih dengan orang-orang yang bertaqwa.
Lihatlah, dia tak mau keluar dari masjid jika hanya untuk memenuhi panggilan seorang Khalifah yang ingin meminta nasihat dan peringatan. Bagaimana kisahnya?
Suatu saat, Khalifah Abdul Malik bin Marwan –yang tinggal di Damaskus- akan menunaikan haji. Di kesempatan itu juga, beliau akan ke Masjid Nabawi. Saat berangkat, beliau disertai tokoh-tokoh Bani Umayyah, para gubernur, pejabat pemerintah, dan sebagian anaknya. Rombongan itu berjalan dengan tenang. Setiap kali singgah di suatu tempat, mereka manfaatkan untuk beristirahat sambil mengadakan majelis ilmu.
Di Madinah, ada pemandangan yang menarik perhatian sang khalifah, yaitu adanya banyak halaqah ilmu yang memakmurkan Masjid Nabawi. Di sana berkumpul para ulama besar -tokoh-tokoh tabi’in- semisal Urwah bin Zubair dan Sa’id bin Musayyib.
Selang beberapa waktu, sang khalifah meminta tolong kepada salah seorang pembantunya, pergi ke Masjid Nabawi dan mengundang salah satu ulama yang berada di sana untuk memberikan nasihat dan peringatan. Saat di Masjid Nabawi, si utusan melihat seluruh sudut masjid. Namun, dia tidak melihat kecuali satu halaqah yang dipimpin oleh seorang syaikh. Usianya 60-an tahun dan tampak berwibawa. Singkat kisah, terjadi dialog.
“Apa keperluan Anda,” tanya Said bin Al Musayyib.
“Khalifah berharap, ada seseorang yang bisa datang menyampaikan hadits untuknya,” jawab si utusan.
“Saya bukanlah orang yang beliau maksud,” kata Said bin Al Musayyib.
“Tetapi beliau menginginkan seseorang untuk diajak bicara,” desak si utusan.
“Barang-siapa menghendaki sesuatu, seharusnya dialah yang datang. Di masjid ini ada ruangan yang luas jika dia menginginkan hal itu. Lagi pula, hadits lebih layak untuk didatangi, sementara dia tidak mau mendatangi,” terang Said bin Al Musayyib.
Utusan itu lalu kembali dan melaporkan semua yang dialaminya kepada Khalifah. Abdul Malik bin Marwan menghela nafas panjang. Dia bangkit sambil bergumam, “Pasti dia adalah Said bin Al-Musayyib. Kalau saja engkau –duhai pembantuku- tadi tidak menghampiri dan mengajaknya bicara.”
Rupanya, sang khalifah tahu persis akhlaq Said bin Musayyib dan bahkan pernah punya “kenangan khusus”. Bahwa, sebelumnya, Said bin Musayyib menolak Sang Khalifah saat meminang putrinya. Keinginan menikahkan Al-Walid –salah seorang putra Khalifah-, ditolak oleh Said bin Al-Musayyib. Belakangan, dia malah menikahkan putrinya dengan Ibnu Wada’ah. Siapa Ibnu Wada’ah? Dia salah satu muridnya yang paling rajin, miskin, dan baru saja menduda karena sang istri meninggal.
Said bin Al-Musayyib disegani dan sekaligus dihormati penguasa. Cermatilah kisah berikut ini. Di suatu saat, Khalifah Umar bin Abdul Aziz meminta pembantunya untuk menanyakan sesuatu masalah kepada Said bin Al-Musayyib.
Apa yang lalu dilakukan si pembantu? Dia mengundang Said bin Al-Musayyib ke kediaman khalifah. Setelah sosok Said bin Al-Musayyib terlihat oleh Umar bin Abdul Aziz, buru-buru Sang Khalifah berkata: “Utusanku telah melakukan kesalahan. Saya hanya ingin menanyakan kepada Anda tentang sesuatu di majelis Anda”.
Kalimat Umar bin Abdul Aziz itu bernada meminta maaf. Dia menjelaskan bahwa dia tak bermaksud mengundang Said bin Al-Musayyib hanya khusus untuk menanyakan sesuatu masalah. Tapi, si pembantu hanya diminta untuk menanyakan sebuah masalah kepada Said bin Al-Musayyib dan di tempat Sang Ulama membuka Majelis Ilmu.
Siapa Gentar
Ulama hebat bernama Said bin Al-Musayyib wafat pada 94 H di Madinah, pada usia 75 tahun. Ulama hebat? Untuk itu, terakhir, mari sebentar kembali ke kisah saat Said bin Al-Musayyib menolak dipanggil Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Saat tahu sikap Said bin Al-Musayyib itu, putra bungsu Khalifah berkata kepada kakaknya, “Siapakah orang yang berani menentang Khalifah dan menolak untuk menghadap itu, sedangkan dunia tunduk kepadanya dan raja-raja Romawi gentar oleh wibawanya?” []