Pendidikan Nasional, Apa Kabar?

Lalu, di ayat 2-nya, disebutkan bahwa “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”.

Seperti itukah di lapangan, bahwa pendidikan kita adalah usaha sadar dan terencana agar peserta didik memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kecerdasan, dan akhlak mulia? Seperti itukah di lapangan, bahwa pendidikan kita berakar pada nilai-nilai agama?

Mari, lihat sekitar! Ramai dipublikasikan media –lokal dan nasional- bahwa di SDN Gadel II Surabaya telah terjadi contek massal saat Ujian Nasional (UN) 2011. Masalah ini ‘menarik’, karena justru sang wali kelas-lah yang merancangnya. Si wali kelas meminta Alif Ahmad Maulana –yang kerap menjadi juara kelas di sekolah itu- memberi contekan ke kawan-kawannya. Untuk keperluan itu, bahkan pada H-1 sempat diadakan simulasi cara mencontek (baca, misalnya, Jawa Pos 3/6/2011 yang menurunkan judul: “Satu Sekolah Nyontek Massal”).

Setelah ditelusuri, terbukti adanya upaya pihak sekolah yang memerintahkan murid mereka berbuat curang dengan contek massal. Untuk itu, Dinas Pendidikan Kota Surabaya telah memberikan sanksi kepada Kepala Sekolah dan dua guru wali kelas berupa penurunan pangkat (TEMPOinteraktif 15/6/2011).

Bagaimana kasus yang oleh Prof. Daniel M. Rasyid (pengamat pendidikan dari ITS) disebut sebagai “kecurangan terburuk” itu sampai terungkap? Awalnya, Siami –ibunda Alif Ahmad Maulana- mendengar bahwa sang anak menjadi sumber contekan massal karena diminta oleh wali kelasnya. Siami yang merasa selama ini telah mendidik anaknya dengan sepenuh hati -terutama dalam hal penanaman kejujuran- merasa terluka dan tak bisa menerimanya.

Siami-pun melaporkan masalah itu ke Kepala Sekolah dan Komite Sekolah. Tapi, laporan itu tak mendapat sambutan memadai. Baru setelah problema tersebut sampai ke Dinas Pendidikan Kota Surabaya dan di-blow up media, lalu banyak pihak yang memberi perhatian serius.

Praktik curang dalam pelaksanaan UN nyaris setiap tahun kita dengar. Sehingga, saat kasus contek massal di SDN Gadel II Surabaya terungkap, banyak pihak yang percaya bahwa kasus itu hanyalah semacam ‘puncak gunung es’.                                                

Memang, kini kejujuran telah banyak dicampakkan. Sebaliknya, perilaku ketidakjujuran malah menjadi kenyataan yang mudah kita temui. Praktik ketidakjujuran berlangsung di berbagai lini kehidupan. Jejaknya terekam di berbagai aspek, seperti sosial, politik, dan pendidikan.  

Tentu, hidup di tengah-tengah masyarakat dengan performa seperti tergambarkan di atas akan beresiko. Misal, lantaran orang yang tidak jujur sedemikian banyak, maka mereka yang jujur justru akan dianggap semacam makhluq asing. Orang-orang jujur malah dianggap ‘barang’ aneh. Bahkan –lebih dari itu- mereka akan dimusuhi oleh orang-orang yang sudah menjadikan ketidakjujuran sebagai ‘pakaian’ sehari-hari. Kasus Siami yang sampai terusir dari rumahnya sendiri menjadi ‘contoh terbaik’ dari fenomena yang sungguh mengenaskan itu.

 

Kembali ke ‘Khittah’!

Mari kembali ke ajaran Islam yang haq. Bahwa “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu (QS Al-Baqarah [2]: 147).

Di antara kebenaran yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya adalah urgensi untuk selalu jujur. “Jujur adalah tuma’ninah (ketenangan). Sementara, dusta adalah keraguan (kegelisahan, ketidaktenangan)” (HR At-Tirmidzi).

Kasus mencontek (dan apalagi dilakukan secara massal) di saat UN adalah salah satu bukti pembangkangan kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya. Praktik curang itu lebih condong kepada sikap memerturutkan hawa nafsu. Mereka khawatir akan bernasib buruk jika tak curang. Misal, boleh jadi, Kepala Dinas Pendidikan setempat takut akan mendapat ‘rapor merah’. Boleh jadi, sang kepala sekolah akan malu dengan citra buruk sekolahnya. Boleh jadi, para murid khawatir tak lulus.

Padahal, Allah meminta kita –kapanpun- tetap di ‘Jalan Lurus’. Padahal, yang diharapkan Allah adalah kita jangan sekali-kali tunduk kepada hawa nafsu. “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya) (QS An-Naaziaat [79]: 40-41).

Seperti Siami, kita harus berani memberantas praktik ketidakjujuran. Kita harus melawan jika ada usaha-usaha tak jujur semisal contek-mencontek, terlebih lagi jika dilakukan secara massal. Sungguh, pada dasarnya, aktivitas contek-mencontek itu sangat potensial sebagai bibit perbuatan-perbuatan tak terpuji lainnya yang lebih mengerikan, seperti bohong, manipulasi, dan korupsi.

Alhasil, di tengah banyaknya warga masyarakat yang suka bersikap tak jujur, maka kehadiran orang jujur –seperti Siami- akan sangat bernilai tinggi. Bila sifat jujur telah melekat pada diri seseorang, maka segenap amanah yang ditanggungnya akan diselesaikannya dengan sepenuh tanggung-jawab. Dia pasti tidak akan mau mengambil resiko untuk –misalnya- menyelewengkan berbagai amanah itu.

Mari, secara bersama-sama kita kembalikan pendidikan kita ke ‘khittah’-nya, yaitu sebagai usaha sadar dan terencana agar peserta didik memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kecerdasan, dan akhlak mulia. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *