Musibah, Ibadah dan Hawa Nafsu

Oleh: Ahmad Kholili Hasib

1Inpasonline.com-Ibadah merupakan media komunikasi seorang hamba dengan Allah Swt. Ibadah yang betul-betul murni penghambaan diri hamba kepada-Nya, akan mendapatkan balasan sepantasnya dari Allah Swt. Balasan pahala ini merupakan timbal-balik komunikasi Allah Swt dengan hamba-Nya. Sementara, ibadah yang tidak murni karena Allah Swt, tidak mendapatkan pahala. Sebab Allah Swt adalah Rabb (Tuhan) yang tidak bisa diduakan. Dia satu-satunya Rabb yang patut disembah.

Islam memandang bahwa akhirat itu lebih utama daripada dunia. Sifatnya yang kekal-abadi itulah yang menjadi tujuan seorang Muslim. Maka, seorang hamba yang ikhlas, menikmati ibadahnya. Sedangkan hamba yang tidak ikhlas, ibadahnya tidak nikmat,tetapi berat, bahkan merasa tersiksa. Perasaan berat dan merasa terbebani disebabkan ia tidak mendapatkan imbalan dari Allah Swt. Pahala Allah swt yang disegerakan di dunia antara lain berupa rasa nikmat dalam ibadah.

Selain itu, seorang hamba Allah Swt akan mendapatkan anugerah berupa kesadaran diri setelah menempa berbagai bentuk ubudiyah kepada-Nya. Ubudiyahnya menjadikan dirinya seorang yang lebih bersyukur, lebih bahagia, dan derajat yang tinggi. Seorang Muslim mendapatkan kedudukan mulya di sisi Allah Swt karena telah menjalankan shalat, puasa, bersedekah, dzikir dan lain-lain.

Seperti telah disabdakan Nabi Saw: “Barang siapa yang keluar menuju masjid tanpa ada tujuan lain kecuali hanya untuk mengerjakan shalat, maka tidaklah sekali-kali ia melangkahkan kakinya satu langkah saja, melainkan akan ditinggikan baginya satu derajat (satu tingkat kemuliaan) karenanya akan dihapuskan darinya satu dosa (kesalahan) (HR. Bukhari).

Hadis-hadis seperti tersebut di atas cukup banyak. Para ulama, merekam hadis-hadis kabar gembira itu dalam karya-karyanya sebagai motivasi umat Islam untuk bersemangat dalam beribadah.

Akan tetapi, tantangannya adalah nafsu ternyata juga mendorong ibadah. Dorongan ibadahnya bukan untuk menyelamatkan manusia, tetapi dorongannya tidak murni ubudiyah kepada Allah Swt.

Umumnya, nafsu menarik manusia untuk berbuat jahat. Tetapi, ada satu bentuk nafsu yang justru menarik manusia untuk beribadah. Mendorong untuk shalat, memotivasi untuk bersedekah, menarik untuk berdzikir kepadanya. Sehingga, shalat, sedekah dan dzikirnya didorong nafsu.

Bila dorongan nafsu yang menarik, maka patut dicurigai. Sebab, nafsu mengajak kepada keburukan. Inna an-nafsa la ammarotu bis suu’ (QS. Yusuf 53). Nafsu yang menyusup kepada ibadah itulah perkara halus yang tidak mudah dikenali.

Seseorang yang bersemangat shalat, sedekah, berdzikir dll, akan sia-sia bila disusupi nafsu. Semangatnya bukan lagi karena Allah Swt. Semangat menunaikan shalat karena ada yang memujinya. Bersemangat untuk berdzikir karena dihormati. Tanda dimasuki nafsu adalah, ketika ada orang mencela atau tidak ada yang memujinya, maka ia menjadi malas melakukan bentuk ibadah-ibadah tersebut.

Itulah ibadah yang menipu. Ditipu oleh nafsu. Lahirnya menghamba kepada Allah, tetapi batinnya memuaskan nafsunya.

Ibnu Athoillah al-Sakandari mengatakan: Nafsu yang masuk pada maksiat adalah dzahir, mudah dikenali. Akan tetapi, nafsu yang masuk dalam ibadah itu adalah tersembunyi, tidak mudah dikenali. Dan mengobati sesuatu yang tersembunyi itu lebih sulit.

Karena itu, terkadang anugerah Allah Swt tidak didapat dalam ibadah, tetapi justru didapat setelah mendapatkan musibah. Sebabnya, ibadah manusia kadang dicampuri nafsu sehingga mengalang-halangi datangnya anugerah Allah Swt.

Betapa banyak kisah seseorang itu menjadi wali Allah setelah mendapatkan musibah. Bukan setelah menjalani tahapan-tahapan tinggi ibadah kepada Allah Swt.

Ibnu Athoillah mengatakan: Mungkin engkau mendapatkan karunia Allah Swt pada saat  engkau tertimpa musibah, yang tidak engkau dapatkan dari puasa atau shalat.

Karunia Allah Swt didapatkan seorang manusia dikarenakan biasanya seorang yang dikenai musibah/cobaan ia segera ingat kepada Allah Swt, taubat, meminta ampun atas dosa dan kesalahan, dan lebih mendekat kepada-Nya. Dengan ini, maka Allah Swt pun meridhoi dan mendekatinya.

Sedangkan, terkadang ibadah shalat, puasa dan sedekah, dicampuri nafsu berupa riya, dan sombong. Sehingga manusia lalai kepada Allah Swt. Sibuk mengangkat dirinya di hadapan manusia, bukan sibuk mengingat kepada Allah Swt. Dengan ini, manusia makin menjauh dari-Nya.

Orang yang tertimpa musibah dan kesusahan itu biasanya merasa hina dan rendah hati. Sementara manusia banyak tergoda nafsu dalam ibadahnya sehingga ubudiyahnya tidak menancapkan rasa hina dan rendah hati, tetapi justru dengan ibadahnya itu ia merasa terhormat dan tinggi.

Seseorang yang mendapatkan kemuliaan melalui kehinaan diri setelah tertimpa musibah itu tidak merasakan kemuliaan itu dari usaha dirinya. Tetapi dari Allah Swt. Dalam pikirannya ia tetap hamba Allah yang tidak memiliki daya apapun.

Sementara betapa banyak orang yang merasa mendapatkan kemuliaan dari usaha ibadahnya sendiri. Terhadap orang ini, Allah Swt murka.

Maka, sesunggunya datangnya cobaan yang menyedihkan bisa menjadi anugerah bagi orang yang memiliki mata hati tajam. Sebuah cobaan bisa menjadikan hati seseorang bersih dan batinnya suci.

Hati yang keras menjadi lunak. Kesombongan menjadi kerendahan hati. Dan dalam hati yang bersih itu Allah Swt akan memberikan karunia-karunia-Nya.

Datangnya cobaan dan kesusahan bisa membuat seseroang itu merasa rendah dan hina. Perasaan rendah dan hina inilah yang menghinakan nafsu seseorang. Sehingga, pada saat nafsu merasa hina maka seseorang itu berarti mendapatkan kemenangan dari hawa nafsunya.

Sebaliknya, kebanggan terhadapa kekuatan diri sendiri menyebabkan kekalahan terhadap hawa nafsunya sendiri.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *