Oleh: Asmu’i, MA

membaca2Dalam sejarah peradaban Islam, kemajuan ilmu pengetahuan berbanding lurus dengan perhatian dan pengamalan perintah membaca dan menulis. Dengan kata lain, semakin intens dan luas pembacaan umat Islam, semakin tinggi peradaban Islam, begitu sebaliknya. Perintah tentang dua aktivitas ini telah terkandung dalam Wahyu yang pertama kali turun, yaitu Surat Al-‘Alaq[1]. Membaca, jika yang dimaksud adalah kata Iqra’ dari Surat Al-‘Alaq tersebut, tidak hanya menunjuk pada kegiatan mengeja ‘huruf, kata atau kalimat’ sebagaimana umum dipahami dan dilakukan oleh masyarakat Muslim belakangan ini. Namun ia merupakan kata sekaligus sebuah kosep penting yang memiliki makna luas dan mendasar, menjadi kunci kelahiran dan perkembangan tradisi keilmuan dalam Islam. Dan karena persinggungan peradaban Islam dengan peradaban lain telah terjadi sejak masa Nabi saw, maka perintah Iqra’ tetap signifikan hingga hari ini khususnya dalam merespon masuknya framework kajian orientalis dalam studi ilmu-ilmu keislaman.

Memaknai Iqra’

Pada mulanya, kata Iqra’ yang berasal dari kata kerja Qara’a bermakna menghimpun. Karena itu, apabila huruf atau kata dirangkai dan diucapkan, maka bermakna ‘telah menghimpunnya atau membacanya.’ Kemudian dalam beberapa kamus, kata tersebut mengandung makna yang beraneka ragam, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu dan lain sebagaimana yang semua itu bermuara pada arti menghimpun. Oleh sebab itu, perintah iqra’ ini tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan, dan tidak pula harus diucapkan, sehingga terdengar oleh orang lain. Dan memang dalam ayat tersebut, tidak disebutkan satu objek bacaan tertentu.[2] Dalam kaedah bahasa, hal ini menunjukkan bahwa perintah membaca tidak terbatas pada obyek khusus, tetapi terhadap segala sesuatu dari ayat-ayat-Nya. Ini bermakna objek dari perintah Iqra’ tidak hanya realitas  empiris, tetapi juga non-empiris.

Masih dalam Surat Al-‘Alaq, bagian yang berbunyi “’Allama bi Al-Qalam” memiliki dua maksud: pertama, Al-Qalam bermakna tulisan, yang dengan itu dapat diketahui perkara-perkara yang sebelumnya belum diketahui. Jadi di situ Al-Qalam yang kemudian berfungsi mewujudkannya dalam bentuk tulisan. Kedua, bermakna bahwa Allah swt mengajarkan kepada manusia bahwa pena dapat digunakan sebagai alat untuk menulis.[3] Dalam hubungannya dengan ilmu, Hamka menjelaskan bahwa pena memang beku dan kaku, tidak hidup. Akan tetapi apa yang dituliskan dengan pena itu adalah berbagai hal yang dapat dipahami oleh manusia.[4] Oleh karena itu, dalam tulisan ini kata Iqra’ kadang penulis maksudkan untuk makna ‘membaca’ saja, tetapi kadang juga bermakna ‘membaca dan menulis’ sekaligus, sesuai konteksnya.

Dari aktivitas membaca dan menulis kemudian lahir dan berkembang ilmu-ilmu dalam Islam. Sementara ilmu itu sendiri merupakan asas bagi kemajuan peradaban Islam.[5] Oleh sebab itu, dalam satu kesempatan Imam al-Awza’i menegaskan bahwa secara mendasar manusia adalah orang-orang yang berilmu. Sementara selain mereka (yang tak berilmu) tidak berarti.[6] Signifikansi ilmu bagi kehidupan manusia telah tampak dari turunnya Surat Al-‘Alaq: 1-5 itu sendiri. Hal ini misalnya ditegaskan oleh Ibnu Katsir, bahwa Surat Al-‘Alaq: 1-5 merupakan surat yang berbicara tentang permulaan Rahmat Allah swt yang diberikan kepada hamba-Nya. Ia juga awal dari nikmat yang diberikan kepada hamba-Nya dan sebagai tanbih (peringatan) tentang proses awal penciptaan manusia dari ‘alaqah.

Di samping itu, ayat ini juga menjelaskan kemuliaan Allah swt yang telah mengajarkan manusia sesuatu hal (pengetahuan) yang belum diketahui, sehingga hamba dimuliakan-Nya dengan ilmu yang merupakan Qudrat-Nya.[7] Inilah mengapa perintah Iqra’ tidak hanya ditujukan kepada pribadi baginda Nabi Muhammad saw saja, tetapi juga untuk umat manusia sepanjang sejarah kemanusiaan. Sebab ia merupakan kunci pembuka atau jalan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[8] Dengan demikian, peradaban ini tidak dapat diukur dari kemajuan fisik semata. Sebab bangunan fisik tidak akan ada tanpa wujudnya kepercayaan, ideologi, pikiran, agama, termasuk ilmu pengetahuan. Di sinilah kenapa dinyatakan bahwa ada hubungan erat antara perintah Iqra’ dengan kemajuan peradaban Islam.

Al-Qur’an Sumber Aktivitas Intelektual dan Lahirnya Ilmu

Al-Qur’an memberi tahu kita bahwa semua aktivitas  membaca (Iqra’) harus disandarkan dan bahkan bersumber pada yang Memberi perintah, yaitu Allah swt (cermati QS. Al-‘Alaq: 1). Ini bermakna, setiap kegiatan menelaah, memahami, meneliti dan lainnya harus bersumber dan bersandar kepada Pandangan Hidup Islam (Islamic Worldview) yang elemen pertama dan utamanya adalah konsep tentang hakikat Tuhan.[9] Iqra’, sebagai aktivitas menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan sebagainya, yang tidak lepas dari Islamic Worldview, sejatinya berbicara tentang hakikat Epistemologi Islam. Sebab perintah tersebut  berbicara tentang asas, proses, sumber, objek ilmu dan segala hal yang berhubungan dengan ilmu dan keilmuan.

Dalam hubungannya dengan sumber ilmu misalnya, karena dalam Surat Al-‘Alaq tersebut tidak menyebut objek khusus, maka aktivitas menelaah, memahami, meneliti dan lainnya meniscayakan keterlibatan segala sumber ilmu, yakni indera, akal, hati dan Wahyu itu sendiri. Di samping itu, ayat tersebut bagi  Muhammad ‘Abduh menunjukkan bahwa pada hakikatnya manusia memperoleh suatu ilmu karena perkenan dan Izin Allah swt, melalui Kemurahan-Nya, Ilmu-Nya, Qudrat dan Iradat-Nya.[10]

Hal ini juga bisa kita telusuri dari makna rabbika dalam Surat Al-‘Alaq tersebut. Menurut Quraish Shihab, kata rabbika disebut dalam al-Qur’an sebanyak 224 kali. Kata ini biasa diterjemahkan dengan “Tuhanmu.” Kata rabb ( ربّ ) berasal dari kata tarbiyah ( تربية ) yang berarti “pendidikan”. Kata-kata yang bersumber dari akar kata ini memiliki arti yang berbeda-beda, tetapi pada akhirnya arti-arti tersebut mengacu pada arti pengembangan, peningkatan, ketinggian, kelebihan serta perbaikan. Sementara Kata rabb apabila berdiri sendiri, maka yang dimaksudkan adalah Tuhan yang tentunya antara lain karena Dialah yang melakukan tarbiyah (pendidikan) yang pada hakikatnya adalah pengembangan, peningkatan serta perbaikan makhluk yang dididik-Nya.[11] Artinya, ativitas pendidikan dan menuntut ilmu harus senantiasa disandarkan kepada Allah swt. Sebab Dia adalah sumber dari segala ilmu, dan hanya atas Izin-Nyalah seseorang mungkin memiliki ilmu.[12]

Dalam praktiknya, epistemologi dan pandangan hidup berada dan bekerja dalam pikiran manusia. Sehingga satu dengan lainnya saling mempengaruhi. Kepercayaan terhadap pengetahuan tentang Tuhan misalnya, menjadikan aktivitas membaca tidak hanya berhubungan dengan realitas empiris semata, namun juga yang non-empiris. Demikian pula, menolak pengetahuan non-empiris akan berakibat pada penolakan terhadap pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat spiritual termasuk Tuhan. Dengan demikian, dalam khazanah Islam, epistemologi dan pandangan hidup mempunyai kaitan yang sangat erat dan bahkan saling mempengaruhi.[13]

Al-Qur’an, dimana perintah membaca itu berasal, mengandung seminal konsep-seminal konsep (bakal konsep) tentang aspek-aspek kehidupan termasuk  ilmu. Sehingga kemudian, Wahyu menjadi sumber dan asas bagi aktivitas membaca dan menulis itu sendiri. Dalam kondisi seperti itu, tradisi intelektual dalam sejarah peradaban Islam dapat hidup dan berkembang secara dinamis. Hal itu menunjukkan bahwa jika saja kegiatan membaca sebagai implementasi dari perintah Iqra’ terlepas dari bimbingan Tuhan dan Wahyu-Nya, maka tidak akan ada perkembangan intelektual dan ilmu secara signifikan, apalagi sebuah peradaban kokoh sebagaimana yang telah dicapai Islam. Jika pun ada, yang akan lahir adalah ilmu-ilmu sekular seperti ilmu-ilmu Barat saat ini yang justru merusak aspek spiritual manusia.[14] Dengan begitu, ilmu yang menjadi asas peradaban Islam adalah ilmu yang terikat pada Tuhan. Di sinilah relevansi pernyataan Al-Ghazali bahwa setiap orang yang mengaitkan segala sesuatu kepada Allah swt, niscaya ia akan menjadi orang yang berpaham teguh, mengetahui kebenaran dan hakikat.[15]

Tradisi keilmuan dalam Islam membentuk komunitas ilmuwan. Wujudnya komunitas ini dalam sejarah perkembangan peradaban Islam adalah berdirinya kelompok belajar Ashab al-Suffah di Madinah. Di situ kandungan Wahyu dan Hadith-Hadith Nabi saw dikaji secara efektif. Inilah tonggak awal tradisi intelektual dan gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam Islam. Ribuan Hadith berhasil direkam oleh mereka yang belajar di dalamnya. Buktinya lahir dari tempat itu sejumlah pakar dalam Hadith Nabi saw, seperti Abu Hurayrah, Abu Dharr al-Ghiffari, Salman Al-Farisi, ‘Abd Allah, Ibn Mas’ud dan lainnya.[16] Walaupun dalam bentuk yang berbeda, namun kegiatan pengkajian Wahyu dan Hadith tersebut terus dilakukan oleh generasi selanjutnya hingga hari ini.

Kemudian, mengacu pada Surat Al-‘Alaq: 1-5, aktivitas meneliti, membaca, memahami, dan segala hal yang berkaitan dengan keilmuan harus dilakukan secara kontinue. Hal ini Allah swt isyaratkan dengan pengulangan kata Iqra’ pada ayat ketiga dari Surat Al-‘Alaq setelah penyebutan pada ayat yang pertama. Menurut al-Maraghi, pengulangan perintah tersebut karena membaca tidak akan bisa meresap ke dalam jiwa melainkan setelah dilakukan berulang-ulang dan bahkan dibiasakan. Pendapat ini diamini oleh Wahbah Al-Zuhaili, yaitu bahwa pengulangan perintah Iqra’ berfungsi sebagai penguat.[17]

Tantangan Framework Kajian Orientalis

Seiring dengan masuknya framework kajian orientalis dalam studi ilmu-ilmu Keislaman, maka kewajiban membaca dan menulis menemukan signifikansi baru yang harus dipahami oleh setiap Muslim. Fenomena masuknya framework kajian orientalis ini ditandai oleh banyaknya karya dalam bidang studi Islam yang disumbangkan oleh para orientalis, termasuk berbagai editan terhadap karya-karya yang berbahasa Arab dan Persia untuk diterbitkan kembali mulai abad ke-19 dan seperempat pertama abad ke-20. Untuk keperluan tersebut, tahun 1822 mereka mendirikan Society Asiatic of Paris di Paris, Royal Asiatic Society of Great Bretain and Ireland di Inggris pada 1823, di Amerika tahun 1842 dirikan American Oriental Society, dan di University of London pada tahun 1916 didirikan School of Oriental Sudies atau yang sekarang menjadi SOAS. Pertanyaannya, apakah berbagai karya dan pusat kajian ‘Timur dan Keislaman’ tersebut dengan niatan Li I’la’i Kalimatillah atau untuk kejayaan Islam dan Muslimin? Jawabannya tentu tidak.

Edward Said dalam bukunya Orientalisme menyatakan bahwa bagaimanapun kajian para orientalis yang sepintas tampak sistematis, objektif dan ilmiyah itu tetap saja bias, dengan tujuan tertentu. Sebab Barat, lanjutnya, memandang Timur dengan rasa superioritas yang tinggi. Sehingga apapun yang mereka katakan tentang Timur selalu bersifat rasial, imperialis dan etnocentris (p. 204). Anwar Al-Jundi menjelaskan lebih detil mengapa hasil kajian para orientalis tersebut bisa bias. Menurutnya, berbagai macam data yang mereka kumpulkan untuk kajian keislaman lebih untuk menjustifikasi ‘tujuan’ yang sudah mereka tentukan sebelumnya. Makanya hasilnya cenderung bertentangan dengan Islam.[18]

    Bias yang dimaksud di situ bukan sekedar analisa kosong tanpa bukti. Hari ini kita begitu mudah menemukan berbagai buku, jurnal atau media massa lainnya yang berbicara tentang ajaran Islam tetapi justru bertentangan dengan kandungan Al-Qur’an, Al-Hadith, dan apa yang kita pahami selama ini. Dalam bidang tafsir dan hukum misalnya, mereka menyimpulkan bahwa apa yang dihasilkan oleh para ahli tafsir dan hukum bersifat relatif. Sebab bagi mereka, Muslim tidak tahu hakikat kebenaran secara pasti, yang tahu hanya Allah swt. Jika ini diterima, sama saja mereka menuduh keberagamaan Muslim selama ini hanya pada tahap kira-kira. Di samping itu, mereka juga mengkritik orisinilitas dan sakralitas Al-Qur’an, mengkritik Syari’ah Islam dengan menyatakan bahwa sudah tidak relevan lagi, dan bahkan mereka menyatakan bahwa Islam bukanlah satu-satunya agama yang benar dengan menawarkan paham Pluralisme Agama. Yang tidak kalah serius, mereka juga menyebarkan paham Feminisme dan Gender, yang kandungannya justru bertentangan dengan kodrat kewanitaan yang sebenarnya.[19]

  Dalam konteks itulah kemampuan memahami dan mengimplementasikan perintah Iqra’ dari Surat Al-‘Alaq oleh setiap Muslim diuji. Apakah telah dilakukan sesuai dengan perintah Iqra’ itu sendiri atau justru mengadopsi framework kajian orientalis tanpa kritik. Jika kemungkinan yang terakhir yang terjadi, maka dari mulut seorang Muslim akan ikut-ikutan ‘latah’ menghina ulama, meremehkan karya-karya tafsir, meragukan otentisitas Al-Qur’an, menyatakan syari’ah Islam sudah relevan lagi dengan kondisi zaman dan lain sebagainya. Harus diakui, apa yang dilakukan oleh para orientalis begitu serius dan sistematis.

Motivasi dan kepentingan mereka yang imperialis di balik ‘kajian-kajian yang dilakukan’ mereka tutupi dengan jubah intelektualisme dan dedikasi akademik. Sehingga hasilnya seolah-olah objektif, ilmiah dan bersifat universal atau harus diterima oleh setiap orang (baca: sophisticated). Akibatnya para pembaca awam alias bukan pakar mengalami kesulitan membongkar kerancuan dan implikasi-implikasi negatifnya. Bahkan, sebagaimana telah disinggung, banyak cendikiawan Muslim yang terkecoh dengan menunjukkan sikap apresiatif berlebihan terhadap kajian para orientalis dan mengadopsinya ‘mentah-mentah’ untuk kajian Islam. Makanya tidak aneh jika tiba-tiba kritik-kritik para orientalis yang tendensius itu mereka suguhkan kembali kepada umat Islam. Jika hal itu mereka lakukan dengan tujuan agar umat Islam juga berfikir kritis, justru pada saat bersamaan cendikiawan itu sendiri yang tidak kritis terhadap kritik para orientalis.[20]

Kelompok Muslim seperti inilah yang disebut sebagai Muslim modernis dan sekuler oleh Cheryl Bernard. Orang-orang tersebut menganggap Barat sebagai simbol kecanggihan metodologi penelitian dan pengkajian. Karena itu, kajian filsafat dan ilmu-ilmu humaniora lainnya di Barat mereka ambil sebagai model bagi segala macam ilmu, termasuk ilmu keagamaan Islam. Sebab bagi mereka ilmu itu netral, sehingga dapat diambil tanpa perlu disesuaikan dengan pandangan hidup Islam apalagi dikritik.[21]

Sebenarnya tidak hanya pada kajian ilmu-ilmu keagamaan, kerancuan dan pertentangan kajian Barat dengan pandangan hidup Islam juga terjadi dalam ilmu-ilmu lainnya. Dalam bidang sains misalnya, pada tahap asumsi dan presupposisinya Barat tidak melibatkan Tuhan. Sehingga sains menjadi sekuler dan anti-Tuhan. Di Barat, dunia dulunya digambarkan sebagai organisme, tapi sejak datangnya Copernicus hingga Newton, bergeser menjadi  mekanisme. Faham inilah yang menguasai alam fikiran Barat modern.

Dari situ berkembang paradigma positivisme dan empirisisme dalam sains Barat, yang memiliki cara pandang dichotomis; subyektif-obyektif, tekstual-kontekstual, historis-normatif, jasmani-ruhani, empiris-non empiris dan lain-lain. Sehingga kini gereja di Barat tidak lagi punya otoritas untuk memahami dunia, sebab telah berpindah ke tangan saintis. Mereka-para gerejawan-hanya bisa menangisi apa yang telah dilakukan para saintis sekular-ateis itu. Dalam banyak kasus, sebenarnya para saintis tersebut bukan tidak percaya Tuhan, tapi mereka tidak mampu mengkaitkan teologi dengan epistemologi. Itulah konsekensi jika kajian keilmuan hanya bersandar pada dugaan dan spekulasi semata, tidak pada Wahyu suci. Masalahnya lagi, kitab suci agama mereka (kristen) memang tidak berdimensi ilmu pengetahuan.[22]

Oleh sebab itu, Rene Descartes, Gassendi, Pascal, Berkley, Boyle, Huygens, Beeckman, Basso, Gasendi dan Newton yang konon membela Tuhan, akhirnya justru merebut otoritas Tuhan dari para gerejawan. Dan apa yang mereka lakukan tidak lebih dari sekedar meneriakkan kembali nyanyian pemikir Yunani “Man is the standard of everything”.[23] Demikianlah ilmu yang berasal dari kebingungan dan skeptisisme karena hanya bersandar pada dugaan semata. Ini juga bermakna bahwa ilmu itu tidak bebas nilai (value free) tapi sarat nilai (value laden).[24] Para saintis Barat seperti Thomas Kuhn juga mengamini hal ini.[25]

Inilah tantangan paling besar bagi kaum Muslimin saat ini. Sebab ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam untuk menyebarluaskan cara dan pandangan hidup suatu kebudayaan.[26] Ironisnya, kini sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia termasuk perguruan tinggi Islam, mengadopsi begitu saja epistemologi Barat sebagai kebenaran universal dan bahkan menganggapnya sebagai satu-satunya mode of knowing.[27]  Inilah gejala yang diidentifikasi oleh Ziauddin Sardar sebagai ‘imperialisme epistemologis.’[28]

Seharusnya, dengan paradigma Iqra’ sebagaimana tertuang dalam Surat Al-‘Alaq di atas, setiap Muslim dapat melihat Barat secara kritis dan objektif. Karena faktanya secara prinsip Barat adalah peradaban asing yang berbeda dari Islam.[29] Karena itu, apa saja yang datang dari Barat harus dilihat dari sudut pandang Islam, atau meminjam istilah al-Qur’an-Nya dengan pedekatan bismirabbika al-ladzi khalaq. Sebab menurut Al-Attas, jika tidak sesuai dengan pandangan hidup Islam, maka fakta menjadi tidak benar.[30] Ini juga yang telah dilakukan oleh para sarjana Muslim terdahulu ketika bersentuhan dengan peradaban Yunani, Persia atau lainnya. Makanya kemudian lahir karya penting Imam Al-Ghazali yang mengoreksi beberapa pemikiran filsafat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, yaitu Tahafut al-Falasifah. Apa yang dilakukan oleh Al-Ghazali ini dalam kaca mata Al-Attas disebut sebagai proses Islamisasi.[31]

Diislamkan di situ maksudnya bukan dengan jabat tangan sang qadhi sambil membaca syahadat. Mengislamkan ilmu pengetahuan kontemporer juga bukan sekedar labelisasi. Namun ia adalah program epistemologi, yaitu membebaskan alam pikiran Muslim dari faham sekular, khususnya dalam penafsiran fakta-fakta dan formulasi teori-teori. Kegiatan ini dibarengi dengan memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan, seperti konsep din, manusia, ‘ilm (ilmu dan ma’rifah), ‘alam, amal, dan sebagainya.[32]

Dengan cara itu, semua penafsiran terhadap fakta-fakta dan formulasi teori-teori diserahdirikan kembali kepada Tuhan. Dan karena itu pula, membaca melalui pendekatan tauhidi ini, artinya yang melibatkan indera, akal, qalbu dan wahyu, akan menjadikan manusia tidak lagi bingung memahami dan membedakan antara yang benar dan yang salah (al-haq wa al-bathil), yang ma’ruf dan yang munkar, antara iman dan kufr, petunjuk dan kesesatan (al-huda wa al-dhalal), jalan yang lurus dan yang menyimpang (sabil al-rusyd wa sabil al-ghayy), ketaqwaan dan kefasikan, yang sejati dan yang palsu (al-shadiq wa al-kadzib), yang baik dan buruk (al-khayr wa al-syarr), dan seterusnya.

Dengan demikian tidak ada lagi cara pandang dichotomi dalam memandang realitas. Sebab Al-Qur’an mengajarkan pendekatan tauhidi. Proses pembacaan Qur’ani itu juga akan membebaskan manusia dari mitologi, magik, animisme, tradisi budaya nasional yang bertentangan dengan Islam, dan kontrol sekular atas akal dan bahasanya. Di sini ia berada dalam keyakinan dan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible, dan materi. Sebab akalnya telah bebas dari keraguan, dugaan  dan argumentasi spekulasi-kosong. Akhirnya, ia membebaskan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dari ideologi, makna dan ungkapan sekular.[33] Inilah cara membaca yang tepat, sesuai dengan petunjuk Iqra’ dalam Surat Al-‘Alaq.

Dan karena dasar perintah Iqra’ itu pula, menurut Wan Daud, meskipun formulasi sistematis Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer baru dicapai oleh Al-Attas, namun praktik Islamisasi itu sendiri sesungguhnya telah berlangsung sejak permulaan Islam hingga zaman kita sekarang ini. Hal ini dibuktikan dengan wujudnya kandungan Wahyu pertama (QS. Al-‘Alaq: 1-5) yang diterima oleh Nabi Muhammad saw, yaitu ketika Tuhan menekankan bahwa Dia adalah Sumber dan Asal ilmu pengetahuan manusia.[34]

Kemudian, mengenai kelompok tertentu yang menentang program Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer lebih karena tidak setiap Muslim menguasai epistemologi termasuk kerancuan epistemologis Barat Modern-Postmodern yang sekular-ateis. Sikap mereka itu justru mengafirmasi kebodohan mereka sendiri, seperti yang diungkapkan oleh pepatah Arab: الناس أعداء ما جهلوا (manusia itu benci terhadap apa yang tidak diketahuinya).[35] Wallahu A’lamu bi Al-Shawab.

* Penulis adalah Alumni Pascasarjana ISID Gontor Ponogoro. Sekarang aktif sebagai dosen di Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan, Sumenep-Madura, pada jurusan Ilmu Akidah.


[1]Muhamad ‘Ali al-Sabuni, Safwah al-Tafasir, Juz 3, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), p. 554; Hamka, Tafsir al-Azhar, Jil. 10, (Singapura: Pustaka Nasional, 1999), p. 8059-8060; dan Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz 28, (Mesir: Mustafa Bab al-Halabi, t.th.), p. 198.

[2]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 15, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), p. 393.

[3]Fahr al-Razi, Tafsir Fahr al-Razi, Juz 31, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), p. 17.  

[4]Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 10, p. 8. 060; baca juga ‘Ali al-Sabuni, Safwah al-Tafasir, Juz 3, p. 554.  

[5]Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Dar al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2006), p. 341-345 & 466-467; bandingkan dengan Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (Cambgridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1968); Al-Ghazali dalam, Minhaju al-‘Abidin (Surabaya: Maktabah Mahkota, tth.), p. 6- 10; dan Mukasyafatu Al-Qulub, (Singapura-Jeddah-Indonesia: Al-Haramain, tth.), p. 272-273; Lihat juga kajian Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1970); dan Abdul Latif Tibawi, “Philosophy of Muslim Education”, Islamic Quarterly, Jil. 10, No. 2, Juli 1957, p. 82.

[6]Baca dalam Nashir al-Umuri, Daging Ulama itu Racun, terj. Abdul Rosyad Shiddiq, (Jakarta: Gema Insani Press, 1415 H/1995 M),   p. 15.  

[7]Abu Fida al-Hafiz ibn Katsir al-Dimisqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jilid 4, (Beirut: Dar-al-Fikr, t.th.), p. 645; bandingkan dengan ‘Ali al-Shabuni, Safwah al-Tafasir…, 580.

[8]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1998), p. 167.

[9]S.M.N. Al-Attas, “The Worldview of Islam, An Outline, Opening Adress”, dalam Sharifah Shifa al-Attas ed. Islam and the Challenge of Modernity, Proceeding of the Inaugural Symposium on Islam and the Challenge of Modernity: Historical and Contemporary Context, Kuala Lumpur Agustus 1-5, 1994, ISTAC, Kuala Lumpur, 1996, p. 29; Bandingkan dengan Thomas F. Wall, Thinking About Philosophycal Problem, Wadsworth, Thomson Learning, United States, p. 16.   

[10]Muhammad ‘Abduh, Tafsir Juz ‘Amma, Terj. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1999), 249.

[11]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’am al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), p. 82.

[12]Lihat 3 golongan penuntut ilmu menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Bidayat al-Hidayah, Studi dan Tahqiq: Muhammad ‘Utsman al-Khusyt, (Cairo: Maktabah Al-Qur’an, 1405 H/1985 M), p. 21-22; baca adab atau etika seseorang yang menuntut ilmu dalam Qosim Nurseha Dzulhadi, Lezatnya Menuntut Ilmu: Begini Seharusnya Anda Menuntut Ilmu, (Jawa Barat: Indie Publishing, 2012), p. 31-53.

[13]Hamid Fahmi Zarkasyi, “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”, Islamia, Thn. II, No. 5, April-Juni 2005, p. 9.

[14]Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu (Ponorogo: Darussalam University, 2007), p. 1.

[15]Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Juz IV, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2006), p. 2930; dan Mukasyafatu Al-Qulub, p. 272-273.  

[16]Khalifah Ibn Khayyat (d.240 A.H), al-Tarikh, komentar oleh Akram Diya’ al-‘Umari, (Najaf: al-Adab Press, 1967), vol. 1/321; Abu Nu’aym, Ahmad ibn ‘Abd Allah al-Asbahani (d.430 A.H.), Hilyat al-Auliya’, 10 jilid, Mesir: al-Sa’adah Press, 1357, 1/339, 341; dan Abu Daud al-Sijistani, Sulayman ibn al-Asha’ath (d.275 A.H), al-Sunan, 2 vols, (Egypt, Mustafa al-Babi al-Halabi, 1371), 2/237.   

[17]Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir Al-Munir fi ‘Aqidah wa Al-Syari’ah wa Al-Manhaj (Lebanon: Dar al-Fikr al-Mu’asir, tth.), p. 317.     

[18]Anwar al-Jundi, al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’asir fi Ma’rakat al-Taghrib, (Cairo: al-Risalah, tth.), p. 133-137.      

[19]Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, (Ponorogo: CIOS-ISID-GONTOR, 2008), p. 91-117.      

[20]Baca selengkapnya tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat: Refleksi tentang Islam, Westernisasi & Liberalisasi, (Jakarta: INSISTS, 2012).

[21]Baca selengkapnya dalam Cheryl Bernard, Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies, RAND, National Security Research Division, the RANG Corporation, 2003, p. 53; baca juga ulasan Hamid Fahmi Zarkasyi tentang ini, Liberalisasi Pemikiran Islam…, p. 68-82; dan “Memamahi Barat”, ISLAMIA, Vo. III, No. 2, Januari-Maret 2007, p. 6.

[22]Baca selengkapnya kajian tentang Kristen dan Kitab suci mereka dalam Adian Husaini, Mengapa Barat menjadi Sekuler-Liberal?”, (Jawa Timur: CIOS-ISID Pondok Modern Darussalam Gontor, 2007).        

[23]Ungkapan ini berasal dari Protagoras, yang oleh Betrand Russell dinyatakan sebagai pimpinan dari kaum sophist yang memperjuangkan idiologi skepticism. Lihat Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, terj. Sigit Jatmiko dkk, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), cet. III, p. 105.        

[24]Lihat Bediuzzaman Sa’id An-Nursi, Al-Maktubat, Terj. Ihsan Kasim Salih, (Al-Qahirah: Syirkah Sozler Li an-Nasyr, 2004), p. 28 & 569-570; Al-Lama’at,  Terj. Ihsan Kasim Salih, (Al-Qahirah: Syirkah Sozler Li an-Nasyr, 2004), p. 176-177; An-War al-Haqiqah: Mabahits fi at-Tasawwuf wa al-Suluk, Terj. Ihsan Kasim Salih, (Al-Qahirah: Syirkah Sozler Li an-Nasyr, 2006), p. 56; Lihat juga pandangan Nursi dalam Ihsan Kasim Salih, Said Nursi, Pemikir & Sufi Besar abad 20: Membebaskan Agama dari Dogmatisme dan Sekularisme, terj. Nabilah Lubis (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2003), p. 151-156; Demikian pula, Al-Attas merupakan seorang intelektual Muslim yang ulung pada abad ini. Sebab ia telah berhasil membongkar kepincangan filsafat Barat dan menanggapinya secara kritis dan cerdas. Lihat Al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), p. 133-134; Lihat juga karya Al-Attas lainnya, Risalah Untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), p. 61-63.         

[25]Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, (Chicago: The University of Chicago Press, 1970).        

[26]Al-Attas, Risalah…, p. 49; dan Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, (Malaysia: USM, 2007), p. 1.       

[27]Baca misalnya kajian Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Gema Insani, 2006); dan Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2009).         

[28]Baca dalam Muniron, Epistemologi Ikhwan As-Shafa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), p. 4.          

[29]Lihat 5 faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat dalam karya Al-Attas, Islam and Secularism…, 137; dan Wan Daud, The Educational Philosophy and Pracitice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), p. 309-310; Bandingkan dengan Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam…, p. 4-24.        

[30]Wan Daud, The Educational Philosophy…, p. 313.        

[31]Lihat Wan Daud, The Educational Philosophy…, p. 291-369; baca juga kajian Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu, (Ponorogo: Darussalam University, 2007).       

[32]Wan Daud, The Educational Philosophy…, p. 312-314.        

[33]Cermati definisi dan penjelasan islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer Al-Attas dalam Wan Daud, The Educational Philosophy…, p. 312-313.        

[34]Wan Daud, The Educational Philosophy…, p. 316.       

[35]Lihat dalam Sholih Ahmad As-Syami, Al-Imam Al-Ghazali: Hujjatu Al-Islam Wa Mujaddidu Al-Mi’ah Al-Khamisah, (Dimasqo: Dar Al-Qalam, 1413 H/1993 M), p. 63.      

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *