Muhasabah Ba’da Ramadhan dan Kualitas Ibadah

Oleh M. Anwar Djaelani

A_MuhasabahInpasonline.com – Ketika Ramadhan baru saja berlalu, sungguh berharga untuk sesegera mungkin kita bermuhasabah alias mengevaluasi diri. Misalnya, apakah hasil-hasil ‘pendidikan dan pelatihan’ Ramadhan tetap bisa kita pertahankan di hari-hari selanjutnya?

Yuk, Muhasabah! 

          Secara umum, muhasabah atau mengevaluasi diri adalah perbuatan yang harus sesering mungkin kita lakukan. Di setiap kita mengerjakan sesuatu amaliyah, kiranya perlu untuk selalu mengevaluasinya. Tujuannya, sisi yang positif harus bisa kita pertahankan dan bahkan ditingkatkan.

Muhasabah juga perlu dilakukan setelah kita berpuasa Ramadhan, sebuah ibadah yang jika dilakukan sesuai sunnah Nabi Saw maka insyaAllah kita akan digolongkan sebagai manusia takwa. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS Al-Baqarah [2]: 183).

Sembari menjauhkan diri dari kemungkinan penyakit riya’, maka lewat muhasabah kita coba mematut-matut diri, apakah takwa lalu menjadi keseharian kita. Untuk itu, kita coba cari tahu tentang makna takwa.

Menurut (almarhum) Prof. Dr. HAMKA di Tafsir Al-Azhar-nya,  takwa itu adalah memelihara. Maknanya, memelihara hubungan baik dengan Allah. Memelihara diri dari perbuatan yang tak diridhai Allah.

Dengan demikian, evaluasi kita setelah berpuasa Ramadhan adalah: Masih teruskah kita “Memelihara hubungan baik dengan Allah”? Masih berlanjutkah kita “Memelihara diri dari perbuatan yang tak diridhai Allah”?

Mungkin, sebagian menganggap aktivitas “Memelihara hubungan baik dengan Allah” sebagai sesuatu yang abstrak karena tak bisa diukur secara mudah. Baiklah, sekarang kita coba dengan ‘alat evaluasi’ yang dengannya kita mungkin bisa lebih mudah untuk mengukurnya.

          Kita evaluasi konsistensi amaliyah kita. Jujur kita merasakan, bahwa –antara lain- karena termotivasi oleh HR Ibn Khuzaimah, semangat beribadah kita di bulan Ramadhan bertambah naik. Untuk itu, mari kita jawab dengan jujur serangkaian evaluasi berikut ini.

Apakah sekarang kita masih suka mengerjakan yang sunnah-sunnah? Pertanyaan ini penting sebab di saat Ramadhan kita rajin melakukannya karena “Barang siapa mendekatkan dirinya kepada Allah dengan suatu pekerjaan kebajikan di dalamnya, samalah dia dengan orang yang menunaikan suatu fardhu di bulan yang lain”.

Masih terkait hal di atas, masihkah kita sekarang tekun menegakkan shalat tahajjud tiap hari sebagaimana di saat Ramadhan kita aktif menegakkan shalat tarawih tiap malam? Masihkah kita rajin membaca Al-Qur’an sebagaimana di ketika Ramadhan kita giat bertadarrus Al-Qur’an?

Apakah hidup kita kini menjadi selalu tertib (sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya) setertib di saat Ramadhan? Kenanglah ini: Di Ramadhan –sesuai sunnah Nabi Saw- kita bersegera berbuka ketika waktunya tiba dan selalu mengakhirkan waktu sahur.

Berikutnya, apakah kini kita tetap teguh menjalankan segala kewajiban keagamaan kita? Evaluasi ini menarik sebab pada saat Ramadhan spirit kita dalam mengerjakan yang wajib sungguh bergelora karena “Barang siapa menunaikan suatu fardhu dalam bulan Ramadhan, samalah dia dengan orang yang mengerjakan tujuh puluh fardhu di bulan yang lain”.

Lantas, apakah kini kita tetap menjaga kesabaran? Evaluasi ini terkait dengan sikap sabar kita yang terbangun di Ramadhan karena motivasi ini: “Ramadhan itu adalah bulan sabar, sedangkan sabar itu pahalanya adalah surga”.

Lalu, apakah kini kita masih suka menolong? Evaluasi ini terhubung dengan performa kita yang memesona di kala Ramadhan karena dipicu oleh ajaran bahwa “Ramadhan itu adalah bulan memberikan pertolongan dan bulan Allah menambah rizki para mu’min di dalamnya”. Terkait ini, apakah kita masih suka memberi makanan terutama kepada yang memerlukannya? Apakah kita masih suka meringankan beban saudara-saudara yang lain dan terutama beban pembantu-pembantu yang ada di rumah kita?

          Selanjutnya, apakah kini kita masih tak putus berdzikir dan berdoa kepada Allah? Evaluasi ini penting karena di Ramadhan kita telah rajin berdzikir dan berdoa terutama dalam empat hal yang sesuai dengan sunnah Nabi Saw. Di Ramadhan, kita banyak berdzikir bahwa “Tidak ada Tuhan melainkan Allah” dan “Memohon ampun kepada Allah”. Lalu kita lengkapi pula dengan dua permintaan kepada Allah yaitu “Memohon surga” dan “Berlindung dari neraka”.

 

Selalu ‘Beramadhan’

Jika ibadah puasa Ramadhan telah kita tunaikan dengan baik, maka kita patut optimis bahwa amaliyah itu akan mengantarkan kita menjadi manusia takwa. Sementara, kita tahu, takwa adalah sebaik-baik bekal dalam menjalani hidup yang penuh ujian ini. “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal” (QS Al-Baqarah [2]: 19).

Bekal –dalam pengertian umum- adalah sesuatu yang dapat menyelamatkan kita. Maka, jika Allah meminta kita agar di sepanjang hidup selalu berbekal takwa maka itu memang untuk menyelamatkan kita. Bahkan, tak hanya akan selamat, kita pun akan beruntung karena dikategorikan Allah sebagai manusia paling mulia di sisi-Nya (baca QS Al-Hujurat [49]: 13).

Jadi, ‘Ramadhan’-kan selalu semua hari-hari kita. Selalu-lah “Memelihara hubungan baik dengan Allah”. Senantiasa-lah bertakwa di manapun dan kapanpun.  Untuk itu, renungkan selalu ajaran mulia ini:“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS Adz-Dzaariyaat [51]: 56). Artinya, semoga muhasabah kita selepas beribadah puasa Ramadhan bisa menjadikan ibadah kita kepada-Nya semakin berkualitas. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *