Oleh: Anwar Djaelani
Di banyak tempat, relatif mudah menjumpai orang yang marah. Pelakunya bisa dari berbagai kalangan, dari level rakyat awam sampai ke kelas pemimpin. Padahal, ada ajaran mulia: “Jangan mudah marah!”
Bisa Tragis
Jangan mudah marah. Seperti yang pernah ditulis Sa’id Hawwa di kitab Tazkiyatun Nafs (Intisari Ihya Ulumiddin), di tiap khutbahnya Umar bin Khaththab RA selalu mengingatkan: “Orang yang paling berjaya di antara kalian adalah orang yang terhindar dari ambisi, hawa nafsu, dan kemarahan”.
Ketahuilah, justru orang yang mampu menahan amarah-lah yang terpuji. Bisa menahan marah adalah salah satu sifat orang bertaqwa. “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali ‘Imraan [3]: 133-134).
Orang yang dapat menahan amarahnya disayang Allah. “Barang-siapa dapat menahan marahnya padahal dia sanggup untuk melampiaskannya, maka kelak Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan segala makhluq, sehingga dia diberi hak memilih bidadari yang disukainya” (HR Tirmidzi).
Jangan mudah marah, terutama untuk para pemimpin. Said Hawwa, menulis di kitab yang telah disebut di atas: “Tidak berhak memegang kepemimpinan kecuali orang yang penyantun dan bahwa marah yang bukan pada tempatnya bisa mengakibatkan timpangnya kehidupan sosial atau merusak berbagai hubungan”. Maka, benar ketika Ja’far bin Muhammad berkata bahwa: “Kemarahan adalah kunci segala keburukan”.
Para pemimpin, berhati-hatilah! Menghukum atau menetapkan keputusan ketika sedang marah itu tercela. Sebab, keputusan yang diambil dalam keadaan marah akan menyimpang dari kebenaran. Kemarahan dapat membuat seorang pemimpin tidak mampu mengetahui kebenaran sehingga ia memberi keputusan yang salah. Perasaan marah dapat mengakibatkan daya nalar seseorang berubah sehingga dia tidak dapat mendudukkan permasalahan secara proporsional.
Pendek kata, secara umum, orang yang sedang marah itu menyimpang dari keadaan normal. Misal, mereka bisa berkata-kata yang bathil, berbuat yang tercela, berbicara dengan nada dengki, atau mengobarkan perseteruan.
Jangan mudah marah. Andai ada ‘contoh’ tentang hal yang sebaliknya, maka insya-Allah akan lebih baik jika kita segera melupakannya. Misal, ada kabar seperti ini: “Soal Bunda Putri SBY marah besar, saat disadap tak ada komentar” (www.merdeka.com 19/11/2013).
Situs di atas menulis pada paragraf pertamanya: “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak mampu menahan amarahnya saat mendengar kesaksian Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) dalam sidang Ahmad Fathanah yang menyebut dirinya dekat dengan Bunda Putri. SBY pun langsung menggelar jumpa pers”.
Sementara, di paragraf kedelapan, tertulis: “Lalu, apa reaksi Presiden SBY saat mengetahui dirinya, Ibu Ani, Wapres Boediono dan sejumlah menterinya disadap oleh Australia? Ternyata SBY tidak berkomentar secara langsung. Melainkan meminta kepada Menlu untuk jumpa pers menyikapi penyadapan tersebut”.
Perlakuan yang sama juga bisa untuk berita berikut ini: “Ani Yudhoyono Marah di Instagram, Pakai Kata Bodoh” (www.tempo.co 17/10/2013). Pada situs yang disebut terakhir ini, di paragraf pertamanya tertulis: “Ibu Negara Ani Yudhoyono berang gara-gara komentar di akun media sosial berbagi foto instagram. Sampai-sampai Ani, yang memiliki akun @aniyudhoyono, menggunakan kata “bodoh” untuk membalas komentar dari akun @erie_nya”.
Soal apa yang membuat Ani SBY marah? Ternyata, hanya karena ‘kritik’ atas batik yang dikenakan SBY sekeluarga saat mereka ke pantai. Lihatlah, masih di situs yang sama, di paragraf keduanya tertulis: “Pada profil @erie_nya, diterangkan bahwa pemilik akun adalah Erie Prasetyo. Erie mengomentari foto Ani bersama keluarga, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat berkunjung ke Pantai Klayar, Donorojo, Pacitan. Turut berpose dalam foto tersebut putra sulung Agus Harimurti dan istrinya, Annisa Pohan, serta anak mereka Almira Tunggadewi. SBY sekeluarga mengenakan batik saat berpose di karang-karang pinggir pantai”.
Sikap yang sama juga untuk berita ini: Wakil Ketua Ombusdman RI, Azlaini Agus dikabarkan memarahi dan menampar petugas ground handling maskapai Garuda Indonesia Airlines, Yana Novia. Saat itu Azlaini marah karena tidak puas dengan penjelasan mengenai penundaan jadwal keberangkatan pesawat dari Pekanbaru menuju Medan. Atas ulahnya itu, Azlaini diperiksa polisi (www.tempo.co 12/11/2013).
Berhati-hatilah, jangan mudah marah. Terkait itu kita perlu tahu (sebagian) akibat fatal jika kita mudah marah. Situs www.salimah.or.id edisi 08/12/2011 menukil riwayat berikut ini:
Seorang Sahabat Nabi SAW menceritakan bahwa: “Aku duduk bersama Nabi SAW. Lalu, datanglah seseorang membawa orang yang sedang diborgol dan dia berkata: ‘Yaa Rasulullah, dia telah membunuh saudaraku’. Kemudian Rasulullah SAW bertanya kepada lelaki yang diborgol tersebut: ‘Apakah engkau telah membunuhnya?’ Maka, menjawablah yang ditanya: ‘Ya, saya membunuhnya’. Rasul SAW bertanya: ‘Bagaimana engkau membunuhnya?’ Orang itu menjawab: ‘Aku bersamanya mengambil dedaunan dari pohon untuk makanan ternak. Kemudian, dia mencelaku hingga membuatku marah. Lalu, aku memukulnya dengan kapak tepat pada batang lehernya. Akhirnya dia mati’.” (HR Muslim).
Kisah di atas menyedihkan, bahwa hanya karena dicela oleh kawannya sendiri, seseorang menjadi sangat marah. Hal itu lalu menjadi ‘energi pendorong’ baginya untuk membunuh si kawan. Tragis, dan mendatangkan susah!
Ayo, Pilih!
Mari, jangan turuti nafsu dengan mudah mengumbar marah. Sebaliknya, pandai-lah dalam hal menahan marah. Jika sikap yang disebut terakhir itu sudah ada pada diri kita, maka semoga kita termasuk yang dimaksud oleh ketentuan Allah ini: “Diberi hak untuk memilih bidadari yang disukainya”. []