Monoteisme Bukan Tauhid

Oleh: Hasbi Arrijal

tauhidInpasonline.com-Dalam studi agama-agama (religious studies)saat ini, dilihat dari pendekatan konsep keimanannya (Tuhan), maka agama-agama tersebut setidaknya dapat di kelompokan kedalam tiga pengelompokan besar. Pertama adalah agama yang mengakui akan adanya satu Tuhan saja atau disebut sebagai agama monoteisme (John H. Hick, Philosophy of Religion, hal 16).

Kedua, kebalikan dari pertama, yaitu agama yang mengakui adanya banyak Tuhan atau dewa-dewi dalam keyakinannya. Dimana kepercayaan ini berkembang secara umum pada masyarakat purba yang selanjutnya diteruskan di Barat, tepatnya Yunani kuno dan Roma. Kelompok ini termasuk kedalam agama-agama politeisme (Loren Bagus, Kamus Filsafat, hal. 857).

Dan yang Ketiga, adalah mereka yang tidak mempercayai adanya Tuhan secara konstitusi agama, yang ketiga inilah disebut dengan golongan ateisme (John H. Hick, Philosophy of Religion, hal. 15).

Dalam kajian studi perbandingan agama, agama Islam dan Kristen dimasukan kedalam kelompok agama-agama monoteisme, yaitu agama yang mempercayai keesaan Tuhan, atau dengan kata lain tidak ada kemajemukan dalam bertuhan (Philip Wilkinson, Religions, hal. 157).

Akan tetapi, walaupun kedua agama tersebutmasuk kedalam agama monoteisme, pada faktanya dibeberapa literatur terdapat perbedaan ketat antara keesaan Tuhan dalam Islam yang disebut tauhid dengan makna monoteismedalam kamus studi perbandingan agama tersebut. Maka dari itu, perlulah kiranya untuk mengkaji adakah perbedaan antara terma tauhid dengan monoteisme, atau dengan mengajukan pertanyaan, samakah tauhid dengan monoteisme?

Mendiskusikan konsep monoteisme dalam agama Kristen akan tidak valid tanpa merujuk kepada ayat-ayat dalam kitab sucinya. Salah satu pendapat para pengkaji studi agama-agama yang menilai keyakinan bahwa ajaran Kristen adalah monoteisme, yaitu ungkapan “The Lord our God, the Lord is one”(Deut. 6:4) sebagaimana terkutip dalam ensiklopedia Kristen (Geoffrey Parrinder, A Concise Encyclopedia of Christianity, hal.167).

Dari ungkapan inilah yang selanjutnya menurut keyakinan ummat Kristiani, agama mereka adalah agama monoteis. Adapun bentuk monoteismenya tergambar dari konsep trinitas yang mereka ajukan. Dimana terdapat keyakinan bahwa ada tiga unsur di dalam konsep keimanan mereka tersebut, yaitu Tuhan Bapa, Ibu dan Roh Kudus.

Ketiga unsur ini pada hakikatnya adalah satu, atau mereka menyebutnya sebagai Three in one or one in three. Akan tetapi konsep trinitas itu sendiri ternyata masih problematik dan dianggap tidak memiliki dasar yang kuat dalam ajaran agama Kristen. Bahkan, konsep itu dianggap hanya tambahan dari hasil konsili-konsili gereja yang sarat akan pengaruh filsafat Yunani pada masa itu (Ellen Kristi, Bukan Allah tapi Tuhan,hal. vii-viii).

Selanjutnya, secara umum umat Kristiani menyebut Tuhan mereka dengan nama Yesus Kristus. Penyebutan dan anggapan bahwa Yesus itu Tuhan pun masih belum mendapatkan kesepakatan secara konsensus dan berbeda-beda dikalangan mereka sendiri. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Eric H.H. Chang, Chang mengatakan bahwa :“Sebenarnya pandangan Yesus Kristus di antara umat Kristen sendiri masih rancu dan berbeda-beda antara satu dan yang lainnya. Hal ini disebabkan tidak ada pernyataan yang eksplisit yang menyatakan bahwa “Yesus Kristus adalah Allah” atau “Allah adalah Yesus Kristus”. Sehinggga para uskup sebagai wakil Tuhan berkumpul di Nikea pada th 325 M yang didanai oleh kaisar Roma untuk membuat Syahadat Nikea bahwa Yesus juga Tuhan yang harus dipercaya”(Eric H.H. Chang, The Only True God Sebuah Kajian Monoteisme Al Kitabiah , hal. 37).

Pernyataan Chang diatas menjadi satu bukti bahwa konsep monoteisme Kristen yang terangkum dalam konsep trinitas, serta status ketuhanan Yesus itu sendiri masih bermasalah dan rancu. Oleh karena ketuhanan Yesus itu sendiri adalah hasil rekayasa para uskup, bukan murni dari ajaran kristen (lihat Yohanes 10: 34-36).

Tidak heran apabila seorang Karen Amstrong yang mantan seorang biarawati menulis dalam salah satu bukunya bahwa status Yesus Kristus sebagai Tuhan dalam agama Kristen merupakan hasil historitas masa lalu, yang rentan oleh campur tangan manusia didalamnya (Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, hal. 18).

Secara implisit, bisa dikatakan kerancuan konsep keimanan Kristen yang tergambar dalam trinitas, disebabkan oleh sulitnya umat Kristen sendiri untuk menalar dan menerima Tuhan yang dianggap terlalu transenden itu. Untuk menanggulangi masalah tersebut dijadikanlah trinitas yang didalamnya terdapat unsur Tuhan Bapa, putra, dan Roh Kudus sebagai manifestasi keesaan Tuhan yang transenden tadi, atau trinitas adalah penjelmaan dari yang Esa (Henry C. Theissen rev. Vernon D. Doerksen, Teologi Sistematika,hal. 138).

Sedangkan konsep ketuhanan dalam Islam memiliki karakter yang unik juga final. Islam tidak mengenal dualisme atau trinitanisme sebagaimana terangkum pada agama Kristen diatas. Hal ini disebabkan esensi dari Islam itu sendiri adalah tauhid. Tauhid secara sederhana artinya, pengesaan Tuhan, tindakan yang mengesakan Allah sebagai yang Esa, pencipta yang mutlak dan transenden, dan penguasa segala yang ada. Kesemuanya ini berdasarkan langsung dari al-Qur’an dan hadits. Dan dapat dipertaggung jawabkan secara logis. Karena manusia yang menggunakan akalnya dengan benar akan sampai pada kesimpulan akan keesaan Allah.

Dan konsep tauhid itu sendiri menjadikan Tuhan dalam Islam tetap dipelihara transendensinya dalam bentuk tauhid uluhiyah, adapun imanensinya dalam bentuk tauhid rububiyah. Hal ini berbeda dengan Yesus yang mewakilkan ketransendensiaanya melalui konsep trinitas seperti dijelaskan diatas. Tauhid dalam Islam membersihkan segala sesuatu istilah-istilah dan penyebutan yang dapat menyekutukan Allah baik sebagai Sang Pencipta maupun Sang Pengatur segala makhluk-Nya.

Karena apabila ia memakai istilah atau penyebutan Tuhan Bapa, Ibu, anak atau juru selamat. Akan mengakibatkan kerancuan. Sebab setiap bapa atau ibu akan melahirkan maupun dilahirkan. Peristiwa ini akan mengantarkannya kepada terbaginya zat Tuhan, padahal ia bertentangan dengan sifat dan arti Esa itu sendiri. Adapun proses beranak dan diperanakan merupakan sifat makhluk sebagai penunjang eksistensinya atau untuk membantu satu sama lain.

Sedangkan Tuhan sampai kapanpun tidak membutuhkan bantuan, dan kekal selama-lamanya. Ini semua sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an, sebagaimana tertera pada surat 2:163 dan surat 114: 1-4. Maknanya, konsep keesaan Tuhan dalam Islam atau tauhid itu datang dari sumber yang otentik dan final, tanpa ada campur tangan manusia didalamnya.

Tauhid adalah sebuah konsep yang murni dari Islam. Secara lughawi, berasal dari bahasa Arab. Akar dari kata ahada. Maksudnya adalah meng-Esa-kan Allah. Jadi, dalam Tauhid, yang di-esa-kan hanya Dzat Allah saja. Bukan meng-Esa-kan oknum tuhan yang lain. Bukan dinamakan tahid jika yang di-Esa-kan adalah Yahweh. Demikian juga mengesakan Yesus bukan disebut Tauhid.

Selain itu, tauhid meng-Esa-kan Allah dalam segala hal. Dalam akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, meng-Esa-kan Allah harus dalam segala hal secara mutlak. Dalam Ibadah atau penyembahan, Asma dan Sifat-Nya, perbuatan-Nya dan lain-lain.

Namun, pada hari ini, agama-agama monoteis tersebut sedang dihadapkan dengan permasalahan dan isu yang amat serius. Agama-agama ini dianggap memiliki potensi kekerasan dan sumber bencana yang mencelakakan manusia (Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, 23-24).

Anggapan ini berangkat dari adanya sikap eksklusivisme didalam agama-agama monoteis. Mereka meyakini hanya ada satu Tuhan yang benar dan absolute, sedangkan diluar keyakinan mereka adalah salah dan sesat. Sikap inilah yang menjadikan para penganutnya tidak bisa bebas dan berkembang, mereka terkungkung oleh hukum-hukum yang telah ditentukan dan harus diperjuangkan. Pada akhirnya sikap inilah yang menyebabkan terjadinya peperangan atau teror atas nama agama dan Tuhan (Holy war).

Berbahayanya orang-orang yang beragama maupun dimensi religious dalam kehidupan manusia, seakan diamini oleh dua tokoh filsuf abad modern yaitu Nietzsche dan Sartre. Mereka berpendapat bahwa sikap religious tidak diperlukan dan dianggap sikap yang tidak sehat, karena sejatinya manusia memiliki kebebasan yang tak terbatas hatta oleh agama sekalipun. Tidaklah heran apabila Charless Kimball juga berpendapat dengan nada yang persis sama, bahwa agama yang eksklusif adalah agama setan (Evil)(Charles Kimball, When Religion Becomes Evil , hal. 52)

 

Dari penjelasan ringkas diatas. Dapatlah disimpulkan bahwa ketuhanan Kristen yang monoteisme itu tidak bisa serta merta disamakan dengan tauhid dalam Islam. Dilihat dari sisi sejarahnya, monoteisme Kristen sudah mengalami cacat sumber dengan adanya campur tangan manusia didalamnya. Sedangkan tauhid dalam Islam murni berdasarkan al-Qur’an dan hadits yang terpercaya ke otentikannya juga kefinalannya. Selanjutanya, jika konsep monoteisme itu disamakan dengan tauhid. Maka, secara logis ketuhanan Allah yang Esa tidak ada bedanya dengan keesaan Yesus dalam trinitasnya. Dari sini dapat dikatakan bahwa yang berhak mengklaim keesaan Tuhan adalah agama yang terjamin sumber keotentikannya dibandingkan yang sudah tercampur oleh tangan sejarah dan manusia.

 Penulis adalah peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Unida Gontor

ed: Ahmad K

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *