Tauhid dan Ihsan

Written by | Opini

Oleh: Ahmad Kholili Hasib

showInpasonline.com-Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan imam Muslim, ihsan adalah beribadah kepada Allah seakan-akan kita melihat-Nya. Kalaupun kita tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kita.

Hadis tersebut dikisahkan oleh Sahabat Umar bin Khattab. Dia berkata : Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah Saw. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya.

Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah Saw menjawab,”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.

Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.”
Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.”(HR. Bukhari Muslim)

Syekh Abdul Wahid bin Zaid menjelaskan tentang ihsan: Jika Tuhanku mengawasiku, maka aku tidak mempedulikan selain-Nya. Ibnu Athoillah al-Sakandari menegaskan hal ini bahwa ibadah paling utama adalah jika semua aktivitas dirasa bersama dengan-Nya pada setiap waktu (Abu Hamid al-Ghazali,Ihya Ulumuddin I, hal. 421).

Dalam Islam, Allah Swt merupakan realitas tertinggi menjadi acuan setiap aktifitas kaum Muslim. Seorang Muslim dinilai kurang sempurna imannya jika dalam satu aspek dia menjadikan Allah Swt sebagai acuan, tapi dalam aspek lain menepikan Allah Swt. Apapun aktivitas, profesi dan kegiatan manusia merupakan penghambaan (ibadah) kepada Allah Swt.

Seseorang yang telah sampai pada ihsan juga selalu memelihara kehadirannya di mana saja berada bersama Allah Swt. Memelihara kehadiran ini disebut syuhud. Dalam Islam ada ibadah yang disebut ghairu mahdhoh. Aktifitas apa saja — yang tidak bertentangan dengan syariat — bisa menjadi ibadah. Maka, setiap Muslim yang melakukan aktifitasnya dengan memelihara kebersamaan bersama Allah Swt disebut ihsan.

Seorang saintis yang ihsan misalnya, dia melakukan kerja-kerja sains-nya, atau aktifitas keilmuannya dengan selalu merasa bersama Allah Swt. Ketika ia merasa bersama Allah Swt itulah dia menggunakan pandangan-pandangan keilmuannya terkait dengan-Nya. Dia melihat peristiwa alam bukan sekedar realitas yang terjadi secara ‘otomatis’. Tapi dia meyakini bahwa dalam peristiwa alam itu ada kuasa Allah Swt. Bahwa alam itu merupakan tanda (alamah) akan kewujudan agung Allah Swt.

Jadi, kepercayaan kepada dan tahu siapa Allah Swt adalah sangat penting bagi kita yang memiliki ilmu pengetahuan. Jika kita percaya bahwa Allah Swt itu wujud (ada), maka sangat mungkin kita percaya bahwa di sana ada arti dan tujuan hidup. Dan jika kita konsisten, kita akan percaya bahwa sumber nilai moral bukanlah berdasarkan kesepakatan manusia tapi merujuk kepada kehendak Allah Swt dan Allah merupakan nilai tertinggi.

Dalam mengamalkan akhlak dan adab, seorang Muslim juga harus menjadikan Allah Swt sebagai acuan, sebagai pengamalan ihsan. Termasuk dalam etika pertemanan (al-suhbah). Imam al-Ghazali menyebutnya — pertemanan yang baik — sebagai salah satu rukun agama. Dikatakannya, bahwa agama (al-din) itu sesungguhnya seperti safar (berpergian) menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan salah satu pilar ber-safar adalah berbaik hati ketika berteman (Imam al-Ghazali, al-Arba’in fi Ushul al-Din,84).

Jadi, mengamalkan ihsan berarti menjadikan tauhid sebagai tonggak tertinggi dalam melakukan iktifitas. Jika sesorang dalam hati memiliki keyakinan bahwa Allah Swt mengawasi setiap perbuatan kita dan tiap aktivitas kita ada tanggung jawabnya kepada Allah Swt, maka kita tidak akan meninggalkan Allah Swt dalam berbagai aspek. Di mana pun dan kapanpun pikiran kita harus tetap pikiran yang Islam. Di kampus, kantor, masjid, pasar dan lain-lain Islam dan nilai ketuhanan menjadi dasar penggerak aktivitas.

Maka, dalam pandangan Islam, realitas tertinggi adalah Tuhan, dan menjadi asas paling dasar dalam aktivitas berpikir. Dalam menjalani kehidupan beragama ini, seorang Muslim memiliki pandangan-pandangan terhadap konsep kehidupan, manusia, akhlak, ilmu alam dan lain sebagainya. Jika konsep-konsep yang berpusat dengan konsep Allah ini berfungsi menjadi alat utama memandang sesuatu, maka seorang Muslim memandang realitas ini dalam kesatuan konsep yang berpusat kepada Tauhid.

Maka, apapun keahlian ilmu seorang Muslim; fisikawan, ahli kedokteran, insinyur, ahli ekonomi, teolog, ahli falsafah, faqih, dan lain-lain, jika menggunakan tauhid sebagai  standarnya, maka ilmu yang terpancar dari akal fikirnya menjadi kekhasan tersendiri sebagai seorang ilmuan Muslim yang hakiki.

 

 

Last modified: 05/09/2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *