Tauhid Vis a Vis Pluralisme Agama

Oleh: Ahmad Kholili Hasib

captionInpasonline.com-Pluralisme merupakan sebuah ideologi yang muncul di Barat pada abad ke-20. Kemunculannya berititik tolak dari suatu anggapan keliru orang Barat bahwa pertumpahan darah, peperangan yang banyak terjadi di dunia akibat dari sikap eksklusif penganut agama dalam mendakwa kebenaran (truth claim).

Pada zaman itu, memang penganut agama Yahudi dan Nasrani telah bersikap sangat eksklusif dan dogmatik dalam mendakwa kebenaran agamanya itu, tanpa berhasil memberikan bukti yang kokoh atas pengakuan tersebut di hadapan para ilmuwan. Hal ini yang menyebabkan ketegangan antara agama (Khalif Muammar,Islam dan Pluralisme Agama, hal. 1).

Pluralisme agama merupakan agenda yang paling penting dalam liberalisasi. Ia mengajarkan bahwa semua agama adalah sama benarnya dan sama validnya. Paham ini memiliki sekurang-kuranganya dua aliran, yaitu aliran kesatuan transenden agama-agama dan teologi global.  Inti doktrin ini adalah menghilangkan sifat eksklusif umat beragama. Mengajarkan agar penganut agama tidak lagi tidak mengakui agamanya sendiri sebagai agama yang paling benar.

Dalam perjalanannya yang disebarkan bersamaan dengan proyek liberalisasi di dunia Islam, paham ini memiliki dua bentuk aliran. Pertama, Global Theology dan kedua, Transendent Unity of Religion.

Dalam aliran Global Teologi, agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Oleh sebab itu menurut Walters globalisasi dan kapitalisme digunakan untuk mengurangi atau bahkan menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuasaan lainnya. (lihat Walters, Globalization (London:Routledge, 1995, hl 36). Cara yang ditempuh dalam program globalisasi ini adalah dengan mendorong semua pihak agar menjadi terbuka dan bebas menerima berbagai ideologi dan nilai-nilai sosial yang “dianggap” universal.

Paham pluralisme agama dalam merespon program globalisasi ini diusung oleh seorang penganut Protestan bernama John Hick dengan teori teologi globalnya (global theology). Sejalan dengan John Hick adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Ia mengajukan teori teologi dunianya (world theology). Keduanya membawa  paham yang sama satu teologi untuk semua agama diseluruh dunia.

Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi identitas agama-agama apalagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu teologi yang disebut teologi global (global theology).

Kata kunci dari aliran ini adalah ‘reduksi’. Agama-agama harus meruksi diri ajarannya, mengikuti gelombang masif globalisasi. Proses reduksi ini dengan alat sekularisasi.

Sedangkan aliran kedua, yaitu Transenden Unity of Religion, yaitu kesatuan transenden agama-agama menawarkan pendekatan religious filosofis  dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa di rubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosilogis ataupun histories dan tidak pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis (perenialisme). Penggagas awalnya Fritjhof Schuon yang diilhami oleh Rene Guenon.

Pandangan ini memilah dua dimensi hakikat, yakni esoteric dan exoteric. Dimensi esoteric merupakan dasar dan esensi segala sesuatu yang termanifestasikan dalam bentuk-bentuk luar yang disebut exoteric. Dengan cara pandang alam begini, maka agama Islam atau agama formal lainnya hanyalah penjelmaan exoteris, intisari ajarannya sama dengan agama lain, yakni dimensi esoteric, dimana puncak dimensi ini adalah wujud Tuhan semesta alam.

Menurut Schuon, wahyu-wahyu yang berbeda itu merupakan percikan cahaya dari satu Matahari Ilahi yang sama. Tuhan sama, ekspresi menyembah-Nya yang berbeda. Yang jelas, paradigma berpikir filsafat perenial mengharuskan untuk melihat “substansi” agama-agama, perbedaan ritual itu adalah ekspresi luar agama-agama yang tidak sepenuhnya absolut, tapi relatively absolute. Hak kebenaran juga dibatasi. Maka, dalam konteks hubungan antar agama sebaiknya yang didakwahkan adalah “substansi” bukan ritual bentuk-bentuk yang relatif itu.

Jadi, paham ini lahir dari ‘kandungan’ peradaban Barat, dan dipicu oleh sikap eksklusif agama Yahudi dan Nasrani. Ideologi ini tidak ada kaitan sejarah, atau tradisi dengan agama Islam. Di dalam tradisi pemikiran para ulama, dari salaf hingga khalaf, sampai kontemporer tidak ditemukan terminologi pluralisme agama. Karena, faham ini murni timbul sebagai reaksi terhadap problem agama Yahudi dan Kristen.

Dr. Anis Malik Thoha, pakar pluralisme, mengatakan bahwa  karakter pluralisme dari Barat itu ada lima; yaitu, mengajarkan kesetaraan atau persamaan (equality), liberalisme atau kebebasan, relativisme, reduksionisme dan eksklusivisme.

Sehingga, pluralisme bukan lagi toleransi, dan sudah tidak layak lagi disamakan dengan toleransi. Karena menjadi sebuah ideologi. Selama ini pluralisme baik secara terminologi maupun kandungan ideologinya ternyata masih banyak disalah pahami. Secara simplitis dan gegabah pluralisme hanya disinonimkan dengan kata toleransi. Penyamaan ini biasanya hanya mengambil dari salah satu arti pluralisme secara etimologis, bukan epistemologis.

Pemaknaan kata pluralisme yang tidak epistemologis menurut Dr. Anis Malik Thoha akan menyesatkan (misleading), menciptakan kebingungan (confusion). Lantas bagaimana seharusnya memaknai istilah secara epistemologis itu? Istilah pluralisme itu jelas-jelas istilah teknis yang berasal dari luar yang merangsek ke dalam bawa sadar kita bersamaan dengan masuknya ideology lain seperti demokrasi, humanism, liberalism dan lain sebagainya dari peradaban Barat

Dalam Oxford Advanced Learners’s Dictionary of Current English, yang terbit tahun 1948, pluralisme itu memang pernah dimaknai toleransi. Akan tetapi sekarang, pluralisme itu berarti relativisme. Pluralisme adalah prinsip bahwa disana tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya (lihat Oxford Dictionary of Philosophy, oleh Simon Blackburn,1995). Definisi ini telah baku (telah menjadi technical term).

Kita dapat memahami technical term ini dari tokoh penggagas paham pluralisme Agama, John Hick. Hick mengatakan bahwa doktrin pluralisme mengajarkan  bahwa agama-agama besar di dunia adalah penampilan-penampilan atau penampakan yang beragam dari satu Hakekat Ultima yang Tunggal. Secara sederhana dapat dikatakan, Tuhan semua agama itu sama dan satu, tapi itu direspon atau dipersepsi secara berbeda-beda oleh tiap agama. Tidak ada yang salah dalam respon dan persepsi tersebut (lihat John Hick Tuhan Punya Banyak Nama, hal. 106 dan Anis Malik Thoha Tren Pluralisme Agama, bab I).

Penganjur pluralisme dan sosiolog asal Amerika Serikat, Diana L. Eck, sendiri mengatakan bahwa “pluralism is just not tolerance” (pluralisme itu bukan sekadar toleransi). Bahkan Diana dalam tulisannya From Diversity to Pluralism menyindir bahwa toleransi dalam pluralisme itu merupakan ‘kebaikan’ yang menipu (but tolerance by itserf my be a deceptive virtue). Dengan demikian, anggapan bahwa pluralisme itu toleransi atau keragaman belaka, merupakan anggapan tidak tepat.

Paham ini sering menyugughkan dirinya sebagai ajaran yang ‘tampak’ ramah dan menghormati keberbedaan (the otherness) dan menjunjung tinggi kebebasan. Tapi pada hakekatnya, dia sebetulnya telah merampas kebebasan pihak lain dan menginjak-injak serta memberangus ke-berbedaan. Ketika paham ini mendeklarasikan diri dan mengklaim sebagai pemberi tafsir atau teori tentang kemajemukan agama-agama yang absolut benar, bahwa semua agama sama.

Jadi sesungguhnya paham pluralisme telah merampas dan melucuti agama-agama dari doktrin orisinil dan absolutnya. Selanjutnya absolutnya dimonopoli sendiri oleh paham pluralisme agama. Dengan doktrin seperti itulah, pluralism bisa memancing kontra agama-agama. Sebab ia paham yang memusuhi agama-agama di dunia. Jika ia ‘menyerang’ doktrin orisinil dan memaksa untuk dilucuti, maka ini bisa menjadi problem baru.

Oleh sebab itu, kandungan ideologi pluralism agama itu sesungguhnya tidak toleran, tidak inklusif tapi eksklusif. Ini menunjukkan inkonsistensi paham pluralisme agama. Ternyata ia intoleran dan bisa cenderung eksklusif. Slogan inklusif dan toleran ternyata hanya manis di mulut tapi, dalam realita sosial tidak semanis di mulut. Ada semangat membara dalam paham ini untuk mendiskualifikasi agama dari doktrin orisinilnya.

Paham ini sudah difatwakan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) tahun 2005 sebabagai paham yang haram. Karena bertentangan dengan tauhid. Islam mengajarkan, siapapun yang ingin selamat haruslah melalui jalur Nabi Muhammad SAW, bukan melalui Kristen, Yahudi, Budha, Hindu dan agama-agama lain. Allah SAW telah memberi satu jalur saja untuk mencapai keselamatan. Bila ada sekelompok membuat jalur lain maka dipastikan itu bukan dari perintah Allah SWT.

Nabi Saw bersabda: “Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorangpun, baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni neraka” (HR. Muslim).

Islam adalah nama suatu agama tertentu yang menjelaskan bagaimana cara berserah diri kepada Tuhan yang benar. Bukan sekadar berserah dengan caranya sendiri. Jika cara berserah dirinya tidak sesuai dengan perintah Allah, seperti menyembah Yesus, menyembah patung, tidak beriman kepada Nabi Muhammad SAW, tidak bisa dikatakan Islam. Ada mekanismenya untuk menjadi Islam, tidak sembarangan.

Dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW: ”Islam adalah bahwasannya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa Ramadlan, dan menunaikan haji ke Baitullah – jika berkemampuan melaksanakannnya-“ (HR. Muslim).

Dalam Al-Quran surat al-Anbiya’: 25 Allah menjelaskan bahwa agama yang tanzil (diturunkan Allah) kepada para nabi dan rasul pada dasarnya adalah satu. Allah tidak pernah menurunkan dua atau tiga agama berbeda. Dan Allah tidak memaksudkan keterputusan total atau penggantian agama-Nya dengan kedatangan nabi-nabi baru.

Agama para nabi itu oleh Al-Quran disebut agama Tauhid, din al-Fitrah, atau din al-Qayyim. Secara esensial nama-nama tersebut menandakan nama Islam. Sebab antara din al-fitrah atau din al-Qayyim dengan agama Islam itu esensinya mengajarkan tiga hal pokok, yaitu mengajak menyembah kepada Allah tanpa menyekutukannya, menegaskan kebenaran yang telah diajarkan oleh para nabi terdahulu, serta menegaskan kebenaran final ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Al-Quran bahkan menyebut Nabi Ibrahim, Nabi Yunus, dan nabi-nabi bani Israel lainnya dengan sebutan Muslim (lihat QS. Yunus 71-72 ,Yunus: 84, Ali Imran: 67, al-Naml: 44, dan Ali Imran: 52).

Imam Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib mengatakan  bahwa golongan Yahudi dan Nasrani telah gagal memenuhi tiga tuntutan tauhid yang disebutkan dalam al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 64. Pertama, tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah dan tidak menuhankan Nabi Isa. Kedua, tidak menyekutukan Allah dan ketiga, tidak mentaati para rahib dan pendeta mereka dalam penghalalan dan pengharaman tanpa disyariatkan oleh Allah Swt. Jadi, tauhid jelas berlawanan dengan paham pluralisme. Tauhid adalah inti risalah semua Nabi dan Rasul.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *