Oleh M. Anwar Djaelani
Inpasonline.com – “KH Ma’ruf Amin Tolak Rencana Pemerintah Pengaturan Isi Khutbah Jumat” (www.an-najah.net 01/12/2014). “Bahaya! Pemerintah Atur Materi Khutbah untuk Bungkam Dai Ungkap Aliran Sesat di Tengah Umat” (www.panjimas.com 29/11/2014). Dua judul berita itu cukup memberikan gambaran bahwa dakwah di negeri ini masih sering diposisikan sebagai musuh. Beralasankah sikap seperti itu?
Tak Paham
Situs www.an-najah.net menyebutkan bahwa kabar rencana pemerintahan Jokowi untuk mengatur isi khutbah Jum’at merebak karena ditulis di salah satu pasal RUU Perlindungan Agama yang saat ini tengah digodok Kementerian Agama. Di RUU tersebut, pengaturan khutbah Jum’at masuk dalam pasal pengaturan materi dakwah di ruang publik. Atas kabar ini, Wakil Ketua Umum MUI Pusat KH Ma’ruf Amin menyatakan bahwa isi khutbah Jum’at tidak perlu diatur, namun cukup dilakukan pembatasan dan pengarahan.
Sementara, situs www.panjimas.com mengutip pendapat Fahmi Salim, tokoh muda Muhammadiyah dan pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI). Fahmi berpendapat, “Pengaturan khutbah ini kan dalam rangka kerukunan antarkelompok-kelompok umat beragama, terutama agama Islam di sini. Tujuan itu supaya para khatib ini tidak bicara soal aliran-aliran sesat, itu yang saya baca. Tidak boleh menyinggung kelompok yang sudah difatwa sesat oleh MUI, itu yang dianggap pemerintah akan merusak kerukunan”. Alhasil, kata Fahmi, justru pengaturan seperti inilah yang berbahaya.
Penolakan kedua tokoh itu atas rencana “Mengatur Khutbah Jum’at” adalah sekadar contoh yang bisa mewakili suara setiap Muslim yang memahami ajaran agamanya dengan baik. Sikap menolak itu bagian dari nahi munkar.
Sejatinya, rencana membatasi gerak dakwah tak terlalu mengagetkan, sebab sebelumnya juga pernah dikeluarkan oleh pihak yang ketika itu –di masa kampanye pemilihan presiden 2104- menjadi pendukung utama dari rezim yang sekarang berkuasa. Simaklah, “PDIP Inteli Masjid se-Indonesia” (www.inilah.com 30/05/2014). Caranya? Dengan “Mengawasi setiap khutbah yang ada”.
Kala itu, aksi tak patut itu ditentang oleh kalangan Islam. Sebagian menyebutnya sebagai wujud permusuhan terhadap (umat) Islam dan sebagian yang lain mengingatkan bahwa hal yang semacam itu merupakan pengulangan dari apa yang pernah terjadi di masa Orde Baru yang represif.
Kini, mari kita merenung. Pertama, bahwa ternyata masih banyak pihak di sekitar kita yang tak paham tentang fungsi dan peran masjid. Masjid itu pusat kegiatan umat Islam dalam melakukan ibadah ritual dan ibadah sosial. Lebih lanjut, masjid –lewat aktivitas dakwah- memiliki peran sebagai tempat pembinaan iman dan takwa umat Islam. Hasilnya, di sepanjang sejarah, kontribusi positif masjid terhadap perbaikan kualitas iman dan takwa masyarakat dapat kita rasakan. Implikasi lebih lanjut, mutu kehidupan masyarakat -dalam arti yang luas- naik. Kedua, bahwa memang benar, aktifitas ‘membela agama Allah’ dengan berdakwah (termasuk lewat masjid) adalah jalan yang tak akan pernah sepi dari berbagai rintangan.
Seperti yang telah disebut di atas, dalam hal pengekangan dakwah, kita lalu ingat masa Orde Baru. Kala itu, kehidupan dakwah di hampir sepanjang usia Orde Baru tidak kondusif. Puncaknya, ada masa ketika muballigh atau khotib yang akan tampil di sebuah acara harus ‘lolos seleksi’ dari pihak penguasa. Naskah ceramah juga harus ‘lolos sensor’.
Jangan Merugi
Beralasankah jika ada pihak yang akan ‘mengatur’ dakwah Islam? Untuk itu, ada baiknya kita mengetahui posisi dakwah dalam Islam. Islam adalah agama dakwah (baca QS [3]: 110, [16]: 125, [41]: 33, dan [47]: 7). Maka, tak mengherankan jika Nabi Muhammad SAW meminta kaum Muslimin untuk aktif berdakwah: “Sampaikanlah (ajaran) dariku walau satu ayat” (HR Bukhari).
Semua umat Islam berkewajiban berdakwah sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing. Misal, mereka yang bisa menulis, menulislah untuk mengajak orang agar selalu berada di Jalan Allah. Mereka yang cakap berbicara di depan publik, jadikanlah kecakapan itu untuk sebesar-besar manfaat dalam meyakinkan orang tentang ketinggian Islam.
Sejarah panjang negeri ini pun tak putus diwarnai oleh dakwah, termasuk di masa-masa sulit perjuangan merebut kemerdekaan. Ketika itu, perjuangan sangat diwarnai oleh ‘produk’ dakwah. Pikiran, tenaga, dan bahkan jiwa para ulama serta santri tak terhitung yang telah disumbangkan. Ajaran Jihad fii Sabilillah (Perang di Jalan Allah) –sebagai hasil dakwah- tak ternilai kontribusinya dalam menggerakkan perjuangan membebaskan negeri ini dari penjajahan.
Dulu, aktivis dakwah (ulama dan santri) memobilisasi rakyat melawan penjajah yang mereka golongkan sebagai kaum kafir (musuh Islam). Hampir semua peperangan melawan penjajah selalu bersumber atau mendapat dukungan penuh dari para aktivis dakwah.
Sekadar menyebut contoh, bacalah sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro. Simaklah kisah pemimpin hebat Panglima Besar Soedirman. Dan, masih dalam konteks ini, semoga kita tak pernah lupa dengan pekik heroik bernuansa jihad dari Bung Tomo di Surabaya pada 10 November 1945: Allahu-Akbar!
Kini -di zaman pembangunan-, para aktivis dakwah berjuang memerangi kebodohan dan kemiskinan lewat berbagai pilihan cara. Para aktivis dakwah tetap setia mendarma-baktikan tenaga dan pikirannya untuk kemajuan negeri ini.
Apapun keadaannya, dakwah harus terus bergerak sebab hal itu akan mendatangkan kemaslahatan bagi semua orang (dan tak hanya khusus orang Islam saja). Sebaliknya, kita akan rugi besar jika ada pihak yang menghalangi-halangi dakwah. Pertama, bagi pihak yang menghalang-halangi dakwah akan memosisikan dirinya sebagai musuh umat Islam. Kedua, secara umum, semua pihak akan rugi karena tak akan mendapatkan manfaat dari gerakan dakwah yang selama ini sudah terbukti selalu mendatangkan kebaikan.
Jadi, bersikap cermat-lah dalam memperlakukan dakwah agar kita tak mengalami sebuah kerugian yang besar. Sungguh, dakwah tak boleh mati atau dimatikan! []
Ed: Ahmad K