Oleh: Kholili Hasib
Inpasonline.com-Pembicaraan tentang konsep tauhid merupakan karakteristik penting dari konsep Tuhan dalam Islamic Worldview. Pembahaman yang benar tentang Tuhan, dibahas dalam ilmu tauhid. Dalam tradisi Islam, konsep tauhid bukan hanya dibicarakan pada tingkat Kalam, tapi juga pada level Tasawuf. Kajiannya berada pada tingkat teologis, bukan antropologis. Metafisika, bukan fisika. Dalam konteks kajian Islamic Worldview, pengkajian ini akan memperlihatkan perbedaan mendasar sekaligus jawabatan atas pemahaman kaum pluralisme agama atau pemahaman masyarakat sekuler pada umumnya.
Dengan konsep Tauhid inilah manusia mengenal Tuhannya dengan benar. Pengenalan dan pengakuan manusia kapada Tuhan dengan benar itulah bisa mempengaruhi perilaku dan pikiran seorang manusia.
Pada aspek Kalam, kajian tauhid dibahas dengan nama konsep wahdaniyyah (pengesaan kepada Allah Swt). Syaikh Ibrahim al-Laqqani menjelaskan yang dimaksud ke-Esa-an Allah itu adalah Esa dalam Dzat-Nya, Sifat-Nya dan Af’al-Nya (Tuhfatul Murid, hal. 79).
Esa dalam Dzat-Nya maksudnya Allah tidak tersusun dari beberapa bagian (juzu’). Tidak ada satu dzat pun yang menyerupai Dzat Allah. Adapun maksud Allah Esa dalam Sifat-Nya adalah tidak ada bagi Allah itu dua sifat yang bersesuaian pada nama dan makna seperti dua qudrat, dua ilm, atau dua iradah. Tidak ada seorangpun yang memiliki sifat yang menyerupai salah satu dari sifat-sifat Allah. Adapun makna Allah Esa dalam Af’al-Nya adalah Allah melaksanakan af’alnya tanpa ada bantuan dari seorang pun.
Dalam Islam, Allah Swt merupakan realitas tertinggi menjadi acuan setiap aktifitas kaum Muslim. Seorang Muslim dinilai kurang sempurna imannya jika dalam satu aspek dia menjadikan Allah Swt sebagai acuan, tapi dalam aspek lain menepikan Allah Swt. Apapun aktivitas, profesi dan kegiatan manusia merupakan penghambaan (ibadah) kepada Allah Swt.
Seseorang yang telah sampai pada ihsan juga selalu memelihara kehadirannya di mana saja berada bersama Allah Swt. Memelihara kehadiran ini disebut syuhud. Dalam Islam ada ibadah yang disebut ghairu mahdhoh. Aktifitas apa saja — yang tidak bertentangan dengan syariat — bisa menjadi ibadah. Maka, setiap Muslim yang melakukan aktifitasnya dengan memelihara kebersamaan bersama Allah Swt disebut ihsan. Syekh Abdul Wahid bin Zaid menjelaskan tentang ihsan: Jika Tuhanku mengawasiku, maka aku tidak mempedulikan selain-Nya. Demikian yang dimaksud kajian tauhid pada level tasawuf.
Seorang saintis yang ihsan misalnya, dia melakukan kerja-kerja sains-nya, atau aktifitas keilmuannya dengan selalu merasa bersama Allah Swt. Ketika ia merasa bersama Allah Swt itulah dia menggunakan pandangan-pandangan keilmuannya terkait dengan-Nya. Dia melihat peristiwa alam bukan sekedar realitas yang terjadi secara ‘otomatis’. Tapi dia meyakini bahwa dalam peristiwa alam itu ada kuasa Allah Swt. Bahwa alam itu merupakan tanda (alamah) akan kewujudan agung Allah Swt.
Dalam mengamalkan akhlak dan adab, seorang Muslim juga harus menjadikan Allah Swt sebagai acuan, sebagai pengamalan ihsan. Termasuk dalam etika pertemanan (al-suhbah). Imam al-Ghazali menyebutnya — pertemanan yang baik — sebagai salah satu rukun agama. Dikatakannya, bahwa agama (al-din) itu sesungguhnya seperti safar (berpergian) menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan salah satu pilar ber-safar adalah berbaik hati ketika berteman (Imam al-Ghazali, al-Arba’in fi Ushul al-Din,84).
Jadi, mengamalkan ihsan berarti menjadikan tauhid sebagai tonggak tertinggi dalam melakukan iktifitas. Jika sesorang dalam hati memiliki keyakinan bahwa Allah Swt mengawasi setiap perbuatan kita dan tiap aktivitas kita ada tanggung jawabnya kepada Allah Swt, maka kita tidak akan meninggalkan Allah Swt dalam berbagai aspek. Di mana pun dan kapanpun pikiran kita harus tetap pikiran yang Islam. Di kampus, kantor, masjid, pasar dan lain-lain Islam dan nilai ketuhanan menjadi dasar penggerak aktivitas.
Maka, dalam pandangan Islam, realitas tertinggi adalah Tuhan, dan menjadi asas paling dasar dalam aktivitas berpikir. Dalam menjalani kehidupan beragama ini, seorang Muslim memiliki pandangan-pandangan terhadap konsep kehidupan, manusia, akhlak, ilmu alam dan lain sebagainya. Jika konsep-konsep yang berpusat dengan konsep Allah ini berfungsi menjadi alat utama memandang sesuatu, maka seorang Muslim memandang realitas ini dalam kesatuan konsep yang berpusat kepada tauhid.
Maka, apapun keahlian ilmu seorang Muslim; fisikawan, ahli kedokteran, insinyur, ahli ekonomi, teolog, ahli falsafah, faqih, dan lain-lain, jika menggunakan tauhid sebagai standarnya, maka ilmu yang terpancar dari akal fikirnya menjadi kekhasan tersendiri sebagai seorang ilmuan Muslim yang hakiki.
Selain itu, bertauhid berkait dengan adab kemanusiaan, begitu pula sebaliknya. Artinya, tauhid Islam tidak berarti menafikan nilai-nilai yang disebut ‘humanis’. Justru tauhid itu menurut Isma’il Raji al-Faruqi mengimplikasikan pada sikap beradab terhadap berbagai aspek, seperti sosial, ekonomi, seni, sains dan lain-lain. Seorang muslim religius adalah pribadi yang peduli kemanusiaan, sains dan ilmu-ilmu lainnya. Sebaliknya, seorang muslim yang ‘humanis’ mestinya bertauhid bukan secular (Isma’il Raji al-Faruqi,terj,Tauhid,terj. hal. 62). Etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan sepenuhnya dibangun di atasnya. Rasulullah SAW bersabda:”Mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya”. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Ini berarti mu’min yang sempurna itu yang ‘humanis’. Abu Bakar Jabir al-Jazairi mengatakan tujuan tauhid itu setelah mengesakan Allah dan tunduk pada syari’at, adalah menjaga kelestarian kesucian dan kebaikan manusia, menjaga kemulyaan dan kedudukan manusia di antara umat-umat lain. Menurut al-Faruqi, Islam tidak mengenal predikat ‘religius-sekular’ karena itu tidak mungkin. Selain itu, orang ber-tauhid harus tunduk pada syari’at-Nya, bukan mengikuti apa kata diri manusia. Al-Jazairi mengatakan tauhid mewajibkan beribadah hanya kapada-Nya, sekaligus meyakini bahwa semua makhluk diurus oleh Allah.
Menurut Prof. Syed M Naquib al-Attas orang baik itu orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab terhadap dirinya kepada Tuhan, sekaligus memahami dan menunaikan keadilan terhadap diri, orang lain dan alam. Konsep kebaikan tidak lepas dari keilahian. Adil terhadap diri, manusia dan alam itu berpondasi kepada Tuhan, bukan kepada rasio belaka. Artinya, orang baik itu adalah ber-tauhid sekaligus toleran (Wan Mohd Nor Wan Daud,Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas,terj. hal. 174). Muslim bertauhid harus muslim manusiawi begitu pula sebaliknya. Maka, humanis dalam Islam didasari oleh ketuhanan dan sebaliknya muslim bertwhīd yang baik mestinya menjadi pribadi yang dikatakan ‘humanis’. Berbeda dengan worldview Barat, bahwa menjadi humanis tidak perlu menjadi religius, seorang ateispun dapat menjadi humanis. Dalam konsep Islam, pribadi seperti ini bukan orang baik.
Bagi Prof. al-Attas, kebebasan sesungguhnya adalah bertindak sesuai dengan yang dituntut oleh hakikat sebenarnya dari dirinya. Yaitu kembali kembali kepada kecenderungan alami, sebagai hamba yang khudu’ (patuh). Khudu’ ini adalah konsekuensi tauhid. Menurut Imam al-Thahawi, tujuan tawhīd adalah menjalankan keimanan dengan hukum-hukum syari’at (Abdul Ghaniy al-Ganimiy al-Maidaniy al-Hanafi al-Dimasyqi,Syarh al-‘Aqidah al-Tahāwiyah, hal. 47).
Dalam pandangan Islam, kebebasan manusia itu kebebasan diri ruhani, yaitu pengembalian diri kepada hakikat yang sebenarnya yang pernah mengikat janji kepada Allah SWT. Kebebasan adalah bentuk penghambaan yang murni kepada Allah SWT secara sempurna. (Syed Muhammad Naquib al-Attas,Risalah Untuk Kaum Muslimin, hal. 82, dan Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, hal.63-64).
Dengan demikian, konsep tawhīd dalam Islam itu adalah manusiawi, tidak ’membunuh’ manusia dalam keterpenjaraan, tidak pula ’mematikan’ Tuhan. Konsep tawhid mengajarkan doktrin-doktrin memperlakukan secara baik kepada manusia, seperti disebut di atas. Menjadi manusia humanis tidak perlu dengan mereduksi konsep ketuhanan. Adapun kepercayaan bahwa Tuhan telah ‘mati’, mereduksi sifat ketuhanan. Secara otomatis konsep sifat Hayah, Qudrah dan Iradah Allah SWT dikosongkan. Padahal para ulama’ sepakat bahwa segala kejadian di alam tidak lepas dari sifat tersebut. Fakhruddin al-Razi menegaskan, ilmu Allah itu menyangkut Kulliyyat dan Juz’iyyat, tidak hanya Kulliyyat (Fakhruddin al-Razi, Lubabul Isyarat wa Tanbihit Tahqiq Dr. Ahmad Hijazi al-Saqa, hal. 6). Syekh Nawawī al-Bantanī menafsirkan kekuasaan-Nya yang juz’iyyāt itu maksudnya, bahwa Allah SWT merespon doa dan permintaan hamba-Nya setiap harinya dan setiap saatnya Dia memberi ampunan, memberi jalan kemudaan setiap kesulitan manusia (Muhammad bin ‘Umar Nawawi al-Jawi,Marah Labid Likasyfi Ma’na al-Qur’ān al-Majīd Jilid II,hal. 477).
Pemahaman seperti ini menafikan pemikiran kesatuan agama-agama atau kesatuan tuhan-tuhan yang dipromosikan dengan paham bernama pluralism. Imam Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib mengatakan bahwa golongan Yahudi dan Nasrani telah gagal memenuhi tiga tuntutan tauhid yang disebutkan dalam al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 64. Pertama, tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah dan tidak menuhankan Nabi Isa. Kedua, tidak menyekutukan Allah dan ketiga, tidak mentaati para rahib dan pendeta mereka dalam penghalalan dan pengharaman tanpa disyariatkan oleh Allah Swt. Jadi, tauhid jelas berlawanan dengan paham pluralisme. Tauhid adalah inti risalah semua Nabi dan Rasul.
Karena itu, paradigma paham pluralisme adalah rancu. Bagaimana mungkin Islam yang mempercayai Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan disejajarkan keimanannya dengan Kristen yang meyakini tiga Tuhan. Dan di saat yang sama Islam mengkafirkan orang yang meyakini Tuhan itu tiga (QS al-Maidah 72 dan 73). Apakah dapat disamakan Kristen yang menyembah Yesus sebagai Tuhan dengan Islam yang mengkafirkan orang yang menuhankan Yesus?