Beberapa waktu terakhir, laporan yang masuk sudah bertumpuk-tumpuk di meja kerjanya. Ini terlihat dari berita tewasnya orang nomor dua di Alqaidah dalam serangan CIA, akhir bulan lalu. Kemudian anggota senior Alqaidah juga dibunuh pada Juni lalu, dan puncaknya saat operasi CIA di Abbottabad yang menewaskan Osamah.
“Hidup saya hanya untuk melumpuhkan Alqaidah,” kata dia lagi. Vickers bertugas di bawah Menhan AS Leon E Panetta sebagai staf khusus. Panetta adalah mantan direktur CIA, tempat Vickers bertugas sebelumnya.
Selain melumpuhkan Alqaidah, Vickers juga bertanggung jawab atas pergerakan Taliban Afganistan. Amerika Serikat, yang mempersenjatai pejuang mujahidin Afganistan saat negeri mereka diserbu Uni Sovyet. Sebuah tulah bagi AS bertahun-tahun kemudian.
Sumber di pemerintahan mengatakan, peran Vickers sangat sentral dalam operasi memburu teroris. Ia yang meyakinkan mantan Menhan Robert M Gates untuk terus fokus memburu Osamah. Vickers juga jadi dalang operasi penyamaran AS di Suriah dan Pakistan, yang menewaskan puluhan anggota Alqaidah. Vickers juga yang berperan penting dalam operasi khusus Alqaidah di Irak dan Afganistan yang dipimpin oleh Panglima AS Jenderal Stanley A McChrystal. “Kami punya seorang predator dan kami membangun armada perang di sekitar dia,” kata McChrystal yang kini sudah pensiun, saat ditanya soal peran Vickers. “Dia benar-benar sosok yang penting.”
Sosok Michael G Vickers sebagai intelejen sebagai intelejen yang menjadi think tank ‘pembunuh Osamah’ pernah difilmkan. Pada tahun 2007, Hollywood merilis film charlie Wilson’s War yang dibintangi Tom Hanks dan Julia Roberts.
Di film itu, Tom Hanks yang memerankan Charlie Wilson, anggota Kongres AS bekerja sama dengan Julia Roberts untuk meminta dana pada pemerintah AS yang akan mereka gunakan untuk mempersenjatai warga Afganistan dari serangan Uni Sovyet.
Lobi mereka berhasil, bahkan mereka bisa mendatangkan Presiden Pakistan Ziaul Haq ke Amerika untuk mau menampung para pejuang Afganistan. Kongres AS setuju mengucurkan dana ratusan juta dolar AS untuk mempersenjatai Mujahidin.
Nah, untuk mengetahui kondisi di lapangan, Charlie Wilson berkerja sama dengan seorang agen CIA. Agen inilah, Michael G Vickers, yang saat itu masuk dalam seksi Afganistan-Pakistan CIA. Vickers digambarkan jago bermain catur dan eksentrik, namun jenius merancang operasi intelejen.
Selama masa pemerintahan Presiden Ronald Reagan, Vickers menjadi dalang bagi pasokan senjata ke Afganistan. Senjata – yang dalam film itu dibeli Israel – mengalir bagi pejuang Afganistan pimpinan Gulbuddin Hekmatyar dan Jalaluddin Haqqani. “Ya, kebanyakan kolega saya waktu itu kini sudah beralih ke sisi gelap,” kata Vickers. “Ketika itu (perang Afganistan-Sovyet) kami (CIA) sadar bahwa mereka (Mujahidin) bukanlah sekutu yang sempurna. Tapi Anda harus bersepakat dengan ‘setan’ untuk mengalahkan ‘setan’ lainnya,” tegas dia.
Bagi Vickers, setan saat ini adalah Alqaidah. Dan Vickers lebih berhati-hati ketimbang Leo Panetta untuk menyusun langkah penghabisan Alqaidah. Ia memperkirakan, masih ada empat tokoh penting Alqaidah yang masih hidup di Pakistan. Dan masih ada 10-20 tokoh lainnya di Pakistan, Yaman, dan Somalia. Bagaimana kalau AS berhasil membunuh semua anggota Alqaidah? Vickers mengaku tak bisa ‘membunuh’ organisasi yang awalnya bertujuan membentu mujahidin Pakistan itu. “Anda tak bisa membunuh ide tentang Alqaidah. Tapi Anda bisa melumpuhkan kemampuan terorisme mereka. Jadi ya, sangat mungkin menghancurkan Alqaidah tapi butuh waktu lama,” sambung Vickers panjang lebar.
Bagaimana sosok Vickers dalam keseharian? Lazimnya seorang intelejen, sosok Michael G Vickers sangat berbeda jauh dari gambaran agen-agen rahasia di film Hollywood. Vickers malah lebih mirip dengan seorang pengacara yang rapi, dengan jas hitam, kemeja putih, dan kacamata; bukan seseorang yang mengerti tentang rudal Stinger atau senjata AK-47.
Adik Vickers, Richard, yang bekerja sebagai pegawai rumah sakit, mengatakan, “Tiap kali saya mengenalkan kakak saya kepada teman-teman, mereka selalu mengatakan dia sangat sopan. Mereka kira dia kerja di perpustakaan.”
Dalam buku Charlie Wilson’s War, yang diangkat menjadi film oleh Hollywood, Vickers digambarkan sebagai sosok agen intelejen romantis yang doyan film-film James Bond.
Vickers bersekolah di Hollywood High School. Dia tadinya bermimpi menjadi atlet. Namun gagal dan banting setir menjadi anggota pasukan khusus Baret Hijau pada 1973 di usia 19 tahun. “Saat itu menjadi Baret Hijau kedengarannya sangat keren,” katanya.
Selama 10 tahun berikutnya, Vickers belajar menjadi agen intelejen yang mumpuni. Ia bisa terjun payung dengan membawa senjata nuklir. Belajar mengenai persenjataan Uni Sovyet, dan ikut serta dalam pembebasan sandera di Honduras.
Pada 1983, Vickers bergabung dengan CIA unit paramiliter. Dia dikirim ke Lebanon untuk mengumpulkan data intelejen terkait dengan pemboman barak militer marinir AS di Beirut pada 1983. Tak lama kemudian, Vickers mulai berurusan dengan hal ihwal Mujahidin di Afganistan.
Vickers hengkang dari CIA pada 1986. Selama 20 tahun setelah itu ia sibuk dalam sejumlah lembaga penelitian dan studi di universitas (Vickers lulus master dari Wharton School dan doktoral dari John Hopkins School of Advanced International Studies).
Presiden George W Bush terkesan dengan keahlian Vickers saat ia diundang untuk rapat terkait di Irak. Vickers kemudian masuk ke dalam tim Menhan Robert Gates dan berlanjut ke pemerintahan Presiden Obama.
“Vickers adalah satu-satunya orang yang mengerti soal bisnis (Alqaidah) ini,” kata Wakil Direktur CIA Michael J Morell saat penyerbuan ke rumah Osamah bin Ladin, Mei lalu.
Jauh hari sebelum penyerbuan ke markas Osamah di Abbottabad, Vickers sudah mengurusi tetek bengek laporan intelejen dari Pakistan. Vickers yang mengusulkan agar AS mengirimkan tim Navy Seal ke rumah Osamah. Sementara banyak petinggi Departemen Pertahanan dan Pentagon AS keberatan dengan rencananya itu karena terlalu beresiko.
Kini, 10 tahun setelah peristiwa 9/11 yang menghancurkan menara kembar World Trade Center, Vickers masih terus berjibaku dengan Alqaidah. Ia disebut-sebut bakal jadi direktur CIA di masa depan. Namun ia tak mengendorkan pengintaiannya atas Alqaidah. “Mereka masih sangat berbahaya,” katanya. (newyorktimes/republika/Kartika Pemilia)