PTAIN Menghadapi Era Globalisasi

Perguruan Tinggi Islam Negeri hendaknya kembali ke khitah sebagai lembaga yang fokus mendalami agama. Yang terjadi saat ini, beberapa PTAIN justru kurang fokus dalam memperkuat pendidikan berbasis agama. Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor, Edi Suandi Hamid melihat ada kecenderungan di kalangan PTAIN, terutama setelah beralih status menjadi universitas, membuka program studi baru untuk mengikuti tren dan kebutuhan pasar. “Jadi gado-gado, nggak jelas,” ujarnya saat diwawancari harian Republika (1/8).

Kondisi tersebut, menurut Edi, berdampak pada output yang dihasilkan. Dari sisi biaya, pengembangan PTAIN menjadi universitas memakan biaya tinggi. Apalagi, jika belum didukung sumber daya manusia pengajar yang memadai. Edi menilai, perlu kebijakan yang arif terkait reposisi PTAI. Bagi PTAI yang terlanur beralih ke universitas, tak perlu dipersoalkan lagi. Namun ke depan, pemerintah perlu memperketat dan membatasi status PTAIN menjadi universitas.

Peralihan status PTAIN ini merupakan efek dari tuntutan globalisasi. Sistem link and match kini menjadi acuan bagi PTAIN. “Hanya” mendalami ilmu agama saja dianggap tidak cukup menjadi bekal hidup di masa sekarang dan masa yang akan datang. Akan tetapi, menurut Rektor IAIN Surakarta, Imam Sukardi, ilmu agama bisa menjadi solusi bagi permalasalahan yang terjadi di masyarakat, di era globalisasi sekalipun. “Agar tetap bisa diminati masyarakat, para pakar ilmu keislaman harus memperkuat epistemologi ilmu-ilmu tersebut”, jelasnya saat diwawancarai Republika (31/7).

Agar bisa menjadi alternatif solusi terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan, ilmu-ilmu agama tidak hanya berkutat pada hal-hal yang bersifat teoretis, tetapi juga bagaimana persoalan-persoalan dalam kehidupan bisa mendapatkan jawaban dari ilmu-ilmu tersebut. Dengan demikian, ilmu-ilmu keislaman jangan dibedakan dengan ilmu-ilmu umum. Keduanya harus integral sehingga Islam bisa berkembang dan menguasai peradaban dunia. Namun, sebaliknya, akan menjadi sempit jika mengenal dan mempertajam dikotomi ilmu-ilmu tersebut. “Dengan memadukan keduanya, masyarakat akan semakin berminat dan ilmu keislaman akan mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan yang lainnya“, tandas Imam Sukardi. (Kartika)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *