Oleh : Yulia Eka Putrie*
inpasonline.com – Konsep tentang kebenaran dalam alam pikir manusia mungkin telah mengalami berbagai perubahan, mulai dari masa Yunani Kuno dengan sophismenya, hingga masa Post-Modern dengan ideologi relativismenya. Sepanjang sejarah, para filosof, saintis, seniman, budayawan, dan siapa saja yang disebut manusia, selalu mencoba menemukan dan merumuskan kebenaran dengan cara dan jalannya masing-masing. Hasilnya, betapapun terkadang jauh dari sesuatu yang disebut benar, ternyata mampu mengubah dunia menjadi dunia seperti yang kita miliki hari ini. Dengan berbagai ilmu pengetahuan, filsafat, seni, dan budaya yang terus berkembang, setidaknya kita tahu, betapa berharganya sesuatu yang bernama kebenaran itu.
Kebenaran juga unik karena disadari ataupun tidak, bahkan seorang yang tak percaya akan keberadaan Tuhan pun masih percaya akan sebuah kebenaran. Seorang atheis, betapapun ia membatasi konsep kebenaran di dalam dirinya hanya pada yang terindera, tetap percaya bahwa keyakinannya tentang ketiadaan Tuhan itu benar adanya. Ia pun tetap percaya bahwa ada kebenaran universal yang menjadikan dunia mampu bertahan dari kehancuran hingga detik ini. Jika tak ada kebenaran yang dijaga Bersama oleh umat manusia, maka dunia akan hancur oleh perbuatan-perbuatan segelintir manusia yang keliru dan merusak. Hal ini dikarenakan, setiap manusia secara fitrah senang menemukan kebenaran, dan tidak menyukai terjadinya sesuatu yang menurutnya salah atau keliru. Bahkan pencuri pun tak senang jika rumahnya kecurian, dan pembunuh pun tak senang jika keluarganya dibunuh orang lain. Ada nilai-nilai kebenaran universal yang menjaga dunia tetap bertahan di tengah berbagai upaya merusaknya.
Lebih jauh, kebenaran juga istimewa karena ia memiliki kekuatan yang tak sanggup ditolak oleh siapa pun. Kaum sophis dan skeptik yang pada titik ekstrem menolak secara mutlak keberadaan konsep kebenaran pun, ternyata tak dapat menolak dan tak terasa telah meyakini kebenaran konsep pemikiran mereka sendiri.
Mereka setidaknya percaya bahwa mereka mampu menyampaikan maksud mereka dengan benar lewat kata-kata, dan mereka percaya orang lain memahami dengan benar kata-kata yang mereka sampaikan. Jika tidak, untuk apa mereka berkata mereka tidak tahu. Saat seorang sophis berkata, “saya tidak tahu” atas semua pertanyaan pun, maka setidaknya ia meyakini kebenaran tentang satu hal, yaitu bahwa ia benar-benar tidak tahu. Ia meragukan kebenaran, namun membenarkan keraguan. Sesuatu yang kontradiktif dalam logika kaum shopis.
Manusia bisa saja ragu akan banyak hal, tetapi ia tak bisa ragu akan adanya kebenaran itu sendiri. Tanpa keyakinan akan adanya kebenaran, manusia mungkin akan mati. Bukan mati dalam artian jiwa yang kekal meninggalkan tubuh yang fana, tapi jiwa itu sendiri yang mati walaupun masih berada di dalam tubuh yang hidup dan bernyawa. Dengan jiwa yang mati, manusia tak mampu membedakan yang benar dan yang salah. Ia tak akan mencapai kualitas kemanusiaannya jika ia tak meyakini adanya sebuah kebenaran, dan hanya akan menjalani hidup layaknya makhluk bernyawa lainnya.
Para saintis akan berhenti dari aktivitas mencari dan menemukan banyak hal, jika mereka tidak percaya bahwa pengetahuan dan kebenaran dapat diraih. Tak ada gunanya mencari ilmu pengetahuan jika tidak bertujuan menemukan kebenaran. Sia-sialah mencari sesuatu yang kita yakin akan ketiadaannya. Saintis setidaknya tahu bahwa di tengah berbagai keraguannya, ada kebenaran yang dapat dicapainya, walaupun ia tidak tahu bagaimana bentuk kebenaran yang akan ditemukannya kelak. Bahkan, para saintis menerapkan persyaratan-persyaratan validitas dan reliabilitas yang sangat ketat untuk mampu membedakan apa yang benar (what’s right) dari apa yang ‘rasanya’ benar (what feels right).
Perkembangan Konsep Kebenaran dalam Pikiran Manusia
Dalam sejarah panjang pemikiran manusia, adalah menarik untuk mencermati perkembangan berbagai paham atau aliran pemikiran yang meragukan kebenaran. Kelompok pertama kita kenal sebagai kelompok dengan paham sofisme yang telah berkembang sejak zaman Yunani Kuno dan dikenal dengan ungkapan “saya tidak tahu”-nya. Lalu, kita juga mengenal perkembangannya dalam bentuk skeptisisme yang meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Di masa Post- Modern, kita mengenal paham relativisme yang merelatifkan semua kebenaran. Pada titik ekstrem tertentu, terdapat pula aliran pemikiran nesciam yang sampai pada keyakinan bahwa kebenaran tidak mungkin ditemukan.
Di zamannya, Plato dan Aristoteles menolak pemikiran kaum sofisme. Mereka percaya bahwa ada kebenaran yang bersifat universal. Di masa kini, ketika segalanya dipandang dalam kerangka perubahan dan perkembangan, tampaknya kebenaran pun tidak luput dari kerangka pemikiran ini. Kebenaran lantas dipandang tak pernah final dan tak pernah mutlak. Manusia pun semakin ragu terhadap ada tidaknya kebenaran yang melintasi batas ruang dan waktu, tak terikat oleh zaman dan tempat. Padahal ada postulat-postulat yang terus berlaku sepanjang masa yang terkadang luput dari kesadaran manusia itu sendiri. Kenyataan bahwa setiap yang bernyawa akan mati juga sejak zaman batu hingga zaman sekarang masih tetap, tak berubah mengikuti tempat dan waktu.
Sains yang telah telanjur membatasi sumber kebenaran hanya pada diri manusia itu sendiri, yaitu indera dan rasio, juga telah mengakibatkan pemahaman tentang kebenaran itu sendiri menjadi semata-mata tentatif dan putatif. Kebenaran di dalam sains menjadi terbatas, karena alat untuk mencapai kebenarannya dibatasi hanya berdasarkan indera dan rasio. Kebenaran saintifik yang tentatif ini terus bergerak dan berubah, bisa jadi bergerak mendekati, atau malah menjauhi kebenaran mutlak. Benar jika dikatakan sains yang deterministik atas sumber ilmu itu memiliki nilai kebenaran yang relatif. Namun, menjadi tidak tepat jika disimpulkan bahwa seluruh kebenaran yang ada di dunia ini sama relatifnya dengan kebenaran saintifik. Di luar sains, ada kebenaran-kebenaran lain yang bisa jadi justru lebih universal dan timeless dibandingkan kebenaran-kebenaran saintifik.
Kebenaran di dalam sains yang menjadikan manusia sebagai satu-satunya standar kebenaran, ternyata juga berimbas pada dituntutnya keterbukaan di dalam setiap pandangan mengenai kebenaran. Tidak ada satu pihak pun yang berhak menyalahkan pihak lain, karena masing-masing dianggap memiliki sudut pandangnya sendiri-sendiri. Padahal, tidak semua sudut pandang dapat sama diandalkannya dalam meraih kebenaran.
Sudut pandang bisa jadi berpihak pada kebenaran, namun bisa juga berpihak pada hal lain di luar kebenaran itu sendiri, misalnya rasa malu mengakui kesalahan dan gengsi di kalangan saintis, kesetiaan pada mazhab sains yang telah mengakar, kepentingan-kepentingan politik tertentu, dan hal-hal lain di luar kebenaran itu sendiri. Contoh yang paling mudah terlihat saat ini adalah adanya kubu-kubu yang bertolak belakang memandang permasalahan global warming. Saintis yang berpandangan dampak pemanasan global telah nampak dan merusak bumi bertentangan secara diametral dengan saintis yang atas pesanan pihak-pihak tertentu menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi tidaklah sebesar yang dihembuskan pihak lawan. Masing-masing membawa bukti-bukti yang dikumpulkan untuk memperkuat pandangannya, bahkan pada tahap yang ekstrem dapat terjadi, the data are made to fit the theory.
Dengan demikian, tentu saja tidak semua sudut pandang dapat dianggap sama benarnya dan sama berhaknya menyuarakan kebenaran menurut versi masing-masing. Seperti dijelaskan oleh Gardner di dalam artikelnya “Gifted Worldmakers”, hanya versi-versi pandangan yang lebih mampu melukiskan kompleksitas realitas, lebih mampu menangkap aspek-aspek signifikan, lebih representatif, dan dapat dipertanggungjawabkanlah yang patut diterima sebagai kebenaran.
Pernyataan “there exists no absolute truth” atau “semua kebenaran itu relatif”, yang sering digunakan untuk menjustifikasi paham relativisme kebenaran ini pun terasa asing di dalam logika yang sehat, karena mengandung paradoks atau self-contradiction yang cukup jelas. Bagaimana mungkin seseorang bisa dengan sangat absolut mengatakan tidak ada kebenaran absolut, dan bagaimana mungkin seseorang bisa dengan sangat absolut mengatakan semua kebenaran itu relatif. Bukankah kata “tidak ada” dan “semua” itu mencerminkan nilai kebenaran yang absolut. Lagipula, jika benar semua kebenaran itu relatif, maka nilai kebenaran dari kalimat “semua kebenaran itu relatif” tersebut pun menjadi sama relatifnya dengan kebenaran-kebenaran lainnya.
Artinya, kalimat itu juga harus terbuka terhadap gugatan, pertanyaan, dan anggapan bahwa ia mengandung kekeliruan baik dari segi logika, bahasa, maupun dari segi pembuktian saintifiknya. Berdasarkan hukum falsifikasi pun, kata “semua” dan “tidak ada” ternyata dapat dengan mudah dipatahkan cukup dengan menunjukkan satu saja bukti yang bertentangan dengan pernyataan tersebut. Pernyataan “semua kebenaran itu relatif” tampaknya mencoba merelatifkan semua kebenaran, namun memutlakkan nilai kebenaran dari pernyataan itu sendiri. Jika demikian, kalimat yang lebih logis adalah “semua kebenaran itu relatif, kecuali kebenaran dari pernyataan ini.” Atau pernyataan yang lebih rendah hati dapat pula digunakan, misalnya “semua kebenaran di dalam sains bersifat relatif, namun bisa jadi ada kebenaran mutlak di luar keterbatasan jangkauan sains itu sendiri.”
Selanjutnya, pernyataan bahwa semua kebenaran itu relatif tampaknya juga ditujukan agar tidak ada pihak-pihak yang disalahkan dan pertikaian mengenai benar dan salah tidak terjadi di dunia ini. Pertanyaannya adalah, apakah pertikaian atau peperangan di dunia ini melulu terjadi akibat perebutan antara benar dan salah, ataukah disebabkan hawa nafsu menguasai, memiliki, menduduki, yang dibalut dengan pembenaran-pembenaran dan penyalahan-penyalahan sebagai alat legitimasi. Jadi, kesalahannya bukan terletak pada konsep benar dan salah itu sendiri, tetapi karena penyalahgunaan konsep benar dan salah oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab itu. Jika konsep benar dan salah dikaburkan dengan “semua benar tidak ada yang salah” maka pandangan manusia tentang kebenaran itu sendiri akan semakin absurd. Ibarat dua sisi mata uang, konsep benar dan konsep salah adalah dua konsep yang menyatu dan saling bergantung satu sama lain. Bagaimana mungkin sesuatu dinyatakan benar jika ia tak dapat dibedakan dari yang salah. Bagaimana mungkin dua hal yang bertentangan dinyatakan sama-sama benar dan tak ada yang salah. Apalah arti kebenaran jika tidak dapat menghindarkan manusia dari kesalahan, tak membuat manusia mampu menemukan cahaya di dalam kegelapan.
Apa itu Kebenaran?
Pada akhirnya, yang paling masuk akal menurut saya pribadi adalah bahwa di dunia ini ada kebenaran mutlak, dan ada kebenaran relatif. Manusia bisa mengetahui kebenaran mutlak, karena manusia dibekali tidak hanya indera dan rasio, namun juga akal budi, hati nurani, intuisi, iman, dan rasa yang menjadi satu entitas jiwa yang utuh di dalam diri manusia. Manusia bisa mengetahui bahwa dirinya manusia, dan mampu membedakan dirinya dari kuda, ayam, pohon, air, dan sebagainya pun dapat disebut sebagai kebenaran mutlak. Sebenarnya banyak kebenaran- kebenaran sederhana dan mendasar yang bernilai mutlak yang kita ketahui, dan mungkin saja ada jauh lebih banyak lagi kebenaran-kebenaran mutlak yang tidak kita ketahui di dunia ini.
Di dalam Islam terdapat dua istilah yang berbeda untuk kebenaran mutlak yang berasal dari wahyu (al- haqq) dan kebenaran relatif yang berasal dari pemikiran dan interpretasi (al-shawwab). Perbedaan- perbedaan pendapat di dalam ranah al-shawwab, sebagai contoh perbedaan empat mazhab fikih, diakui dan diterima keberadaannya setelah melewati uji validitas berdasarkan sumber-sumber hukum utama. Sementara itu, penyimpangan yang mendasar terhadap al-haqq, seperti meniadakan Tuhan, dianggap batil dan keliru. Inilah tingkatan kebenaran. Dalam Islam, kebenaran itu bersumber dari Allah melalui wahyu-Nya. Islam menafikan kebenaran relatif.
Di dunia sains, kebenaran seluruhnya tampak bernilai relatif karena sains telah membatasi diri hanya menerima sumber kebenaran dari indera dan rasio yang juga memiliki keterbatasan- keterbatasan. Wajar jika kemudian perubahan yang terjadi secara terus-menerus membuat manusia berpikir bahwa kebenaran di dalam sains pun terus berubah seiring waktu. Hanya saja, karakteristik kebenaran sains yang relatif ini tidak lantas berlaku untuk kebenaran-kebenaran di luar ranah sains yang diperoleh dari sumber-sumber di luar indera dan rasio. Sains perlu berhati-hati untuk tidak melakukan over-generalisasi dan pemastian-pemastian di luar batas kemampuannya. Lebih jauh, karakteristik relativitas kebenaran sains ini juga bukan menjadi legitimasi untuk memaksakan kepada manusia untuk menerima semua pandangan sebagai kebenaran, karena seperti telah disebutkan sebelumnya, hanya pernyataan-pernyataan yang lebih mampu melukiskan kompleksitas realitas, lebih mampu menangkap aspek-aspek signifikan, lebih representatif, dan dapat dipertanggungjawabkanlah yang patut diterima sebagai kebenaran di dalam sains.
Demikianlah paparan dari proses refleksi dan renungan penulis setelah mengikuti perkuliahan Filsafat Ilmu Pengetahuan, semoga keterbatasan penulis dalam memandang hakikat ilmu dan kebenaran dapat dimaklumi akibat terbatasnya pengetahuan dan pemahaman penulis.
Penulis adalah Pengajar Fakultas Sainstek UIN Malang