Menjadi Kekasih Allah, Maukah?

Cermati, Teladani!

Islam mengajarkan: Maka, ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan” (QS Al-Hasyr [59]: 2). Intinya, dari sejarah umat (terdahulu), kita diminta untuk mengambil i’tibar/pelajaran.

Maka, di antara tokoh-tokoh besar dalam sejarah kemanusiaan dan keimanan, bertemulah kita dengan nama Ibrahim a.s.. Ia adalah tokoh, yang Allah meminta kita untuk melakukan studi atas seluruh sisi kehidupannya. “Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim (QS Asy-Syu’araa’ [26]: 69).

Ibrahim adalah orang ‘besar’ yang lulus dari berbagai ujian. “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia’.  Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku’.  Allah berfirman: ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim’.”  (QS Al-Baqarah [2]: 124).

Ibrahim a.s. diuji ketika berusaha ‘menemukan’ Tuhan. Tuhankah bintang? Bulan? Matahari? Atau, Tuhan itu haruslah sesuatu yang tak tergantung/dipengaruhi oleh sesuatu yang lain? (baca QS Al-An’aam [6]: 74-83).

Ibrahim diuji ketika berani menentang penduduk negerinya (termasuk bapaknya, juga Namrudz rajanya) sendiri, yang menyembah berhala (baca QS Asy-Syu’araa’ [26]: 69-104, QS Maryam [19]: 41-50,  QS Al-Baqarah [2]: 258, dan QS Al-Anbiyaa’ [21]: 51-70).

Ibrahim a.s. diuji ketika harus memilih: Apakah lebih menyukai kampung halaman sendiri atau hijrah ke tempat lain, karena dakwahnya selama ini tak mendapatkan sambutan yang semestinya (QS Al-‘Ankabuut [29]: 26).

Ibrahim a.s. diuji ketika sampai usia 80 tahun, belum berputra. Dan kemudian, ketika pada akhirnya berputra, Allah masih juga mengujinya: “Korbankan Ismail, anak terkasihmu, wahai Ibrahim”  (QS Ash-Shaaffaat [37]: 100-111).

Berat ringannya ujian berbanding lurus dengan derajat iman seseorang. Semakin tinggi iman seseorang, maka ujian kepadanya semakin berat. “Manusia yang paling berat ditimpa cobaan ialah Nabi-Nabi, kemudian orang-orang shalih, sesudah itu menurut perbandingan demi perbandingan. Dicobai seseorang menurut ukuran keagamaannya. Bertambah tebal agamanya, bertambah hebat pula cobaannya (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ad-Darimi).

Mari lihat Ibrahim a.s. lebih seksama. Untuk itu, kita pilih ‘peristiwa’ pengorbanan Ismail. Inti dari ‘peristiwa’ itu adalah, pertama, cobaan itu dahsyat. Lama menunggu anak, dan setelah anak benar-benar lahir, kemudian tumbuh menjelang dewasa, menjadi kebanggaan, datang perintah Allah: “Korbankan!” 

Kedua, Ibrahim a.s. (dan Ismail) lulus ujian, yang diperolehnya secara tidak mudah. Pada diri Ibrahim a.s. sempat ada pertarungan batin: Cinta Allah atau sayang anak.

Di saat kritis, seperti biasa, syaitan memberikan rasionalisasi ke Ibrahim a.s.. Bahwa, “Yang datang lewat mimpi itu bukan wahyu Allah. Bagaimana mungkin, Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang ‘sebegitu jauh’ dalam memberi perintah,” demikian goda syaitan.

Ibrahim a.s. menggeleng. Tidak! Itu wahyu Allah. Untuk itu, hanya ada satu pilihan: “Kami dengar, dan  kami taat,  yaa Allah!”   

Ibrahim a.s. ingin sempurna dalam beriman. Ibrahim a.s. sadar, bahwa kehidupan di dunia ini, di samping bersifat sementara, juga sekadar permainan yang menipu jika tak hati-hati.

Ibrahim a.s. orang beriman. Ia tak ingin dihinakan Allah pada hari kiamat, hanya karena lebih mendahulukan kesenangan dunia ketimbang Allah. “(Ibrahim berdo’a): Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak laki-laki tidak berguna’.” (QS Asy-Syu’araa’ [26]: 87-88).

Ibrahim a.s. orang beriman. Ia ingin merasakan kebahagiaan hakiki kelak di akhirat. Untuk itu jika perlu menunda kesenangan di dunia, andai itu membuat kita terlena dari mengingat Allah. “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah  diperbuatnya untuk  hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui  apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Hasyr [59]: 18).

Ibrahim a.s. orang beriman. Ia tahu bahwa kebahagiaan hakiki hanya di sisi Allah, berupa tinggal abadi di surga-Nya dan itu tak akan pernah bisa diperoleh secara gratis. Itu harus diperjungkan. Itu memerlukan jihad. Dan, jihad memerlukan kesabaran. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar” (QS Ali-‘Imraan [3]: 142).

Ibrahim a.s. orang beriman. Puncak keimanan adalah berserah diri secara penuh kepada Allah. Apapun persoalan hidup kita, larilah kepada Allah dan serahkan diri kepada-Nya. “Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS Al-Baqarah [2]: 112).

Dan, inilah balasan yang lain bagi Ibrahim a.s.. Sebuah gelar: ‘Kekasih Allah’.Dan, Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya”  (QS An-Nisaa’ [4]: 125). Duh, betapa sangat indahnya dan betapa sangat berbahagianya! Sekadar menjadi kekasih dari sesama manusia saja, kita  sudah berbahagia. Apalagi jika berkesempatan menjadi kekasih Allah, Pemilik Langit dan Bumi.

Siapa Mau?

Inginkah kita menjadi Kekasih Allah sebagaimana Ibrahim a.s.? Bagaimana caranya? Menjadilah Ibrahim! Konkritnya bagaimana?  Berserah diri hanya kepada Allah dan itu kita buktikan dengan mengamalkan segala perintah-Nya dan meninggalkan segenap larangan-Nya. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *