Oleh : M. Anwar Djaelani*
Alhamdulillah, kita dipertemukan lagi dengan Ramadhan. Kali ini, adalah Ramadhan kedua yang kita laksanakan di masa pandemi Covid-19. Tentu, kecuali tetap prihatin, kita harus tetap berseri-seri dalam menyambut dan menjalani puasa. Hal ini karena sunnah Rasulullah Saw memang demikian. Selanjutnya, ambil hikmah berpuasa di masa pandemi.
Berat, Berat!
Puasa Ramadhan adalah wajib bagi kaum beriman, sesuai titah Allah ini: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS Al-Baqarah [2]: 183).
Banyak pelajaran yang akan didapat dari ibadah puasa. Sekadar menyebut sebagian di antaranya, puasa melatih kita untuk bisa mengendalikan hawa-nafsu. Puasa mengajarkan kita untuk sigap membantu sesama yang kekurangan sebab kita merasakan sendiri betapa tak nyamannya jika sedang lapar, misalnya.
Bagaimana situasi sosial-kemasyarakatan di dua Ramadhan terakhir? Bacalah setidaknya dua berita ini: Pertama, PJJ di Masa Pandemi, KPAI: Beberapa Siswa Terpaksa Dirawat di Rumah Sakit Jiwa (www.sindonews.com 24/01/2021). Kedua, Dampak Covid-19: 2,7 juta orang masuk kategori miskin selama pandemi, pemulihan ekonomi ‘butuh waktu lama’ (www.bbc.com 17/02/2021).
Pada berita pertama di atas, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listiyarti banyak memberikan catatan terhadap pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang berdampak negatif terhadap kesehatan. “KPAI sendiri dalam pengawasan sudah menemukan, beberapa anak memang terpaksa dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ), karena mengalami gangguan kesehatan secara psikologis,” ungkap Retno.
Bagaimana dengan kondisi murid beberapa waktu sebelumnya? Antara lain, pada 24/07/2020, di sebuah situs ada berita ini: “Siswa Belajar Online di Kebun yang Jadi Sarang Ular, Orangtua Was-was: Mau Beli Kuota Gak Ada Uang”.
Di berita kedua, disebutkan sebagai contoh, bahwa ada sepasang suami-istri yang terpaksa berhenti bekerja di pabik. Mereka bekerja di pabrik yang berbeda, tapi sama-sama terdampak pandemi. Pabrik mereka tutup.
Lalu, cermatilah kondisi anggota masyarakat lewat berita setahun sebelumnya. Bacalah, pada 21/03/2020–yang bisa dibilang terjadi di saat awal-awal pandemi Covid-19 masuk Indonesia-, berikut ini. “Minggu Pertama WFH Pendapatan Ojol Turun 50%” (catatan, ojol singkatan dari ojek online).
Apa arti berita-berita di atas? Jelas, di masa pandemi Covid-19 yang sekarang masuk di tahun kedua ini, kita sedang berada di situasi yang sangat sulit. Kita sedang berada di masa yang sungguh berat. Pertama, penyakit menular yang ditimbulkan virus corona itu bisa menimpa siapa saja. Kedua, tak hanya sakit dan kematian yang membayangi kita, tapi juga terjadi gangguan serius di semua aspek kehidupan termasuk di sisi ekonomi dan pendidikan.
Solusi dan Hikmah
Untuk sisi penguatan daya tahan tubuh agar tak mudah terpapar Covid-19, ada solusi menarik dari Abdurachman Latief, Guru Besar Fakultas Kedokteran Unair. Di Republika 24/03/2020 dia menulis: “Melesatkan Imunitas”. Intinya, kita akan selamat dari Covid-19 jika memiliki imunitas optimal. Imunitas bisa dilesatkan melalui upaya fisik dan nonfisik. Lewat nonfisik, bersihkan egoisme dan perkuat altruisme.
Mari kita garisbawahi, kita cermati kalimat ini: “Bersihkan egoisme dan perkuat altruisme. Apa egoisme? Itu, adalah sikap mementingkan diri sendiri. Apa altruisme? Itu, adalah sikap untuk selalu mendahulukan kepentingan orang lain.
Altruisme adalah bersegera membantu siapapun yang membutuhkan. Eloknya, altruisme akan berbuah kebahagiaan dan bisa melahirkan imunitas yang kuat, badan sehat, tenang, dan sejahtera. Sejumlah penelitian ilmiah mendukung kesimpulan ini. Alhasil, setiap kita berpeluang melesatkan imunitas sampai optimal dengan altruisme. Lalu, dengan itu, kita bisa “Menuntaskan problem global Covid-19,” kata Prof. Abdurachman.
Atas penjelasan di atas, nilai-nilai puasa yang dijalani umat Islam sangat potensial untuk “menyediakan” dua kondisi yang sangat berperan positif dalam hidup bermasyarakat itu. Misal, dengan merasakan lapar dan haus sejak subuh sampai maghrib, jiwa kita akan terasah untuk berempati kepada kalangan yang sedang berkekurangan.
Dengan tumbuh-suburnya rasa empati kepada sesama, hampir dapat dipastikan mereka tak akan memiliki sikap egoisme. Sebaliknya, di diri mereka terpupuk sikap altruisme yaitu sigap menolong siapapun yang membutuhkan. Lebih lanjut, altruisme akan lebih hebat lagi jika sunnah memperbanyak infaq dan sedekah di bulan Ramadhan juga kita lakukan.
Pelajaran di Sekitar
Pelajaran utama yang harus kita ambil, tentu dari Al-Qur’an. Salah satunya, tentang keharusan untuk bersegera dalam mengerjakan pelbagai amal-shalih. Perhatikanlah: “Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan. Mereka menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang shalih” (QS Ali ‘Imraan [3]: 114).
Pelajaran yang lain, bisa berasal dari teladan orang-orang yang kita kenal sebagai orang shalih. Dalam kaitan ini, insya-Allah KH Ahmad Dahlan (1868-1923) termasuk pribadi shalih, yang sigap membantu orang atau masyarakat.
Sejarah mencatat: Harta, pikiran, tenaga, dan–pendek kata-semua yang dimiliki KH Ahmad Dahlan telah dihibahkan di Jalan Allah. Bagi beliau, mengorbankan harta sangat utama. Pernah, di suatu ketika, beliau berkata: “Janganlah kamu berteriak-teriak sanggup membela agama dengan menyumbangkan jiwamu. Jiwamu tak usah kamu tawarkan. Kalau Tuhan menghendakinya, entah dengan jalan sakit atau tidak, tentu kamu akan mati. Tapi, beranikah kamu menawarkan harta-bendamu untuk kepentingan agama? Itulah yang lebih diperlukan pada waktu sekarang ini.”
KH Ahmad Dahlan konsekwen dengan ucapannya itu. Tentang ini, tentu akan sangat banyak contoh yang bisa diungkap. Berikut ini sekadar menyebut dua contoh saja.
Pertama, ajaran untuk tak mempraktikkan egoisme. Lihat, pengorbanan waktu bersama keluarga yang pernah diperagakan KH Ahmad Dahlan. Pernah, ulama asal Kauman Jogjakarta itu tetap bersemangat mengajar meski sang anak sedang sakit keras.
Alkisah, suatu hari KH Ahmad Dahlan sedang mengajar di kelas. Di saat sedang serius bersama murid-muridnya, istri KH Ahmad Dahlan datang dan berkabar bahwa salah seorang putra mereka sakit keras.
Setelah pamit ke murid-murid untuk sementara waktu pulang, KH Ahmad Dahlan lalu menemui sang anak. Setelah memberi semangat dan mendoakan si anak, KH Ahmad Dahlan bersiap kembali menemui murid-muridnya.
Tampak, sang istri seperti berkeberatan jika KH Ahmad Dahlan segera kembali mengajar. Atas hal itu, dengan tersendat-sendat KH Ahmad Dahlan berkata: “Wahai Nyai, janganlah engkau menyangka bahwa jika aku tetap menunggui anakmu ini dia akan sembuh dan jika aku tinggalkan akan mati. Tidak Nyai, mati dan hidup di Tangan Allah, Tuhanmu dan Tuhanku, serta Tuhan dari Jumhan anak kita.” Setelah berkata-kata seperti itu, KH Ahmad Dahlan kembali ke tempat dia mengajar.
Kedua, ajaran untuk selalu siap menjalankan altruisme yaitu sigap dalam usaha menolong sesama terutama dengan mengorbankan harta atau uang yang dimiliki. Ini menyangkut kepedulian KH Ahmad Dahlan yang sangat tinggi terhadap usaha memajukan pendidikan bangsanya. Perhatikan kisah “KH Ahmad Dahlan dan Gaji Guru” berikut ini.
Bahwa, di suatu hari, KH Ahmad Dahlan akan melelang perabot rumah-tangganya ketika tak ada uang untuk membayar gaji guru di sekolahnya. Atas rencana itu, banyak sahabatnya yang tidak tega, lalu membeli barang-barang itu dengan harga jauh lebih mahal dari yang semestinya.
Dari dua kisah di atas, sekali lagi, kisah yang pertama mengajarkan agar kita tak egois. Sementara, kisah yang kedua mendidik kita agar selalu menjalankan altruisme yaitu bersegera membatu orang lain.
Membantu di Saat Sulit?
Sejak Covid-19 menjadi pandemi, semua orang tanpa kecuali merasa berada dalam kesempitan. Situasinya, sangat menekan semua kalangan. Misal, pemimpin pusing dan apalagi rakyat, atau pengusaha pusing dan apalagi karyawan.
Atas situasi yang tak enak ini, tak seorangpun tahu akan berakhir kapan. Oleh karena itu, justru di momentum seperti inilah tepat untuk mempraktikkan ajaran mulia ini: Selalu berinfaq, baik di saat lapang ataupun sempit.
Sungguh, berinfaq di saat lapang ataupun sempit, banyak hikmahnya. Termasuk, tentu saja, menjadi salah satu cara agar kita bisa menekan egoisme dan pada saat yang sama menyuburkan altruisme.
Jangan ragu, teruslah berinfaq agar kita bisa mencapai kebajikan yang mulia di hadapan Allah. “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan, sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS Ali ‘Imraan [3]: 92).
Bersegeralah berinfaq. Lalu, pertahankanlah hal itu menjadi sebuah kebiasaan yang terus kita amalkan, baik ketika lapang maupun sempit. “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali ‘Imraan [3]: 134).
Mau Istimewa?
Mari kita jalani puasa Ramadhan di masa pandemi dengan tetap bersemangat. Kita laksanakan puasa Ramadhan tetap dengan wajah selalu berseri-seri. Mengapa? Sebab Ramadhan akan setia mengajari umat Islam yang berpuasa di dalamnya untuk tak punya sikap egoisme. Juga, Ramadhan akan senantiasa mendidik kaum Muslimin yang berpuasa agar punya sifat altruisme yaitu suka dan sigap membantu sesama.
Selamat berpuasa! Semoga Allah ridha dengan puasa kita. Semoga dengan berbagai hikmah berpuasa, masa pandemi ini bisa kita lewati dengan penuh kesabaran. Semoga dengan beragam pelajaran di dalamnya, terutama umat Islam yang benar-benar terdampak secara serius akibat pandemi, bisa merasakan bahwa mereka punya saudara banyak-sesama Muslim-yang siap meringankan beban mereka.
Terakhir, mari berlomba-lomba “mencari perhatian” Allah. “Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Al-Maaidah [5]: 93). Berbuat baik kepada orang lain termasuk kebajikan yang sangat disukai Allah, maka “bersainglah” dalam mengerjakannya. “Berlomba-lombalah berbuat kebajikan” (QS Al-Maaidah [5]: 48).