Kekeliruan Qadariyah Terhadap Taqdir Allah

Oleh : Bahrul Ulum

Iman kepada taqdir  merupakan keyakinan yang harus dipegang teguh oleh setiap muslim. Orang yang beriman kepada taqdir, dengan cara yang benar, berarti telah merealisasikan tauhid kepada-Nya dan berjalan di atas petunjuk  Rabb-nya. Sebab, beriman kepada qadar termasuk mendapatkan petunjuk.

Allah Azza wa Jalla berfirman, “Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya.” [Muhammad: 17]Dia juga berfirman, “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah, Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya … .” [At-Taghaabun: 11]

‘Alqamah rahimahullahu berkata tentang ayat ini, “Yaitu, mengenai orang yang tertimpa musibah, lalu dia tahu bahwa hal itu berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia pun pasrah dan ridha.”  ( Zaadul Masiir VIII/283, Ibnul Jauzi)

Kemudian orang yang beriman kepada tadir akan sadar bahwa semua makhluk berada dalam kekuasaan-Nya, diatur dengan qadar (ketentuan)-Nya. Semua mahluk tidak memiliki suatu kekuasaan pun, termasuk  terhadap dirinya, terlebih terhadap selainnya, baik kemanfaatan maupun kemudharatan. Karena itu kita harus yakin bahwa segala urusan itu  berada di tangan Allah. Karena Dialah yang memberi kepada siapa yang dikehendaki  dan mencegah dari siapa yang dikehendaki. Tidak ada yang dapat menolak ketentuan dan ketetapan-Nya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah ditanya oleh Malaikat Jibril tentang iman. Beliau menjawab bahwa salah satu tanda iman adalah percaya pada taqdir baik dan buruk yang telah ditentukan Allah Ta’ala. (Arbain An-Nawawi hadits ke 2, Imam Nawawi)  Pemahaman seperti inilah yang dipegang teguh oleh para ulama salaf.

Imam Syahrastani dalam kitabnya, al-Milal wa al-Nihal hal.61, menyebutkan bahwa keyakinan terhadap taqdir sudah menjadi ijmak para sahabat. Orang-orang yang dicintai Rasulullah ini berkeyakinan bahwa qadar yang baik dan buruk pada hakekatnya berasal dari Allah SWT.

Dari keterangan inilah kemudian para ulama menyimpulkan bahwa pada dasarnya manusia hanyalah punya kemampuan berusaha, namun yang menentukan berhasil atau tidaknya ada di tangan Allah SWT.  Sebab tidak ada satu kekuasaanpun diluar kekuasaan-Nya.

Bantahan Terhadap Kaum Qadariyyah

Meski ayat dan hadits tentang iman kepada taqdir sudah jelas, namun masih ada sekelompok orang yang tidak mempercayainya. Terutama berkaitan dengan taqdir buruk. Mereka berpendapat bahwa Allah tidak mungkin memberi taqdir buruk kepada hamba-Nya. Sebab jika itu dilakukan, berarti Allah telah berbuat dhalim. Dan ini tidak mungkin dilakukan Allah. Kalau ada seseorang tertimpa musibah berarti itu karena kesalahannya semata, bukan taqdir Allah.

Pendapat ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam wacana pemikiran Islam. Kelompok yang berpendapat seperti itu adalah kaum Qadariyyah yang  muncul  pada akhir masa sahabat. Keyakinan seperti ini disebarkan oleh Ma’bad al-Juhani, Gilan al-Damisqi dan Yunus al-Ashwa yang mengingkari terhadap penyandaran baik dan buruk terhadap qadar. Mereka juga berpendapat bahwa segala sesuatu mempunyai sebab, sebagaimana pemahaman para filosof Yunani .  Menurut kelompok ini, Allah wajib mewujudkan yang baik (al-ashlah) untuk kemaslahatan manusia. Bisa saja Allah bertindak zalim dan berdusta, tetapi mustahil akan berbuat begitu. Sebab kalau Dia mentakdirkan atau membuat yang buruk bagi seseorang dan menghukum orang tersebut, maka berarti hilanglah keadilan-Nya.  Intinya, menurut kaum Qadariyyah,  Allah hanya membuat yang baik dan  tidak yang buruk. Mereka berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan kecuali yang baik, karena Allah berkewajiban memelihara kepentingan hamba-Nya.

Pendapat sesat ini telah dijawab oleh para ulama. Yang benar, segala yang terjadi di jagad raya ini adalah taqdir dan ciptaan-Nya. Allah berbuat sesuai kehendak-Nya. Dan karena yang diperbuat adalah milik-Nya sendiri, maka tidak ada alasan untuk mengatakan Allah berlaku aniaya. Karena tidak ada milik atau hak orang lain yang dirampas atau ditindas-Nya. Mengenai paham Qadariyyah ini Rasulullah bersabda,

  الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الأُمَّةِ إِنْ مَرِضُوا فَلاَ تَعُودُوهُمْ وَإِنْ مَاتُوا فَلاَ تَشْهَدُوهُمْ

  “Al-Qadariyyah adalah Majusinya umat (Islam) ini. Jika mereka sakit jangan dijenguk. Jika mereka mati jangan disaksikan” (HR. Sunan Abu Daud, Sunan Baihaqi)

Dalam kitab Al Ibana al-Kubra Li Ibni Batha.  disebutkan bahwa Imam Al- Au’zai mengatakan

 القدرية خصماء الله عز وجل في الأرض

 “Qadariyyah adalah musuh Allah di dunia”

Yang dimaksud musuh Allah di sini adalah musuh mengenai taqdir Allah, karena taqdir Allah terdiri dari kebaikan dan keburukan. Demikian pula perbuatan manusia terdiri dari dua macam yaitu baik dan buruk.

Dalam kitab As-Sunnah,  Ibn Abi ‘Ashim meriwayatkan dari Sa’ad bin Abd al-Jabbar, katanya: “Saya mendengar Imam Malik bin Anas berkata: Pendapat saya tentang kelompok Qadariyyah adalah, mereka itu disuruh bertaubat. Apabila tidak mau, mereka harus dihukum mati”.

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa pemahaman seperti kelompok Qadariyyah itu sesat dan menyesatkan. Karena itu kaum muslimin hendaklah berhati-hati terhadap orang atau kelompok yang memiliki pendapat seperti mereka. Allah yang Maha Suci,  tidak mungkin kekuasaan-Nya ditembus oleh sesuatu tanpa kehendak-Nya. Memang seorang hamba memiliki keinginan dan kehendak, akan tetapi semua itu tetap mengikut kehendak dan keinginan Allah. Manusia memiliki kebebasan untuk berbuat, namun kebebasan yang mengikuti kehendak dan keinginan yang memberi kebebasan yaitu Allah.

Daftar Pustaka

  1. Al Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi,  Zaadul Masiir VIII/283, Maktab Islamiyah cet. 3  1984
  2. Ibnu Batha al-Akbary, Al Ibana al-Kubra Li Ibni Batha, Maktabah Syamilah vol.2
  3. Asy-Syahrastani, al- Milal wa an-Nihal, Darul Makrifah, Beirut, Libanon, 1993, Cet.ke-3
  4. Ibn Abi Ashim, As-Sunnah, Maktabah Syamilah vol.2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *