Mengenang 3 April 1950: Mosi Integral Mohammad Natsir dan Proklamasi Kedua RI

Mosi Integral M Natsir dan Proklamasi Kedua RI

Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku ”Menulislah, Engkau Akan Dikenang” dan 12 judul lainnya

Mosi Integral M Natsir dan Proklamasi Kedua RI

inpasonline.com – Proklamasi di negeri ini terjadi dua kali? Lihatlah, Bung Hatta pernah menyebutkan bahwa proklamasi pertama terjadi pada 17 Agustus 1945. Lalu, proklamasi kedua secara resmi diumumkan pada 17 Agustus 1950.

Untuk proklamasi yang kedua, terjadi seusai Mohammad Natsir di parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat) menyampaikan Mosi Integral pada 3 April 1950. Isinya, agar RIS kembali ke NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Mosi itu diterima secara luas.

Jika begitu, bagaimanakah kisah di seputar Mosi Integral Natsir? Tepatkah usulan menjadikan 3 April sebagai Hari NKRI? Siapa Natsir?

Tak Terlupakan

Negara ini harus sering mengenang jasa Mohammad Natsir. Kontribusi Natsir sangat banyak. Salah satunya, yang sulit kita lupakan, yaitu saat dia menyampaikan Mosi Integral. Dengan itu, Indonesia kembali menjadi NKRI setelah sempat menjadi RIS.

Terkait, Bung Hatta meyakini bahwa pada 17 Agustus 1950 terjadi proklamasi kedua seusai mosi integral Mohammad Natsir (https://www.tempo.co 4 April 2022). Tentu pendapat Hatta itu menarik. Apa dasar pendapat Bung Hatta? Sangat boleh jadi, Hatta bersandar pada fakta di bawah ini.

Pada 17 Agustus 1950, sewaktu perayaan Hari Ulang Tahun ke-5 Kemerdekaan RI, Presiden Soekarno mengumumkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pidato pada hari itu, dia menyampaikan tema ”Dari Sabang sampai Merauke”.

Di dalam pidatonya, antara lain dia berkata sebagai berikut. Bahwa, ”Hari ini, 17 Agustus 1950, berdirilah kita sudah atas bumi Negara Kesatuan yang tidak mengenal negara bagian dan tidak mengenal RIS, melainkan hanya mengenal satu Republik Indonesia saja, dengan satu daerahnya satu Undang-Undang Dasarnya, satu pemerintahnya” (Hakiem, 2019: 234).

Kilas Sejarah

          Kita kenang masa-masa sebelum ”proklamasi kedua” itu. Bahwa, pada 27 Desember 1949 berlangsung penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Tak lama setelah lahirnya RIS, banyak gejolak di berbagai daerah.

Pada 4 Januari 1950 Dewan Perwakilan Rakyat Malang mengeluarkan resolusi untuk melepaskan diri dari Negara Jawa Timur dan bergabung kepada RI. Pergerakan dan keinginan yang sama diikuti oleh berbagai daerah lain.

Pada 17 Januari 1950 rakyat Bekasi mengeluarkan resolusi yang tidak mengakui kekuasaan di Bekasi selain kekuasaan RI. Pada 30 Januari 1950 resolusi serupa juga terjadi, supaya Negara Pasundan segera membubarkan diri. Juga, Dewan Perwakilan Rakyat Sukabumi menyatakan lepas dari Negara Pasundan dan meminta bergabung ke RI.

Semangat yang sama juga ada di Jakarta Raya. Pun, di Makassar dan Sumatra Timur. Demonstrasi anti-RIS di Sumatra Timur bahkan menyebabkan polisi harus turun tangan.

Memang, sikap menolak RIS meluas. Bahkan, terjadi sebelum penyerahan kedaulatan. Misal, di Bogor pada 19 Desember 1949 diadakan rapat umum menuntut pembubaran Negara Pasundan.

Prihatin dan Aksi

Semua resolusi dan demonstrasi anti-RIS di berbagai penjuru negeri menarik perhatian Natsir. Sang ulama-negarawan itu berpendapat bahwa meskipun maksud berbagai resolusi dan demonstrasi itu baik, tetapi jika dibiarkan tanpa arah penyelesaian yang jelas justru dapat membahayakan eksistensi negara RI yang baru berdiri.

Natsir tidak mau berhenti sekadar menyesali keadaan. Natsir bertekad mengembalikan RI seperti sediakala. Lalu, sebagai Ketua Fraksi Partai Masyumi di parlemen RIS, Natsir berinisiatif menemui dan bertukar pikiran dengan para pemimpin fraksi.

Natsir berbicara dengan Sakirman, salah satu petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI). Natsir juga berbicara dengan Sahetapy Engel, anggota DPR RIS yang mewakili NIT (Negara Indonesia Timur) dan berasal dari Saparua Ambon. Selain itu Natsir berbicara dengan Kasimo dari Partai Katolik dan Tambunan dari Partai Kristen, dan sebagainya.

Lewat itu, Natsir ingin mengetahui apa sesungguhnya yang hidup di dalam pikiran anggota parlemen dari berbagai perwakilan daerah dan/atau paham. Dari situ Natsir mendapat kesimpulan. Bahwa mereka, negara-negara bagian itu, mau membubarkan diri dan bersatu dengan RI (dengan pusat pemerintahan waktu itu di Yogyakarta) asal jangan disuruh bubar sendiri.

Sepanjang 2,5 bulan Natsir melakukan lobi. Ini tidak mudah, kata Natsir. Terlebih dengan negara-negara bagian dari luar Jawa, seperti dengan negara bagian di Sumatra dan Madura.

 

Seruan Berharga

Pada 3 April 1950, Natsir berbicara di mimbar sidang paripurna parlemen RIS. Dia sampaikan pidato yang kelak dikenal sebagai Mosi Integral Natsir. Atas keadaan masyarakat yang bergejolak, dengan retoris Natsir mengajukan pertanyaan:  Bagaimanakah mengartikan ”Terserah kepada kehendak rakyat” itu? Apakah itu berarti menyerahkan kepada rakyat untuk mengadu tenaga mereka di daerah, untuk memperjuangkan kehendak mereka di tempat masing-masing dengan segala akibat-akibatnya? Habis itu lantas kita membuat pernyataan resmi?

Masih kata Natsir, sampai berapa langkahkah kesediaan hanyut seperti ini? Apakah sampai kita terbentur kepada satu batu karang nanti? ”Tidak, Saudara Ketua,” seru Natsir.

Pemerintah, lanjut Natsir, sewajarnyalah memelopori dan menyusun langkah-langkah dengan program yang tertentu dan teratur dalam jangka yang agak panjang, di mana suatu soal ketatanegaraan dapat ditinjau dan dipecahkan dalam hubungannya dengan yang lain-lain. Hal yang demikian, itulah makna mendasarkan politik kepada kehendak rakyat.

Hanya dengan mengambil inisiatif kembali yang telah dilepaskan oleh pemerintah, tambah Natsir, dapat diharapkan bahwa pemerintah terlepas dari posisi defensifnya. Semuanya itu, diliputi oleh suasana nasional dengan arti yang tinggi serta terlepas dari soal atau paham unitarisme, federalisme, dan provinsialisme.

Apa usulan konkrit Natsir? Berikut ini sebagian Mosi Integral Natsir. Bahwa, sebagai pertimbangan, sangat perlu langkah penyelesaian yang integral dan programatis terhadap akibat-akibat perkembangan politik yang sangat cepat. Bahwa, memperhatikan suara-suara rakyat dari berbagai daerah dan mosi-mosi Dewan Perwakilan Rakyat sebagai saluran dari suara-suara rakyat itu untuk melebur daerah-daerah buatan Belanda dan menggabungkannya ke dalam Republik Indonesia.

Terakhir, di mosi itu, Natsir menganjurkan kepada pemerintah supaya mengambil inisiatif untuk mencari penyelesaian atau sekurang-kurangnya menyusun suatu konsepsi penyelesaian bagi soal-soal yang hangat yang tumbuh sebagai akibat perkembangan politik dengan cara integral dan program yang tertentu  (Hakiem, 2019: 224-226).

Respons Cepat

Mosi Integral Natsir didukung semua pemimpin fraksi di parlemen RIS. Pemerintah juga menerima baik. Perdana Menteri Mohammad Hatta menegaskan, pemerintah akan menggunakannya sebagai pedoman dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

Pemerintah bertindak cepat. Sebuah komite persiapan yang terdiri dari perwakilan semua negara bagian segera dibentuk. Hanya 6 pekan sesudah Mosi Integral Natsir yang bersejarah itu, pada 19 Mei 1950 di Jakarta diadakan pembicaraan antara Pemerintah RIS dengan pemerintah RI. Pemerintah RIS sekaligus bertindak sebagai wakil dari Negara Sumatra Timur dan Negara Indonesia Timur.

Perundingan dua pemerintahan RI itu menghasilkan Piagam Persetujuan RIS-RI, antara lain sebagai berikut. Bahwa keduanya menyetujui dalam waktu sesingkat-singkatnya bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan sebagai penjelmaan dari Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.

Ada buah manis lagi dari Mosi Integral Natsir. Sekadar mengulang yang telah disampaikan di bagian awal tulisan ini, pada 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno menyampaikan pidato istimewa. Kala perayaan hari ulang tahun ke-5 Kemerdekaan RI itu, dia umumkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peristiwa ini lalu disebut sebagai proklamasi kedua oleh Mohammad Hatta.

Dengan itu semua, usulan menjadikan 3 April sebagai Hari NKRI sangat tepat. Pertama, tanpa Mosi Integral Natsir pada 3 April, entah akan seperti apa nasib NKRI. Kedua, spirit Mosi Integral Natsir relevan untuk waktu yang tak terbatas karena ancaman perpecahan akan selalu ada di setiap waktu yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor.

Sang Teladan

          Siapa Mohammad Natsir? Dia lahir di Alahan Panjang Sumatra Barat, pada 1908. Dalam perjalanan kependidikannya, di Bandung dia pernah belajar kepada A.Hassan. Tokoh yang disebut terakhir ini adalah pemimpin dan Guru Besar dari Persatuan Islam (Persis).

          Natsir pemuka Islam. Dia bela Islam lewat lisan dan tulisan. Dia perjuangkan Islam sampai ke level negara. Ketokohannya, tak hanya diakui di Indonesia, tapi juga pada dunia Islam. Dua gelar Dr. (HC) diberikan kepadanya, masing-masing oleh Universitas Islam Libannon dan Universitas Kebangsaan Malaysia.

Natsir adalah Perdana Menteri  pertama setelah Indonesia kembali menjadi NKRI. Itu, pada periode 1950-1951. Di samping itu, Natsir berulangkali menjadi menteri di sejumlah kabinet.

          Natsir yang wafat pada 1993, ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2008. Dengan deretan panjang jasa Natsir, lelaki sederhana itu sangat layak menjadi salah satu teladan terbaik kita. Teladan, termasuk keberaniannya dalam bernahi mungkin seperti yang direkam Hamka dalam puisinya, seperti berikut ini:

“Meskipun bersilang keris di leher// Berkilat pedang di hadapan matamu// Namun yang benar kau sebut juga benar//. ….. Jibril berdiri sebelah kananmu// Mikail berdiri sebelah kiri// Lindungan Ilahi memberimu tenaga// Suka dan duka kita hadapi// Suaramu wahai Natsir, suara kaummu”. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *