Semangat para sahabat dalam menuntut ilmu dari rasulullah saw memberikan pengaruh kepada generasi Islam berikutnya. Dari para khalifah sampai kepada tabi’in dan tabi’ tabi’in. Dari sinilah muncul ahli-ahli agama seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman, Ali, Abu Khurairah yang meriwayatkan banyak hadis, Anas bin Malik, Muadz bin Jabal. Termasuk juga para Imam, seperti Iman Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam asy-Syafi’I, dan Imam an-Nawawi. Semangat mempelajari ilmu agama tidak berhenti sampai di sini saja, akan tetapi terus berlanjut dan menjadi tradisi serta warisan yang dikembangkan oleh para ulama hingga saat ini.
Mehdi Nakosteen mengatakan, ilmu pengetahuan Islam mengalami kemajuan yang mengesankan selama periode abad pertengahan melalui orang-orang kreatif seperti al-Kindi, ar-Razi, al-Farabi, Ibnu Sina (Avicenna), at-Tabari, dan lain-lain. (Mehde Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Surabaya: Risalah Gusti,2003).
Semangat mempelajari ilmu agama yang dilakukan para ulama terdahulu telah membuahkan hasil karya yang gemilang yang bisa kita baca saat ini, seperti ibnu Khaldun dengan bukunya “al ‘Ibar wa Diiwanul Mubtada’ wal Khabar fii Ayyamil ‘Arab wal ‘Ajam wal Barbar wa Man ‘Aasharahum min dzawis Sulthan al-Akbar” terdiri mukaddimah dan tiga bab yang termuat dalam tujuh jilid, ath-Thabari dengan tafsirnya “Jaami’ul Bayaan fii Ta’wiilil Qur’an” dan lain-lain. (Lihat Khalid Haddad, 12 Tokoh Pengubah Dunia, Jakarta:2009).
Semangat para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’iin itu haruslah diteladani oleh generasi Muslim berikutnya. Semangat yang tinggi dan tamak dalam mempelajari ilmu jangan sampai pudar dari setiap Muslim. Menuntut ilmu bagi setiap mukmin adalah kewajiban dan ibarat sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Artinya berilmu menjadi keharusan bagi orang yang beriman. Allah SWT mengangkat orang yang beriman dan yang menuntut ilmu dengan beberapa derajat, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”(QS. Al-Mujadalah:11).
Untuk memotivasi kita dalam menuntut ilmu perlu membaca kisah Muhammad bin Jarir ath-Thabari yang hampir seluruh hidupnya hanya digunakan untuk menuntut ilmu.
Biografi ath-Thabari
Nama lengkapnya ialah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, dilahirkan di kota Amula ibu kota Thabaristan pada akhir tahun 224 H atau di akhir tahun 839 M. Pada umur 7 tahun ia telah hafal Al-Quran dan pada usia 9 tahun telah menulis buku tentang hadis. Ayahnya selalu memberi semangat kepada ath-Thabari untuk rajin belajar dan menuntut ilmu. Ia menimba ilmu dari para ulama setempat seperti ilmu tafsir, hadis, dan sejarah. Selesai menuntut ilmu, ia berniat untuk pergi ke Baghdad untuk menemui Imam Ahmad bin Hambal. (Khalid Haddad, Ibid.)
Pengembaraannya Menuntut Ilmu
Ath-Thabari berangkat ke Baghdad pada tahun 241 H/855 M, cita-citanya untuk bertemu Imam Ahmad bin Hambal kandas, karena Imam Ahmad telah meninggal dunia. Setelah mendengar kematiannya, lalu ia menuju Bashrah tempat berkumpulnya para ulama besar. Setelah itu pergi menuju kota Wasith dan tinggal beberapa waktu di kota tersebut. Selanjutnya ath-Thabari pindah ke kota Kufah, di sinilah ia belajar ilmu hadis dan qira’at.
Karena ambisi untuk menimba ilmu sangat kuat, ath-Thabari memutuskan untuk pergi ke Mesir. Sebelum sampai Mesir singgah sementara waktu di kota Beirut untuk belajar qira’at Al-Quran, baru tahun 253 H/ 867 M sampai di Mesir dan tinggal di kota Fusthath. Pada tahun 256 H/870 M ia kembali ke Mesir kedua kalinya setelah dari Syam. Di Mesir inilah ia belajar fiqih, sastra, bahasa, Nahwu, dan syair kepada sejumlah ulama. Ketenaran ath-Thabari cepat tersebar luas di antara ulama, sehingga banyak di antara pencari ilmu yang belajar dari beliau. Karena kerinduannya ke kota Baghdad sebagai kota keilmuan dan peradaban, maka ath-Thabari pergi ke Baghdad untuk sekian kalinya setelah pulang dari Thabaristan daerah tempat kelahirannya. Di kota Baghdad inilah ia memfokuskan diri untuk belajar dan menulis sampai akhir hayatnya. Beliau meninggal pada tanggal 26 Syawal 310 H bertepatan 16 Februari 933 M, yaitu pada masa pemerintahan al-Muqtadir Billah, khalifah kedelapan belas Dinasti Abbasiyah.
Ibnu Jarir ath-Thabari adalah salah seorang pemuka para ulama, menguasai berbagai ilmu agama. Sejak kecil telah hafal Al-Quran dengan mengetahui berbagai jenis bacaannya, mengerti makna-maknanya, dan memahami hukum-hukumnya. Beliau mengetahui beragam hadis beserta jalan periwayatannya, sahih dan cacatnya, mengetahui yang nasikh dan yang mansukh. Di samping itu ia juga mengetahui pendapat-pendapat para sahabat, tabi’in, sehingga wajar kalau ia menjadi rujukan di dalam mengambil hukum. (Lihat Syaikh Abdul Fattah, Karena Ilmu Mereka Rela Membujang, Surakarta: Zamzam, 2008)
Ibnu Jarir selama 40 tahun tidak mengadakan perjalanan, selama itu ia menulis dalam sehari sebanyak 40 lembar. Sejumlah murid beliau pernah menghitung hari-hari hidupnya, dimulai sejak baligh sampai wafatnya dalam usia 86 tahun. Kemudian mereka membagi hari-hari tersebut dengan banyaknya jumlah lembaran karya ilmiah beliau, hasilnya setiap hari menulis 14 lembar tulisan. Ini suatu pencapaian yang hanya mampu dilakukan oleh manusia yang memiliki perhatian besar terhadap ilmu Allah, Yang Maha Pencipta. (Syaikh Abdul Fattah, Ibid).
Karya-Karya Ath-Thabari
Karya besar ath-Thabari dalam bidang tafsir adalah Jaami’ul Bayaan fii Ta’wiilil Qur’an. Ia menulis buku ini di akhir abad 3 H, yang dalam pendahuluannya menjelaskan sebuah hadis yang berbunyi “Unzila Al-Quran ‘alaa sab’ati ahruf” yang yang kesimpulannya bahwa Al-Quran diturunkan dengan tujuh dialek bangsa Arab yang berbeda-beda.
Karya beliau yang lain ialah berkenaan dengan sejarah yaitu “Taariikhul Umam wal Muluuk” yang memiliki dua tahapan. Pertama, dimulai sejak awal penciptaan sampai sebelum datangnya Islam. Pada tahapan ini ath-Thabari berbicara tentang awal mula penciptaan dan berapa lama waktu terjadinya. Termasuk juga beliau berbicara tentang berita iblis dan kedudukannya sebelum diciptakannya Adam, lalu aksi pembangkangan serta kesombongannya untuk sujud kepada Adam, dan diakhiri dengan pengusiran iblis dari rahmat Allah. Kedua, sejak munculnya Islam hingga tahun 302 H/914 M. Pada fase kedua ini beliau bercerita tentang kehidupan Rasulullah, berita dan peperangannya, serta sejarah para Khulafaur Rasyidin dan aksi ekspedisi mereka. Selanjutnya ath-Thabari memuat juga sejarah umat Islam pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah hingga tahun 302 H/914 H, yaitu pada masa al-Muqtadir Billah berkuasa.
Buku ketiga, ialah “Dzailul Mudziil” yang berjumlah sekitar 1.000 lembar, dikeluarkan pada tahun 300 H. Buku ini membahas sejarah para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, hingga masa ath-Thabari. Dalam buku ini tertulis juga sejarah sahabat yang terbunuh pada zaman Nabi saw, sejarah para sahabat yang masih hidup sepeninggal Nabi saw dan sahabat yang meriwayatkan hadis dari beliau.
Tidak heran kalau Imam ath-Thabari berada di antara deretan ulama besar, karena ia adalah seorang sangat pintar, mengetahui berbagai ilmu agama dan pengetahuan yang sangat menonjol pada masanya.
Kata Akhir
Semoga semangat belajar yang dimiliki oleh Imam ath-Thabari, kepandaian, dan penguasaannya dengan berbagai ilmu agama menjadikan motivasi untuk generasi Muslim berikutnya. Jangan sampai tradisi ilmu yang telah diwariskan sejak Rasulullah saw sampai saat ini menjadi pudar dan luntur. Karena di antara hamba-hamaba Allah yang takut hanyalah ulama. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Fathir ayat 28. Motivasi Allah ini semakin lengkap dengan adanya sabda Rasulullah saw yang artinya, “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan ke surga baginya” (HR. Muslim), Allahu A’lam.
Last modified: 08/05/2011