Hasil penelitian MUI menyatakan bahwa NII terkait dengan pesantren Al Zaytun. Secara pendidikan pondok pesantren itu bagus, namun ada sesuatu yang lain di balik lingkaran dalam pesantren. “Al Zaytun sudah banyak kajian. Sudah seabrek dan sudah dipromosikan secara terbuka. Yang paling kredibel dijadikan referensi ya hasil kajian dan penelitian dari MUI. Ya Al Zaytun sebagai lembaga pendidikan itu oke, bagus punya fasilitas, tapi ternyata ada agenda lain. Ya NII itu,” kata Kepala BNPT Ansyaad Mbai di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Jumat (6/5/2011).
Ansyaad menerangkan, karena banyak pejabat tidak tahu soal dugaan adanya NII sesuai penelitian MUI, tidak heran masih sering banyak yang datang ke sana. “Saya kira itu tidak paham Al Zaytun ada lingkaran khusus masalah NII, karena kalau ada pejabat tahu ada NII saya kira mereka tidak mungkin,” imbuhnya.
Namun Ansyaad menepis bahwa NII di Al Zaytun binaan dari intelijen. Dia juga berharap, sebaiknya orang yang masuk NII lebih baik bergabung menjadi politisi.
“Ini kan demokrasi, ya kalau mereka mau memperjuangkan negara Islam lebih bagus di Senayan, itu kan tidak dilarang, yang dilarang itu kalau kalah voting terus ambil bom. Itu nggak boleh,” tuturnya.
Sekadar diketahui, NII memiliki banyak faksi, termasuk NII KW 9. Faksi terakhir dituding bertanggung jawab atas kasus penipuan berkedok doktrin agama yang marak belakangan ini. Pemimpin Al Zaytun Panji Gumilang telah menyangkal dia dan ponpesnya terlibat NII KW 9.
Namun menurut politisi AM Fatwa, ia menengarai NII KW IX sejak puluhan tahun lalu telah berhasil diinfiltrasi oleh aparat intelijen. Sejumlah tokoh petinggi NII adalah binaan intelijen. Wakil Kepala BAKIN Ali Murtopo adalah aktor dibalik sepak terjang dan munculnya NII KW IX.
Tokoh NII yang pada mulanya direkrut Ali Murtopo adalah Danu Mohammad Hasan. Penggarapan terhadap Danu terjadi sekitar 1966-1967. Pendekatan intelijen terhadap para tokoh NII sendiri secara resmi telah dimulai pada awal 1965, dengan menugaskan seorang perwira Operasi Khusus (Opsus) bernama Aloysius Sugiyanto. Setelah Danu, Ali Murtopo membidik Ateng Djaelani Setiawan. Selanjutnya pendekatan terhadap para mantan petinggi sayap militer Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) lainnya yang berpusat di Jawa Barat dilakukan Pangdam Siliwangi saat itu, Mayjen Ibrahim Aji. Petinggi NII yang digarap itu adalah Adah Djaelani dan Aceng Kurnia.
Baik menurut kubu para mantan petinggi sayap militer maupun sayap sipil NII, politik pendekatan pemerintah orde baru melalui Ibrahim Aji, sangat diterima dengan baik, kecuali oleh beberapa individu yang menolak uluran pemerintah tersebut, seperti Djadja Sudjadi dan Abdullah Munir. Para mantan tokoh sayap militer dan sayap sipil DI akhirnya makmur secara ekonomi. Hampir semua mantan tokoh DI mendapatkan modal cukup untuk menangani proyek Inpres, SPBU atau agen minyak tanah. Operasi ini dijalankan oleh anak buah Ali Murtopo, Letkol Pitut Suharto.
Opsus dan intelijen kemudian meminta para mantan laskar NII tersebut mengkonsolidasikan kekuatan melalui reorganisasi NII ke seluruh Jawa dan Sumatra. Saat itu Ali Murtopo masih menjabat Aspri Presiden yang selanjutnya menjadi Deputi Operasi Ka BAKIN dan merangkap Komandan Opsus ketika mendekati detik-detik digelarnya ‘opera’ konspirasi dan rekayasa operasi intelijen dengan sandi “Komando Jihad” di Jawa Timur.
Dalam waktu yang bersamaan Soeharto menyiapkan Renstra (Rencana Strategis) Hankam (1974-1978) sebagaimana dilakukan ABRI secara sangat terorganisir dan sistematis melalui penyiapan 420 kompi satuan operasional, 245 Kodim sebagai aparat teritorial dan 1300 Koramil sebagai ujung tombak intelijen dalam gelar operasi keamanan dalam negeri yang diberi sandi Opstib (operasi ketertiban) dan Opsus.
Dari sinilah pendekatan itu makin serius dan signifikan. Ali Murtopo mengajukan ide pembentukan dan pembangunan kembali kekuatan NII, guna menghadapi bahaya laten komunis dari utara maupun dalam rangka mengambil alih kekuasaan. Ide Ali Murtopo ini selanjutnya dijalankan Danu Mohammad Hasan yang dipandu perwira Bakin Pitut Suharto, dan disambut Dodo Muhammad Darda, Tahmid Rahmat Basuki dan H. Isma’il Pranoto (Hispran).
Karena Pitut memiliki kedekatan hubungan pribadi dengan Andi Sele di Makassar dan dengan H. Rasyidi [ayah AS Panji Gumilang, red] di Gresik, Jawa Timur, pada tahun 1968 ia ditugaskan Ali Murtopo untuk mengolah hubungan dan keberadaan para mantan petinggi NII yang sudah dirintisnya sejak 1965 tersebut dengan kepentingan membelah mereka menjadi dua faksi. Faksi pertama diformat menjadi moderat untuk memperkuat Golkar, dan faksi kedua diformat bagi kebangkitan kembali organisasi Neo-NII.
Keterlibatan Pitut yang akhirnya dinaikkan pangkatnya menjadi pejabat Direktur Opsus di bawah Deputi III BAKIN terus berlanjut. Pitut tidak saja bertugas untuk memantau aktifitas para mantan tokoh DI tersebut, ia juga terlibat aktif menyusun berbagai rencana dan program bagi kebangkitan NII, baik secara organisasi maupun secara politik termasuk aksi gerakannya.
Berkat panduan Pitut, musyawarah dalam rangka reorganisasi NII yang meliputi Jawa-Sumatra pernah dilaksanakan di markas BAKIN saat itu di Jalan Senopati, Jakarta Selatan. Menurut Al Chaidar, pada 24 April 1971 juga dilaksanakan pertemuan para tokoh NII di rumah Danu Mohammad Hasan selama tiga hari di Jalan Madrasah 240 Bandung atas sponsor BAKIN. Pembicara yang hadir pada waktu itu Hispran, Djaja Sudjadi, Kadar Solihat, dan Maman Tsani. Pertemuan itu menghasilkan pembagian-pembagian kontak NII, seperti pengangkatan tugas-tugas. Penggalangan oleh BAKIN inilah yang dikemudian hari mengasilkan kelompok Komando Jihad (KOMJIH). (dtk/si/r)