Inpasonline.com-Usaha mengubah persepsi masyarakat Indonesia terhadap LGBT (Lesbianisme, Gay, Transgender dan Biseksual) akhir-akhir ini patut dikhawatirkan. Propaganda LGBT kini dilakukan dengan berbagai cara. Baik melalui jalur politik, media, akademik dan buku. Ada tiga argumen aliran liberal untuk mendukung LGBT yang disosialisasikan secara internasional, termasuk di Indonesia . Pertama, Homoseksual diturunkan secara biologis. Kedua, Homoseksual tidak dapat diubah secara psikologis. Ketiga, Homoseksual merupakan hal yang normal secara sosiologi. Sosialisasi ini sudah dilakukan di Indonesia. Jika masyarat ingin selamat dari penyakit homoseks ini, sejak sekarang harus dilakukan pencegahan serius.
Di Indonesia sudah lama terdapat komunitas yang bernama ‘GaYa Indonesia”, perkumpulan khusus kaum Gay. Konon, ‘Gaya Indonesia’ merupakan organisasi LGBT tertua dan terbesar di Asia.
Seiring dengan era reformasi, organisasi LGBT mulai banyak bermunculan misalnya Ardhanary Institute, Perempuan Pelangi, Srikandi Sejati, Persatuan Tomboy Pontianak, Harley, dll. Menurut laporan litbang komnas perempuan, dari segi kegiatan, saat ini semakin bervariasinya isu yang diangkat organisasi LGBT. Kebanyakan, kampanye organisasi ini berlindung di balik jargon HAM dan kebebasan.
Ardhanary Institute misalnya, banyak bergerak di bidang penelitian dan pendidikan isu seksualitas, dan saat ini mulai melakukan pendampingan. Dari website Gaya Nusantara didapati mereka sedang membuat modul tentang bagaimana menjadi GAY KEREN .. GAY PEDE. Bahkan sudah ditemukan modul tentang bagaimana pengalaman menjadi lesbian diedarkan di sebuah SMA di Jakarta ketika ada pelatihan tentang HIV AIDS.
Keberadaan mereka memang tidak terlalu terbuka, tapi menurut pengamatan aktivis kesehatan, perkembangannya sudah menjamur. Seiring dengan itu dibuatlah isu-isu seputar HAM. Di antara usaha itu adalah dengan mengesankan bahwa yang menolak LGBT adalah intoleran.
Pada tahun 2012 LSI (Lembaga Survey Indonesia) merilis hasil survey di kota Jakarta pada Minggu, 21 Oktober 2012 yang mengungkap banyaknya masyarakat yang intoleran terhadap keberagaman. Sikap intoleran ditunjukkan dengan ketidaknyamanan terhadap perbedaan agama, juga perbedaan orientasi seksual. Masyarakat yang menolak homo dan lesbi disebut intoleran. Jelas ini aneh dan tidak masuk akal sehat.
LSI menemukan bahwa intoleransi terhadap kaum homoseksual lebih tinggi dari keengganan responden terhadap orang-orang mengikuti agama yang berbeda, berselisih 15,1 persen. Untuk survei, LSI mewawancarai 1.200 responden antara 1 Oktober dan 8 Oktober. Para responden malah lebih suka tinggal bersebelahan dengan apa yang mereka anggap sebagai pengikut aliran sesat seperti Syi’ah dan Ahmadiyah, bukan dengan gay atau lesbian.
Opini yang hendak dibentuk dari survey LSI tersebut adalah bahwa orang yang tidak menyukai perilaku LGBT sebagai kelompok yang tidak toleran. Benarkah hal ini bentuk intoleransi? Maki kita kembalikan kepada perspektif agama dan kesehatan. Homoseks dan lesbi dalam pandangan agama, baik Islam dan Kristen sebagai bentuk tindak kejahatan. Secara medis-psikologis, homoseks termasuk kelainan seksual.
Dari sisi akademis, usaha mengubah persepsi bahwa LGBT haram dan penyakit menjadi halal dan normal, sudah lama dilakukan di Indonesia. Pada tahun 2004, Jurnal Justisia Fakultas Syariah sebuah Universitas di Semarang menerbitkan tulisan utama berjudul “Indahnya Kawin Sesama Jenis”.
Upaya mengubah persepsi itu dapat dilihat dari kutipan redaksi Justisia: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan. Jika dulu Tuhan mengutus Luth untuk menumpas kaum homo karena mungkin bisa menggagalkan proyek Tuhan dalam penciptaan manusia (karena waktu itu manusia masih sedikit), maka sekarang Tuhan perlu mengutus “Nabi” untuk membolehkan kawin sejenis supaya mengurangi sedikit proyek Tuhan tersebut. Itu kalau Tuhan masih peduli dengan alam-Nya. Bagi kami, jalan terus kaum homoseks. Anda di jalan yang benar.”
Adian Husaini dalam hidayatullah.com menulis bahwa tahun 2006, di Yogyakarta ditetapkan satu dokumen bernama “Prinsip-prinsip Yogyakarta” (The Yogyakarta Principles), berisi tentang Penerapan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional dalam kaitannya dengan Orientasi Seksual dan Identitas Gender. Wikipedia mencatat, bahwa dokumen ini adalah seperangkat prinsip-prinsip yang berkaitan dengan orientasi seksual dan identitas gender, dimaksudkan untuk menerapkan standar hukum hak asasi manusia internasional untuk mengatasi pelecehan hak asasi manusia terhadap lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT), dan (secara sekilas) interseks.
Dokumen ini diyakini merupakan cara untuk melegalkan LGBT dengan memasukkan perilaku LGBT sebagai hak asasi manusia yang harus dilindungi. Terutama dari sisi hukum. Terlihat memang, LBGT ini berlindung di balik jargon HAM, dan budaya liberalisme. Doktrin equality (persamaan) adalah ajaran yang disodorkan untuk mengegoalkan perilaku LGBT ini.
Pintu masuk legalisasi LBGT adalah dengan kampanye faham kesetaraan gender. Mereka berusaha mendekonstruksi konsep seksualitas yang sudah mapan dan memperkenalkan konsep seksualitas baru. Lalu mereka membuat konsep jenis kelamin sosial yang dikenal dengan nama gender.
Padahal, baik dari sisi agama maupun kesehatan tidak memiliki alasan untuk dipelihara. Dari kitab suci agama Kristen, Bibel, mengutuk keras pelaku homoseks, karena dinilai perbuatan keji tidak manusiawi. Kitab Imamat 20:30 mengatakan: “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri”.
Dalam Bibel versi King James tertulis, “Jika seorang pria berbaring dengan pria lain, sebagaimana ia berbaring dengan seorang wanita, keduanya telah melakukan kejahatan: mereka harus dihukum mati; darah mereka harus ditumpahkan”.
Dalam pandangan Islam, homoseks disebut liwath, termasuk dosa besar dan perbuatan kotor yang keluar dari fitrah suci. Ia juga merupakan kelainan.
Rasulullah saw bersabda, “Terlaknatlah orang yang mencela ayahnya, terlaknatlah orang yang mencela ibunya. Terlaknatlah orang yang menyembelih bukan karena Allah, terlaknatlah orang yang merubah batas tanah, terlaknatlah orang yang membisu (tidak mau memberi petunjuk) terhadap orang yang buta yang mencari jalan. Terlaknatlah orang yang menyetubuhi binatang dan terlaknatlah orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth (homoseks) ”(HR. Ahmad). Dalam hadis lain Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Luth” (HR Ibnu Majah).
Imam Syaf’i berfatwa bahwa, pelaku homoseksual harus dijatuhi hukuman mati, baik palaku (subjek) maupun yang diperlakukan (objek) sodomi, sebagaimana yang tersurat dalam hadits.
Pandangan normatif agama tidak berbedah jauh dengan perspektif medis. Secara medis homoseks dan lesbi memicu penyakit menular berbahaya, yaitu siphilis, gonorrhoea, dan AIDS. Praktik tersebut juga memicu menurunnya daya pikir disebabkan oleh menurunnya fungsi simpul-simpul syaraf. Prof. Dr. Malik Badri, pakar psikologi asal Sudan, menyarankan agar pelaku-pelaku homoseks dan lesbi diterapi khusus. Pengobatannya dilakukan secara simultan dan bertahap.
Ilmuan Barat Irving Beiber (1909-1991) meyakini bahwa homoseksual merupakan penyakit serta dapat disembuhkan. Ia membuat studi komparasi antara 106 indvidu Homoseksual dan 100 individu heteroseksual dituangkan dalam bukunya Homosexuality: A Psychoanalytical Study of Male Homosexuals. Dalam riset ini Beiber menemukan bahwa homoseksual dapat diubah orientasinya menjadi heteroseksual (menjadi normal) melalui terapi yang dijalankan. Bahkan 12 dari 15 pasien yang dikontrol selama 5 tahun masih konsisten sebagai heteroseksual.
Ilmuan lainnya, Alexandro Rado atau lebih dikenal sebagai Sandor Rado (1890-1972) mengemukakan teori yang memiliki dampak signifikan dalam perkembangan psikiatri Amerika dan pemikiran psikoanalisis pada pertengahan abad ke-20. Rado mengklaim bahwa tidak ada faktor bawaan yang mempengaruhi perilaku biseksual dan homoseksual. Heteroseksual hanya satu-satunya norma biologikal dan homoseksual adalah bentuk fobia yang disebabkan oleh pengasuhan yang tidak tepat.
Hal ini menunjukkan bahwa sudah lama kajian-kajian secara ilmiah dan akademis yang menyatakan homoseksual adalah abnormal yang harus disembuhkan. Jika hari ini ilmuan Barat membuat studi baru yang meyakini homoseksual adalah normal, perlu dikritisi. Sebab, sebagaimana diungkapkan Rado di atas, gerakan kampanye homoseksual merupakan respon fobia dan kesalahan pengasuhan. Jika dilihat dari perspektif pemikiran, kampanye ini adalah dampak dari globalisasi aliran liberalisme. Dimana gerakan liberalisme lebih nampak sebagai gerakan kebencian terhadap religiusitas namun dibungkus dengan pseudo-ilmiah. Karena lahirnya merupakan ‘pemberontakan’ terhadap agama.
Jadi, tidak ada celah dalam agama dan medis untuk pelegalan homoseksualitas. Dalam perspektif agama disebut sebuah tindakan kriminil (jarimah) sedang dalam medis-psikologis perbuatan homoseks merupakan kelainan. Tapi, sekarang, masyarakat digiring untuk tidak menilai sebagai kriminil atau kelainan.
Gerakan kampanye LGBT ini harus cepat diantisipasi. Langkah yang paling penting untuk mencegah penyebaran LGBT tentunya dengan menyadarkan masyarakat agar kembali kepada nilai nilai Islam yang benar sehingga mereka dapat membedakan baik dan buruk berdasarkan pandangan hidup Islam dan bukan melalui kacamata HAM ala Barat. Memperbanyak studi, penelitian dan kajian ilmiah dari sisi kesehatan tentang bahaya LGBT dari sisi sosial dan medis. Jangan sampai Indonesia nanti mengikuti AS yang baru-baru ini melegalkan LGBT secara resmi dan kawin sesama jenis dilindungi. (diolah dari berbagai sumber).
Editor: Admin