Oleh : Bambang Galih Setiawan*
inpasonline.com – Pendidikan merupakan sektor sentral yang berperan dalam mempengaruhi kemajuan dan kemunduran suatu peradaban atau bangsa. Melalui pendidikan, setiap individu terdidik dan tumbuh menjadi berbagai karakter yang memiliki kepribadian dan keilmuan, yang akan diterjunkan memenuhi bidang kehidupan di tengah-tengah hidup sosial. Pandangan umum dan kondisi sosial juga dipengaruhi dengan nilai-nilai hidup yang dibawa oleh individu atau komunitas yang memerankan diri dalam suatu kedudukan dalam masyarakat secara dominan, sehingga membentuk aturan dan sistem hidup ke arah yang baik atau buruk, bersih atau kotor, islami atau sekuler.
Salah seorang ulama dan intelektual besar Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal sebagai Hamka. Telah memberikan suatu pandangan dan perhatian atas permasalahan besar yang pernah dialami negeri ini. Dalam bukunya Falsafah Hidup yang terbit pertama kali pada tahun 1939, Hamka menyebutkan, bagaimana penjajahan yang dilakukan oleh kolonial dalam melemahkan dan menguasai kaum pribumi Indonesia, yang mayoritasnya adalah masyarakat yang beragama Islam dan menjunjung aturan hidupnya sebagai Muslim, adalah melalui sektor pendidikan:
“Setelah dapat menguasai dan menaklukkan Indonesia, siasat Belanda yang utama ialah siasat pendidikan. Pendidikan membuat segolongan putera Indonesia sendiri supaya dapat berpikir cara Belanda. Inilah kelak kemudiannya yang dijadikan alat perkakas untuk mencengkramkan kuku penjajahan atas golongan rakyat yang terbesar. Dalam 350 tahun penjajahan, hanya 71/2% rakyat yang lebih 70 miliun (juta) yang dapat menulis dan membaca.” (Hamka, Falsafah Hidup, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984, hlm. 223.)
Hamka menyebutkan bahwa, siasat utama Belanda untuk menguasai dan menaklukkan Indonesia adalah melalui pendidikan. Terbukti dengan sedikitnya persentase masyarakat yang tidak dapat menulis dan membaca, sehingga tetap menjaga eksistensi Belanda sebagai bangsa yang lebih kuat dan berpengetahuan. Pandangan Hamka dalam melihat pola penjajahan di atas, menjadi representasi gambaran dan kondisi yang pernah terjadi pada masa kolonial di Indonesia. Hal ini juga tampaknya masih relevan dan berlangsung hingga saat ini. Lebih jauh, Hamka menjelaskan bagaimana penjajahan melalui sektor pendidikan, yang berperan strategis dalam menguasai pemikiran dan kehendak kaum pribumi:
“Kepada bangsa Indonesia dimasukkan perasaan bahwa mereka “tidak bisa apa-apa”. Tidak bisa pintar sepintar Belanda. Tidak bisa kaya, sekaya Belanda. Tidak bisa naik pangkat setinggi pangkat Belanda. Dan politik penjajahan “kuno” bangsa Romawi dipakai pula, yaitu “pecahkan dan kuasai”. Akibat seluruh politik ini bukan sedikit membekas ke jiwa bangsa Indonesia. Mereka menjadi pendiam. Lagu-lagu dan nyanyiannya, dan pantunnya jarang yang gembira. Lagu-lagu Gending Sunda, Kinanti Jawa, Sikambang di pesisir Sumatera Timur, adalah nyanyian sedih belaka. Kepada dunia senantiasa dinyatakan “Bangsa yang sesabar-sabarnya dunia.” (Hamka, Falsafah Hidup, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984, hlm. 214)
Jika pendidikan telah menjadi alat penjajahan, maka sangat mudah bagi kaum kolonial mengendalikan pemikiran dan mental bangsa yang dikuasainya. Mental dan jiwa masyarakat Indonesia yang telah terdidik dalam model pendidikan penjajah, akan menjadikannya “menurut” kepada tuannya. Kaum pribumi akhirnya merasa rendah dan kehilangan semangat kepercayaan dirinya, yang seharusnya telah lama terbangun dari pendidikan agama dan kebudayaan yang sudah ratusan tahun mereka pegang di Nusantara. Kegembiraan dan kesenangan yang biasa mereka lakukan dan rasakan dahulu, telah meredup dan diganti dengan kesedihan dan ratapan belaka, melalui irama senandung yang mengungkapkan perasaan hati mereka. Karena “saking” lamanya penjajahan itu berlangsung di Indonesia, kepada dunia dikatakan ia sebagai “Bangsa yang sesabar-sabarnya”.
Melalui jalur pendidikan inilah, kaum kolonial melepas satu persatu pandangan dan prinsip hidup kaum pribumi. Jika pada awalnya dahulu Belanda melakukan suatu bentuk penjajahan yang lebih bersifat frontal melalui militer dan kebijakan, yang membuat keterkalahan bagi kaum pribumi secara politik dan sosial. Namun hal itu ternyata belum dapat mengalahkan pendirian dan prinsip hidup mereka dalam memegang aqidah Islam, yang justru semakin kuat dan melawan ketika ditentang oleh kaum kolonial yang berbeda aqidah dengan mereka. Akhirnya kaum kolonial atau Barat menyadari, dan merubah strategi penjajahan mereka melalui kebijakan “Politik Etis” yang salah satu agenda utamanya melalui pendidikan dengan jalan merubah cara berpikir kaum pribumi.
Hamka menyebutkan, yang membuat bangsa penjajah kuat dan mampu menaklukkan negeri Islam. Yakni karena mereka lebih terpelajar dan tidak terikat oleh agama. Sehingga kaum pribumi yang merupakan orang-orang Islam, jika hendak pintar dan maju seperti mereka pun, dipaksa untuk meniru keilmuan dan melonggarkan ikatan agamanya. Mereka kemudian diminta untuk pandai menyesuaikan diri dengan keadaan. Tidak boleh fanatik dan harus melapangkan diri mengikuti modernitas dan gaya hidup Barat.
Kaum pribumi yang telah silau dengan tawaran kemajuan, akhirnya melepaskan putera-puteri mereka kepada sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial yang saat itu berkuasa, dengan harapan agar dapat bertahan dan meningkatkan taraf hidupnya. Sekolah pemerintah kolonial ini, disebut Hamka memberikan dasar pendidikan “netral agama”, namun sejatinya merupakan bagian dari strategi penjajahan yang secara berangsur ingin memisahkan dan menanamkan kebencian kepada Islam, sebagai agama yang telah mengakar pada keturunan dan lingkungan hidupnya di Nusantara. Hamka secara jelas menyebutkan:
Maka jelaslah dasar pendidikan, yaitu “neutral agama”. Artinya pada sekolah-sekolah pemerintahan agama tidak diajarkan. Sedangkan semata-mata tidak diajarkan lagi membawa kelemahan, apatah lagi kalau ditambah ditambah pula dengan pengajaran setiap hari yang berisikan anasir racun kejemukan, muak dan bosan, dan akhirnya benci kepada agama. (Hamka, Iman dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, hlm. 8)
Lebih jauh dijelaskan oleh Hamka, bahwa dalam buku-buku pengajaran di sekolah-sekolah umum yang disediakan pemerintah kolonial misalnya, digambarkan anak negeri asli dengan muka seburuk-buruknya. Kakinya tidak berterompah, orangnya bodoh-bodoh, hidungnya pesek-pesek dan mukanya hitam berminyak. Mereka adalah bangsa buruh yang kasar dan petani yang kurus. Digambarkan pula orang Arab dengan jubahnya yang ribet dan serbannya yang besar serta menipu orang. Sedangkan bangsa kolonial yang menjadi “tuan-tuan” digambarkan mukanya cakap, sikapnya manis, dermawan dan tahu akan kemanusiaan. Semakin tinggi dan bertambah jenjang atau tingkatan kelas yang ditempuh. Maka semakin jauhlah kaum pribumi yang terdidik dalam sistem pendidikan penjajahan itu, dari agama, masyarakat dan orang tuanya. Hamka kemudian melanjutkan:
Akhirnya setelah sampai sekolah tinggi, mulailah diajarkan “Agama Islam” dari segi “ilmu pengetahuan” Barat, pendapat profesor anu, kupasan sarjana fulan, yang isinya ialah memandang Islam sebagai pandangan orang lain. Maka tidaklah kita heran kelak apabila mereka ini keluar dari dalam sekolahnya, rengganglah minyak dengan air. Bertemulah kita dengan orang Belanda yang lebih dari Belanda. Orang Perancis yang lebih dari Perancis, orang Inggris yang lebih dari Inggris, tetapi kulitnya hitam. (Hamka, Iman dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, hlm. 8)
Pada jenjang pendidikan tinggi, Hamka menjelaskan, kaum pribumi yang telah dikondisikan dan menaruh kepercayaan kuat terhadap Barat. Dengan mudah mengikuti apa yang didiktekan kepada mereka, termasuk dalam materi agama mereka pribadi. Mereka menerima begitu saja, apa yang dinyatakan oleh para professor atau sarjana Barat tentang agama mereka. Mengatakan bahwa agama Islam kolot, fanatik, dan tidak menghargai modernitas. Akhirnya mereka pun ikut-ikutan latah dalam mencibir orang-orang yang taat dalam agamanya sendiri sebagai “fanatik”, serta merasa risih mendengar permasalahan agama yang banyak dibicarakan dalam lingkungan Islamnya. Hal ini secara tidak sadar, telah merubah pemikiran dan sikap mereka menjadi sama dengan kaum kolonial dalam memandang agama mereka dan berbagai perihal. Bahkan dengan bangga, kaum pribumi yang telah terdidik dalam sistem pendidikan kolonial ini, secara lebih bersemangat mencoba menjadi seperti Barat dan lebih dari Barat. Sehingga dikatakan Hamka, mereka itu adalah orang Belanda yang lebih dari Belanda, orang Prancis yang lebih dari Prancis, dan orang Inggris yang lebih dari Inggris, namun mereka tetap tidak bisa menyembunyikan kulit hitam atau rasnya, yang merupakan keturunan asli dari kaum pribumi, yang merupakan kaum jajahan Barat.
Kaum pribumi yang tumbuh dalam sistem pendidikan umum kolonial ini, akhirnya mulai terpisah dengan pendidikan Islam dan masyarakatnya. Mereka tidak tahu lagi cara melakukan sholat, puasa, zakat dan rukun-rukun Islam lainnya. Hidup mereka lebih tertutup dan khusus untuk memenuhi kepentingan diri sendiri, sebab telah merasa jemu melihat lingkungan hidupnya yang taat beragama, yang dipandang sebagai orang-orang yang kolot dan tertinggal dari modernitas. Mereka merasa jijik jika harus sholat jumat dan berdekatan dengan bang Ali tukang becak dan pak Amat tukang sate. Hanya saat upacara kematian saja mereka memanggil orang-orang “fanatik” yang tinggal disekeliling tempat tinggalnya, meminta tolong untuk mengurus mayit. Karena mereka sudah tidak tahu lagi.
Hamka kemudian melanjutkan. Meskipun kaum pribumi ini secara terang tidak memperlihatkan dan menunjukkan identitas agamanya. Namun jika ditanya tentang keyakinannya, terkadang mereka juga masih mengaku “Orang Islam”. Sebab ayah bunda mereka adalah orang Islam, nama mereka pun adalah nama Islam. Mirisnya babi tetap di makan juga, minum khamar dan brendy sudah menjadi kebiasan yang tidak dapat dilepaskan. Apa yang dinamai oleh masyarakat Islam selama ini dengan “zina” dan sangat dibenci atau ditakuti, bagi mereka bukanlah permasalahan. Bagi mereka hal itu merupakan urusan “pribadi”. Apalah lagi jika didorong karena “suka sama suka”, siapa yang berhak menghalanginya? Diterangkan Hamka dengan panjang lebar. Hamka juga menambahkan bagaimana tabiat atau kebiasaan mereka, serta alasan rapuh pandangannya:
Dengan tangkas dicela caci orang yang beristri lebih dari satu (poligami). Poligami adalah alamat kemunduran dan menyakiti hati kaum wanita. Karena memang banyak wanita yang sakit hatinya kalau suaminya beristri seorang lagi, tetapi tidak sakit hatinya kalau suaminya ngeluyur mencari kepuasan ke luar rumah! Dengan “poligami” yang tidak ada batasnya! (Hamka, Iman dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, hlm.9)
Sampai di Jawa Tengah, orang-orang tidak segan memakai istilah yang dibuat oleh penjajah, “mutihan” dan “ngaputih” yang digunakan untuk menunjuk para kyai dan santri yang teguh mengerjakan perintah agama. “Ngabangan” ialah orang yang mengakui diri bahwa mereka masih Islam, tapi tidak mengerjakan perintah-perintah agama. Didikan“netral” khususnya dalam agama, menurut Hamka kalau diperhatikan dengan seksama, hanya terhadap putera-putera orang Islam atau kaum pribumi saja. Orang Kristen dengan Misi dan Zendingnya bergiat terus mendirikan sekolah-sekolah berdasar agama dan mereka pun bekerjasama dengan pemerintah kolonial dalam misi melemahkan dan memisahkan pribumi dari agama Islam.
Dilema bagi orang yang terdidik dalam pendidikan Barat, yang bertentangan dengan aqidah dan lingkungannya. Memaksa mereka untuk mencintai apa yang bukan miliknya, dan meninggalkan apa yang seharusnya menjadi ibunya. Jiwa dan kepribadiannya akhirnya terbelah, tidak mudah diterima oleh lingkungan diri dan orang lain. Pada lingkungannya ia merasa jauh dan terpisah oleh sebuah jurang antara dirinya dan kepada orang-orang yang teguh dalam beragama. Kepada lingkungan Barat ia belum tentu didengar dan diperhatikan oleh mereka, sebab ia bukanlah orang asli dari kalangan Barat sendiri. HAMKA mengatakan:
“Sebab itu kalau kita berjumpa pergaulanyang rapat diantara orang Kristen terpelajar dengan keturunan Islam terpelajar, sama-sama minum tuak, sama-sama berdansa dan lain-lain; nanti kalau datang waktu makan, si terpelajar Kristen menyusun tangannya terlebih dahulu, sembahyang menurut agamanya sebelum sendok dan garpu tercecah ke pinggan makan. Sedang si Islam terpelajar tadi tidaklah tahu apa yang akan dibacanya. “Bismillah” saja, merekapun tidak tahu. Bahkan kalau didengarnya orang membaca “Bismillah”, diapun tertawa penuh ejekan. Dan hari Minggu si Kristen kawannya tadi pergi ke gereja. Sehingga kalau si terpelajar Islam tadi datang ke rumah kawannya itu hari minggu, tidaklah akan berjumpa, sebab dia ke gereja. Sedang si terpelajar orang Islam tadi, meskipun kantornya ditutup lekas pada hari Jum`at, tidaklah dia ke mesjid!” ((Hamka, Iman dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, hlm. 10).
Pernyataan HAMKA tersebut menarasikan, bagaimana ironi seorang Muslim yang meninggalkan agamanya dan bangga kepada pendidikan dan kehidupan Barat. Sedangkan orang Barat yang mendidiknya sendiri, belum tentu terlalu bangga dan meninggalkan agamanya. (Surakarta, Senin, 9 Mei 2016).
Penulis adalah Mahasiswa Ma`had `Aly Imam al Ghazally, Karanganyar, Solo