Perlu Bukti
Nabi Muhammad SAW manusia paling mulia. Sedemikian mulianya, bahkan Allah dan para Malaikat bershalawat kepadanya. “Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS Al-Ahzab [33]: 56).
Makna bershalawat pada ayat di atas, bahwa jika itu dari Allah maka berarti Allah memberi rahmat. Jika itu dari Malaikat, maka berarti Malaikat memintakan ampunan. Jika itu dari orang-orang mukmin maka berarti doa dari mereka supaya Nabi SAW diberi rahmat.
Nabi SAW adalah manusia yang harus paling dicintai umat Islam. Tentang ini, Nabi SAW sendirilah yang mengajarkannya. “Tidaklah benar keimanan seorang dari kalian sampai aku menjadi orang yang lebih dia cintai dari anaknya, dari orangtuanya bahkan dari seluruh manusia sekalipun” (HR Bukhari, Muslim dan al-Nasa’i).
Terkait kadar cinta kita kepada Nabi SAW, dialog Umar bin Khaththab ra dengan Nabi SAW berikut ini menarik. Suatu ketika Umar ra berkata kepada Nabi SAW, “Demi Allah wahai Rasulullah, engkau adalah orang yang paling aku cintai dari apapun kecuali dari diriku sendiri”. Nabi SAW menjawab, “Tidak begitu wahai Umar. Engkau keliru. Aku harus lebih engkau cintai, bahkan dari dirimu sendiri”. Umar sadar akan kekeliruannya, lalu berkata, “Demi Allah, engkau lebih aku cintai dari apapun, bahkan dari diriku sendiri”. Nabi SAW tersenyum dan berkata, “Sekarang, telah sempurna imanmu wahai Umar” (dari HR Bukhari).
Cinta butuh bukti. Maka, salah satu bukti kecintaan kita kepada Nabi SAW adalah membela kemuliannya. Kita bela kehormatannya, baik dulu di saat Nabi SAW masih hidup maupun di ketika dia telah tiada.
Sejenak kita buka sejarah! Di sepanjang sejarah Islam, penghinaan terhadap Nabi SAW kerap muncul. Lalu, bagaimana seharusnya sikap kita? Lihatlah! Di antara karya Ibnu Taimiyah ada yang berjudul “Al-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim al-Rasul” (Pedang Terhunus bagi Pencaci Rasul). Buku tersebut penting, karena bisa menjadi dasar bahwa betapa seorang Muslim tidak boleh luntur kecintaannya kepada Nabi SAW, kapanpun. Siapa saja yang menghina Nabi SAW hukumannya adalah bunuh (Qosim Nursheha Dzulhadi – www.hidayatullah.com 18/09/2012).
Terkait ini, ada riwayat. Dari Ali bin Abi Thalib ra: “Bahwa ada seorang wanita Yahudi yang sering mencela dan menjelek-jelekkan Nabi SAW. Maka (oleh karena perbuatannya tersebut), wanita itu dicekik sampai mati oleh seorang laki-laki. Ternyata Rasulullah SAW menghalalkan darahnya” (HR Abu Dawud).
Lihatlah lagi, bagaimana di kemudian hari umat Islam memeragakan pembuktian kecintaan mereka terutama di saat-saat Nabi SAW dihina. Berdasar sebuah Risalah, ada sebuah kisah nyata tentang bagaimana resiko yang harus diterima oleh seorang penghina Nabi SAW.
Alkisah, Ya’qub bin Jakfar bin Sulaiman suatu saat ikut berjihad bersama Khalifah Al-Mu’tashim ke wilayah Al-Ammuriyah, wilayah Romawi yang paling kuat ketika itu. Saat pasukan Muslim berada di depan benteng Al-Ammuriyah, seorang lelaki Romawi berdiri di atas benteng sambil mencela Nabi SAW. Itu dilakukannya setiap hari secara terang-terangan dengan menyebut nama dan nasab dalam bahasa Arab. Pasukan Muslim marah, namun mereka tak mampu berbuat apa-apa karena panah tak bisa menjangkaunya.
Ya’qub bin Jakfar –seorang pemanah ulung- mencoba membidikkan panahnya ke arah penghina Nabi SAW itu. Subhanallah, panah Ya’qub tepat mengenai leher lelaki Romawi itu. Pasukan Islam serentak bertakbir –bergembira-, termasuk Khalifah Al-Mu’tashim (Thoriq – www.hidayatullah.com 21/09/2012).
Demikianlah, ajaran dan praktik tentang bagaimana seharusnya umat Islam mencintai dan sekaligus membela Nabi SAW.
Habis-habisan!
Di September 2012, kembali Nabi SAW dihina dan kali ini lewat film The Innocence of Muslims. Si pembuat film berkewarganegaraan AS. Saat trailer film tersebut diunggah di Youtube, sontak menuai kecaman dari berbagai penjuru.
Setidaknya, ada empat catatan yang bisa kita cermati. Pertama, tampak The Innocence of Muslims sejak awal dibuat berdasarkan niat buruk. Proses pembuatannya penuh tipu daya. Proses editing gambar dan narasi, manipulatif. Para awak film-nya dibohongi, misal tentang jalan cerita dan peran mereka. Si pembuat tiba-tiba mengubah judul dan naskah di tengah-tengah proses syuting. Awalnya, produser mengaku akan menggarap film berjudul “Desert Warrior”, sebuah film sejarah Arab di gurun (www.viva.co.id 13/09/2012).
Kedua, kecuali untuk menghina Nabi SAW dan memberi citra yang salah tentang (umat) Islam, sangat mungkin si pembuat film berniat memrovokasi umat Islam agar marah. Lalu, ketika umat Islam ‘bergerak’, stempel tebal akan lebih mudah mereka timpakan kepada umat Islam sebagai ‘sang teroris’.
Ketiga, selama ini umat Islam kerap dituding sebagai pihak yang tidak toleran. Tapi, kasus The Innocence of Muslims membuktikan hal sebaliknya. Si pembuat film tidak mau memerhatikan bagaimana posisi Nabi SAW yang sangat mulia dan sangat dihormati umat Islam. Lalu, penguasa di negara tempat film itu dibuat tampak melindungi si pembuat film dengan bersandar kepada bualan usang bahwa itu bagian dari “kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi”.
Berbagai kasus penghinaan –termasuk lewat The Innocence of Muslims- adalah bukti tak terbantahkan bahwa sejatinya mereka (antara lain si pembuat film itu plus semua yang berpihak kepadanya) adalah pihak yang tak pernah menghargai perasaan orang lain (baca: umat Islam). Merekalah yang tak toleran.
Terakhir, keempat, penentangan terhadap The Innocence of Muslims yang dilakukan umat Islam secara merata di berbagai belahan dunia adalah ekspresi tak terbantahkan bahwa iman masih bersemayam di diri mereka. Bahwa ketika Nabi SAW –Sang Tercinta- dihina, umat Islam akan habis-habisan membelanya. Untuk apa? Agar tak gagap menjawab pertanyaan di awal tulisan ini. []