Samarinda; Masjid Shirathal Mustaqiem yang Bersejarah

Oleh Jamaluddin, dokter dan tinggal di Kamal

Masjid Shiratal Mustaqiem Samarinda

sumber gambar : Oleh Arief R. Randan (Ezagren), Attribution, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=12426103

inpasonline.com – Perjalanan ke Balikpapan untuk menghadiri Seminar Mata Rivom 2 pada 7-8 Februari 2025 membawa saya pada sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Kamis pagi 6 Februari 2025 saya dan istri memilih rute Surabaya menuju Samarinda, bukan langsung ke Balikpapan.

Memilih rute itu karena bisa memberi kesempatan kami untuk reuni dengan kerabat di Samarinda. Dia seorang kerabat sekaligus sahabat di masa kecil. Kini dia menjadi ustadz kondang. Ghufron, namanya.

Setelah 25 tahun tak bersua, akhirnya kami bertemu. Ghufron, yang berasal dari Bangkalan – Madura, telah lama merantau ke Kalimantan Timur. Di tanah Borneo, ia sukses dalam keluarga dan dalam dakwah.

Tiga anaknya. Dua sudah menyelesaikan S1, sementara anak bungsunya masih semester lima di UIN Samarinda. Di samping itu, ia juga menjadi figur penting dalam dakwah agama Islam, terutama di kalangan masyarakat pedalaman Kutai. Sebagai seorang sahabat, saya ikut merasa bangga melihat pencapaiannya.

Sama Rendah

Nama “Samarinda” berasal dari kata “sama rendah”, menggambarkan kondisi geografisnya yang berupa tanah rawa dan lembah. Dahulu, rumah-rumah penduduk berbentuk rumah panggung, mengikuti karakteristik tanah yang tergenang air. Terdapat juga rumah adat khas Dayak yang disebut “Lamin Etam”, yang hingga kini masih dilestarikan sebagai rumah gubernur Kalimantan Timur.

Namun, berbeda dengan Kalimantan Selatan yang lebih banyak dipengaruhi oleh budaya Islam, di Samarinda unsur adat masih lebih dominan. Meskipun mayoritas penduduknya Muslim, rumah-rumah adatnya tidak banyak dipengaruhi oleh sentuhan Islam seperti di Banjar atau daerah lainnya.

Memilih Masjid

Samarinda menyambut kami dengan cuaca yang cukup panas. Hal ini wajar mengingat posisinya di garis khatulistiwa. Masih beruntung saat kami di sana, masih musim penghujan.

Penerbangan pesawat pukul 7 pagi dari Surabaya membawa kami tiba di Bandara Samarinda sekitar pukul 10 pagi. Usai dijemput, kami langsung menuju kediaman kakak dari Ustadz Ghufron. Sarapan lontong dan sate Madura. Ini lezat, dan menjadi santapan pembuka hari itu.

Setelah bersilaturrahim, saya pun menyampaikan maksud untuk mengunjungi masjid tertua dan bersejarah di Kalimantan Timur. Sebagai seorang yang gemar mengunjungi masjid-masjid bersejarah, saya selalu menyempatkan diri untuk beribadah di masjid-masjid besar atau yang memiliki keunikan tertentu.

Kali ini, pilihan jatuh pada Masjid Shirathal Mustaqiem. Itu, masjid tertua di Kalimantan Timur yang terletak di tepi Sungai Mahakam.

 

Cagar Budaya

Kami pun menuju Masjid Shirathal Mustaqiem. Masjid ini dibangun pada tahun 1881. Terletak di Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang.

Penulis dan istri di depan Masjid Shirathal Mustaqiem

Pendirian masjid ini diprakarsai oleh Sayyid Abdurahman Assegaf, seorang saudagar Muslim asal Pontianak yang tiba di Kesultanan Kutai pada tahun 1880. Atas peranannya dalam masyarakat, Sultan Kutai Kartanegara-Aji Muhammad Sulaiman-mengangkatnya sebagai Kepala Adat dan Agama di Samarinda dengan gelar Pangeran Bendahara. Setahun kemudian, pada 1881, Sayyid Abdurahman bersama tokoh masyarakat setempat memulai pembangunan masjid ini.

Masjid Shirathal Mustaqiem memiliki arsitektur khas Melayu Kalimantan dengan dominasi material kayu ulin yang terkenal kuat dan tahan lama. Salah satu ciri khasnya adalah menara setinggi 21 meter yang seluruhnya terbuat dari kayu. Masjid ini juga memiliki empat tiang utama (soko guru) yang menjadi penopang struktur bangunan.

Selain sebagai tempat ibadah, masjid ini menjadi saksi sejarah perkembangan Islam di Kalimantan Timur dan berfungsi sebagai pusat syiar Islam pada masanya. Masjid Shirathal Mustaqiem pernah meraih peringkat kedua dalam festival masjid-masjid bersejarah di Indonesia pada tahun 2003.

Hingga kini, Masjid Shirathal Mustaqiem tetap berdiri kokoh dan menjadi salah satu cagar budaya yang dilindungi, mencerminkan kekayaan sejarah dan budaya Islam di Samarinda.

 

Performa Masjid

Letak Masjid Shirathal Mustaqiem berada di tepian Sungai Mahakam. Ini, menambah kesan historisnya. Bagaimana kondisinya, dulu dan kini? Berikut ini sekadar perbandingan.

Pada masa lalu:

  • Bangunannya sederhana namun artistik.
  • Lantai dan tiang dari kayu ulin yang kokoh meski sudah berusia ratusan tahun.
  • Ada bedug besar berbentuk memanjang.
  • Penerangan masih minim, hanya menggunakan lampu minyak atau lilin.

Penulis (kiri) dan Ustadz Ghufron. Tampak di belakang, bedug kuno.

 

Sementara, inilah performanya kini:

  • Penerangan sudah menggunakan lampu listrik yang modern.
  • Karpet telah diganti seperti umumnya di masjid-masjid lain.
  • Pagar dan fasilitas lainnya diperbarui.
  • (Saat kami berkunjung) Tempat wudhu dan toilet sedang dalam tahap renovasi.
  • Meski telah dilakukan renovasi, bangunan utama masjid tetap dipertahankan untuk menjaga nilai sejarahnya. Menaranya yang tinggi masih berdiri kokoh, seolah menjadi simbol keteguhan Islam di Samarinda.

Tak Terlupakan

Kami tiba di Masjid Shirathal Mustaqiem sekitar pukul 14.00 dan melaksanakan shalat dzuhur-ashar dengan jamak taqdim. Di dalam masjid, saya memilih tempat shalat di tengah ruangan, tepat menghadap arah kiblat yang lurus dengan area imam. Di sampingnya, terdapat mimbar khatib yang terlihat kuno, memberikan nuansa seolah saya berada di masa lampau.

Penulis dan istri di ruang utama dalam Masjid Shirathal Mustaqiem

Di beberapa bagian masjid sudah mengalami modernisasi, seperti lampu utama yang telah diganti dengan model masa kini. Namun, elemen arsitektur klasik masih sangat kental terasa, terutama pada tiang-tiang besar dari kayu ulin yang tetap kokoh meski telah berusia ratusan tahun. Lantainya juga terbuat dari kayu ulin, terhampar rapi dan memberikan kesan klasik yang indah.

Masjid ini dibangun dengan konsep rumah panggung, mengikuti kondisi geografis Samarinda yang dahulu merupakan daerah berawa. Seiring waktu, bangunan ini mungkin terlihat semakin rendah dibandingkan tanah di sekitarnya. Saat kami berkunjung, para pengurus masjid tampak sedang melakukan beberapa renovasi, terutama di area tempat wudhu, toilet, dan taman.

Sementara itu, bangunan utama masjid, termasuk menara khasnya, tetap dipertahankan. Selain masih kokoh, struktur asli ini memiliki nilai sejarah yang tinggi, menjadikannya daya tarik tersendiri bagi para pengunjung dan jamaah. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *