Pencapaian prestasi masjid kampus semacam ini harus terus berkelanjutan (sustainable). Aktivis masjid pada setiap zaman harus selalu menjadi front liner dalam setiap perubahan. Dengan kata lain, aktivis kampus harus mampu menjadi agent of change maupun stake holder bagi bangsa Indonesia yang tengah menapaki jalan menuju developed country.
“Aktivis masjid Universitas Airlangga telah banyak yang sukses merambah dunianya masing-masing. Ada yang pernah jadi utusan yang dikirim ke Gaza Palestina, jadi pimpinan redaksi sebuah media besar di tanah air, direktur rumah sakit, pengusaha besar, dan sebagainya,” tukas Dr. Moh. Nasih, SE., MT., Ak., Pembantu Rektor II Universitas Airlangga (UNAIR) yang sekaligus merangkap Ketua Ta’mir Masjid Nuruzzaman UNAIR dalam acara “Istihlal UKMKI UNAIR 1432 H” pada Minggu, 11 September 2011. Acara yang diselenggarakan sebagai ajang silaturrahim alumni masjid UNAIR ini bertempat di Aula Kahuripan lt.2 Perpustakaan UNAIR Kampus C.
Pak Nasih menekankan agar pengurus UKMKI UNAIR bisa meraih kesuksesan dunia dan akhirat. Salah satu indikatornya adalah mereka harus bisa berprestasi di masjid maupun di luar masjid. “Tidak ada alasan menjadi pengurus masjid kampus lalu nilai akademiknya jeblok. Pengurus yang dulu-dulu malah ada yang bisa menjadi dosen di UNAIR dan menjadi Ketua BEM UNAIR yang pertama,” tegas pak Nasih yang juga alumni UKMKI UNAIR dan kini juga menjadi tenaga pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNAIR. Untuk bisa menjadi dosen di UNAIR, diperlukan nilai akademik yang tinggi. Jika ada mantan pengurus masjid yang bisa menjadi dosen di UNAIR, berarti dia mampu menjalankan perannya sebagai mahasiswa sekaligus aktivis, dengan baik.
Sudah jamak berlaku secara tidak tertulis bahwa betapa pun sibuknya mahasiswa yang menyandang gelar pengurus UKMKI, mereka tidak boleh melalaikan tugasnya sebagai mahasiswa yang setiap harinya juga harus berkutat dengan kegiatan akademik.
Para peserta yang terdiri dari alumni UKMKI UNAIR mulai dari angkatan 1970-an hingga angkatan 2000-an tampak antusias mengikuti jalannya acara, terutama saat Asset Attakwa, Ketua Umum UKMKI UNAIR periode 2011-2012 menyajikan foto-foto jadul pengurus UKMKI. Seluruh kegiatan yang pernah digagas oleh pengurus UKMKI memang selalu terdokumentasi dengan baik, sehingga bisa menjadi bank data bagi para pengurus dari generasi ke generasi.
“Acara istihlal ini bukan sekadar untuk kumpul, makan-makan kemudian pulang. Lebih dari itu semua, yang terpenting adalah terjadinya transfer ilmu serta pengalaman antara generasi tua dan penerusnya serta terjalinnya komunikasi di antara mereka. Atmosfer silaturrahim harus terus dibentuk,” kata salah seorang peserta Istihlal.
Degradasi Aktivis
Di sela-sela menyajikan foto-foto jadul pengurus, Asset yang merupakan mahasiswa Fakultas Farmasi UNAIR sempat menyampaikan curhat khas aktivis. “Ketika dipilih menjadi Ketum UKMKI UNAIR, saya sempat melayangkan protes yang bersifat apologi. Saya sampaikan ke teman-teman, saya ini berasal dari Fakultas Farmasi yang kuliahnya padat dan praktikumnya banyak. Akan sangat sulit membagi waktu antara kuliah dan organisasi. Tapi, begitu saya mengetahui bahwa Pak Abdurrohim, mantan Ketum UKMKI berasal dari fakultas yang sama dengan saya dan beliau pergi kuliah dengan berjalan kaki, saya luluh,” jelas Asset panjang lebar, yang disambut tawa peserta.
Mengenai degradasi dalam tubuh lembaga dakwah kampus pada umumnya, Asset menyatakan ada banyak faktor yang menjadi trigger, diantaranya tuntutan akademik yang makin tinggi demi memenuhi hasrat globalisasi. Filosofi “menuntut ilmu adalah untuk mencari uang”, saat ini kian terbukti.
Selain itu, perkembangan teknologi juga menyumbangkan banyak masalah. “Setelah ada internet, banyak budaya yang hilang, antara lain budaya diskusi, juga silaturrahim. Solidaritas juga menurun,” jelasnya. Asset menambahkan, sebelum internet menjadi bagian dari gaya hidup dan kehidupan, aktivis jadul bahkan rela jalan kaki untuk mengantarkan undangan acara kepada saudara dan birokratnya. “Mungkin aktivis sekarang berpikir jauh lebih banyak daripada aktivis dulu hanya untuk menemui saudaranya. Mungkin karena kemudahan SMS dan internet, sehingga silaturrahim tidak sebaik dulu,” imbuhnya, prihatin.
Degradasi solidaritas juga dialami aktivis yang hidup dalam era dimana – meminjam istilah Thomas Friedman – “tembok pembatas ruang dan waktu telah runtuh”. Pada saat aktivitas yang menuntut pertemuan di dunia nyata terjadi, tidak sedikit aktivis yang lebih disibukkan dengan hand phone-nya atau Facebook-nya daripada berinteraksi dengan aktivis lain yang tengah berada tidak jauh dari teman-temannya sesama aktivis. “Meski soft copy e-book kitab-kitab banyak di internet, berapa persen sich yang tertarik? Berarti tawaran kehidupan yang bagaimana yang lebih diminati aktivis kita pada masa sekarang ini?,” tegasnya.
Namun Asset tidak sepenuhnya menyalahkan internet. Cara pandang aktivislah yang perlu diubah. Ia menghimbau agar aktivis sekarang hendaknya tidak terjebak oleh kehidupan semu yang ditawarkan dunia maya. “Semu tidaknya kehidupan yang dialami seseorang bisa dilihat dari produktivitasnya, kualitasnya, kerendahan hatinya. Mengapa? Karena ia tahu bagaimana cara mempergunakan sesuatu. Dalam konteks internet ini, mungkin aktivis kita saja yang bingung batasan-batasan dalam mempergunakannya,” tuturnya diplomatis.
Asset Attakwa merupakan salah satu aset berharga yang dimiliki UKMKI UNAIR saat ini. Di sela kesibukannya yang seolah tidak pernah habis, Asset masih sempat menghapal al-Qur’an. Pada bulan Ramadhan kemarin, Asset menjadi imam sholat tahajud di masjid UNAIR. Bacaan al-Qur’an Asset fasih dan tajwidnya benar. “Saya pernah belajar qiro’ah saat SMA dan pernah talaqi sama seorang ustadz dari Malang terkait fashohah. Sekarang saya sedang mengikuti kegiatan tahfizh di Asy-Syifa’,” jelasnya. Semoga di masa depan akan muncul Asset-Asset berikutnya yang memiliki pandangan kritis sekaligus pondasi keilmuan yang kuat. Dengan begini, maka proyeksi menciptakan aktivis masjid yang sukses dunia-akhirat mampu terwujud. (Kartika Pemilia)