Madinah; Inspirasi dan Energi Melimpah

Madinah_Inspirasi dan Energi Melimpah

Telaah buku oleh M. Anwar Djaelani  

Berkah Madinah Penggerak Sejarah_cover_transparent

Judul buku  : Berkah Madinah Penggerak Sejarah

Penulis        : Edgar Hamas

Terbit          : 2020

Penerbit      : Pro-U Media – Jogjakarta

Tebal          : 200 halaman

inpasonline.com – Kita diperintahkan Allah untuk banyak berjalan di muka bumi. Pandanglah semesta, lalu ambil hikmah. Itu, akan membuat hidup kita semakin bermakna. Jelajahilah alam dan secara bersamaan ambillah pelajaran. Terkait, tak cukup hanya membaca buku sejarah dan membaca kisah di lembar-lembarnya.

 

Pesona Madinah

Resapilah hadits ini: “Janganlah kalian mengkhususkan melakukan perjalanan jauh, kecuali menuju tiga masjid yaitu Masjidil Haram, masjidku (Nabawi), dan Masjid Al-Aqsha” (HR Bukhari – Muslim).

Baiklah, sekarang kita berkonsentrasi untuk menuju Madinah, kota yang di dalamnya ada Masjid Nabawi. Untuk itu, sangat perlu kita mempelajari apa-apa yang terkait dengan Masjid Nabawi. Bahkan, secara luas, kita butuh mengerti, apa saja saja yang ada di Madinah.

Untuk itu sebelum berangkat ke Madinah, pelajari tentang Kota Nabi itu. Di antaranya, bisa belajar lewat buku. Jika ini pilihannya, maka salah satu buku yang bisa dipilih adalah karya Edgar Hamas (selanjutnya ditulis EH) ini.

Buku ini menarik untuk sejumlah hal. Misal, pertama, keterkaitan langsung EH dengan Madinah. Bahwa, penulisan buku ini bisa dibilang dimulai pada 2017, ketika EH memasuki Madinah untuk kuliah di Universitas Islam Madinah. Sebelumnya, EH sempat belajar di Mesir. Saat di Mesir, dia menulis buku berjudul Belajar ke Negeri Para Nabi.

Kala mulai menetap di Madinah, EH merasa zalim jika tidak bisa mendudukkan Madinah dengan tepat di hati dan pikiran kaum Muslimin. Dia gelisah melihat begitu banyak peziarah datang ke Kota Nabi tetapi tak punya waktu menjiwai Masjid Nabawi dan pemakaman Baqi’. EH sedih jika banyak yang tak meluangkan pikiran untuk merenungi Bukit Uhud dan Parit Khandaq. EH galau jika peziarah tak sempat mentadaburi Masjid Quba dan Masjid Qiblatain.

Buku ini, adalah ikhtiar dari EH untuk menemani siapapun yang ingin datang dan menjiwai Kota Nabi, terlebih jika sedang ke Masjid Nabawi. Rugi besar, rasanya, jika pulang ke Tanah Air tapi tak meneguk energi Madinah.

EH ingin bercerita tentang mutiara-mutiara Madinah. Bahwa, Madinah adalah kota yang penuh energi. Menariknya, energi itu akan dialirkan untuk kita bahkan sekalipun kita belum sampai ke Kota Suci itu (h.16).

Kita perlu terus terhubung dengan sejarah kita. Bukan untuk terjebak masa lalu, bukan sekadar mengenang kejayaan nenek-moyang. Kita perlu terhubung dengan sejarah dalam setiap momen kita, untuk meeruskan benang merah genetik kepahlawanan mereka, para pembebas (h.47).

Takwa di Quba

Masjid Quba itu serba putih, dari jauh sudah bisa dilihat keindahannya. Inilah masjid pertama yang dibangun Rasulullah Saw di muka bumi. Masjid Quba tidak jauh dari Masjid Nabawi, kira-kira 10 sampai 15 menit jika ditempuh dengan bus.

Dulu, setiap pekan Rasulullah Saw selalu menyempatkan untuk shalat di sana. “Dahulu, Nabi Saw mendatangi Masjid Quba setiap hari Sabtu dengan berjalan kaki ataupun menunggangi kendaraannya. Lalu, shalat di dalamnya,” tutur Umar bin Khaththab Ra.

Hal yang membuat Masjid Quba menjadi lebih istimewa adalah kisah-kisah Sahabat yang membuatnya makin dicintai. Tidak banyak yang membahas tentang betapa gesitnya penduduk sekitar Quba menyambut Rasululullah Saw ketika menapakkan langkah pertamanya di sana.

Tak banyak yang mentadaburi betapa hangatnya sambutan penduduk Quba kepada Nabi Saw. Mereka bertakwa tanpa banyak tanya. Mereka menyambut seruan Rasulullah Saw untuk membangun masjid tanpa harus bilang nanti nanti saja. Itulah mengapa Al-Qur’an menggambarkan Masjid Quba dibangun dengan fondasi paling kuat, takwa (h.112-115).

Masjid Nabawi

Keutamaan yang Agung

Dalam hal keutamaannya, perhatikan sabda Nabi Saw ini: ”Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1.000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

 

Tiang-Tiang Nabawi

Masjid Nabawi bukan masjid biasa. Selain karena di hamparannya ada sejarah dan makam Rasulullah Saw, di sana kita akan tahu bahwa masjid seyogyanya lebih dari sekadar tempat untuk shalat saja. Ia adalah miniatur negara dengan segala dimensinya termasuk tentang fakta bahwa Nabawi menjadi magnet pengetahuan.

Tiang-tiangnya saja bisa menjadi inspirasi. Di tiang-tiang itu, hingga kini ada puluhan ulama Madinah yang setiap bakda subuh, sore, atau maghrib hingga isya’ mengeja narasi syariat Islam yang megah lagi menghidupkan. Masya Allah, indah (h.108-109).

“Tradisi tiang-tiang” itu, yang menyuguhkan para guru untuk didatangi dan diilmui ajarannya, bukan hal baru. Bukan pula inisiatif atau sebuah pagelaran yang diperintahkan oleh pihak Kerajaan Arab Saudi. Hal yang seperti itu terjadi karena Rasulullah Saw bersabda, sebagaimana HR Ibnu Majah, bahwa “Barang siapa mendatangi masjidku ini dan dia tidak datang kecuali karena sesuatu yang dia pelajari atau diajarkan maka dia seperti seorang mujahid fi sabilillah” (h.120).

 

Raudah Penggugah

Raudah, sepetak tanah yang kecil jika dibandingkan dengan luas Masjid Nabawi. Tetapi ia menyimpan sejarah yang besar. Raudah itu kecil mungil jika dibandingkan Masjid Nabawi seluruhnya. Namun di sana ada sesuatu yang jika mentadabburinya kita akan tahu kedudukannya yang mulia.

Di situ ada kenangan gagah tentang hidup manusia yang paling mulia. Dalam ruang 22 X 15 m itu, ada tempat favorit Rasulullah Saw ketika beliau duduk dan shalat di Masjid Nabawi tepatnya di sebelah kanan mihrabnya, yang kini dinamakan dengan tiang Mukhallaqah (190).

Di Raudah ada titik tempat sahabat muhajirin berdiskusi atau mendengarkan nasihat Nabi Saw. Ada titik tempat Rasulullah Saw dan sahabat iktikaf menghidupkan malam. Tak jauh, di belakangnya, ada titik Al-Mihras. Itu, tempat Sahabat menjaga Rasulullah Saw. Titik itu juga disebut tiang Ali (bin Abi Thalib Ra) sebab paling sering menjaga. Ada lagi titik, tempat Rasulullah Saw biasa menyambut delegasi negara-negara Arab yang dalam kunjungan diplomasi maupun untuk belajar Islam.

Seluruh keadaan di Raudah, sederhana. Terasa, Rasulullah Saw ingin mengajarkan kepada kita: Dunia boleh dicari, tapi jangan sampai berlebihan. Ia harus digenggam di tangan, bukan di hati (h.189-190).

Taat di Qiblatin

Hal yang membuat Madinah mulia, bukan hanya tentang fakta dijadikannya kota itu sebagai tujuan hijrah Nabi Saw. Juga, bukan hanya tentang rimbunnya kebun dan suburnya ladang. Pun, bukan karena airnya yang jernih dan kurmanya yang manis.

Di luar itu, juga karena penduduknya yang istimewa. Mereka menjawab seruan Nabi Saw dengan sukacita. Senang bersama, siap pula sedih bersama. Membela bukan karena beban, tapi karena rasa cinta yang bergulung-gulung membentuk ombak sejarah baru (h.123-124).

          Awalnya, di Madinah, shalat menghadap Masjid Al-Aqsha yang letaknya di Palestina. Arah dari Madinah, ke utara. Sekitar 16 bulan, keadaan yang seperti ini berlangsung. Lalu, turun wahyu, agar saat shalat menghadap Masjidil Haram (baca QS Al-Baqarah [2]: 144). Saat wahyu turun, bertepatan waktu ashar. Rasulullah Saw mengimami shalat di Masjid Nabawi dengan berbalik arah dari sebelumnya, dari ke arah utara menjadi ke selatan.

Kabar itu menyebar, termasuk sampai kepada perkampungan Bani Salamah, sekitar 5 km dari Masjid Nabawi. Kampung itu memiliki masjid sendiri sebab memang dimungkinkan karena jaraknya yang jauh dari Masjid Nabawi. Masjidnya, bernama Masjid Bani Salamah.

Sore itu mereka sedang melaksanakan shalat ashar dan belum tahu bahwa kiblat telah berpindah ke arah Ka’bah. Mereka tetap melakukan shalat seperti biasa, khusuk, dan penuh makna.

Tiba-tiba di tengah heningnya shalat ashar yang masih setengah jalan itu, ada seorang Sahabat yang baru pulang dari Masjid Nabawi dan dia mengikuti shalat ashar pertama di mana Rasulullah Saw berkiblat ke arah Ka’bah. Dia berseru lantang, “Aku bersaksi kepada Allah, sungguh aku tadi shalat bersama Rasulullah Saw menghadap Ka’bah di Mekkah”.

Tanpa ragu, serentak jamaah shalat Masjid Bani Salamah bergerak bersama memindahkan muka mereka dari utara ke selatan. Serentak, tanpa bertanya. Sang imam berpindah ke belakang shaf dan berbalik, diikuti jamaah menyesuaikan dengan sigap dan tertib. Lugas, jelas, dan seirama bagaikan pasukan yang diberi komando panglimanya untuk balik kanan (h.124-127). Dari peristiwa  inilah, nama Masjid Bani Salamah lalu lebih dikenal sebagai Masjid Qiblatain (Masjid dua Kiblat).

 

Parit Khandaq

Kita kenang Parit Khandaq. Di situ, bukitnya masih ada. Hanya saja, Parit Khandaq-nya sudah berubah menjadi pom bensin. Namun, lokasi ke kemah kaum Muslimin sudah diabadikan oleh pemerintah Arab Saudi dalam bentuk masjid, Al-Khandaq namanya.

Dulu, saat perang, Parit Khandaq dibangun sepanjang 5 km dan dengan lebar 5 meter serta dalam 5 meter. Kuda-kuda musuh, musyrikin, kesulitan melompatinya.

Khandaq berada di tengah-tengah Madinah, hanya berjarak 5 km dari Masjid Nabawi. Saat di sini, kita bayangkan, betapa kritisnya keadaan Rasulullah Saw dan Sahabat. Mereka kelaparan berhari-hari sambil menghadapi ribuan musuh. Nabi Saw, manusia termulia, ternyata pernah tak makan berhari-hari sampai mengganjal perutnya dengan batu.

Siapapun yang membaca kisah Pertempuran Khandaq pasti akan dibuat menggigil saking mencekamnya keadaan. Kala itu musim dingin yang ekstrem, persediaan makanan nyaris habis, orang-orang munafik mengacau dan mengadu-domba. Sementara, di luar Madinah telah berkumpul 10.000 pasukan koalisi kabilah kafir dan dari seluruh daratan Arabia. Pemimpinnya tidak tanggung-tanggung, presiden kaum kafir saat itu yaitu Abu Sufyan bin Harb (h.73-75).

Pelajaran di Uhud


Pergilah ke Bukit Uhud. Bacalah sejarah di sana, bahwa 70 Sahabat gugur dengan terhormat. Termasuk di dalamnya, sang da’i pembuka dakwah di Madinah yaitu Mush’ab bin Umair Ra. Mereka syahid menjemput surga-Nya (h.145).

Di Perang Uhud umat Islam kalah. Kekalahan itu memang ada masanya. Hanya saja, justru kekalahan di Uhud ini besar sekali pelajarannya buat siapapun. Salah satunya, adalah agar kita bisa belajar bagaimana cara Rasulullah Saw dan sahabat-sahabatnya cepat pulih dari masa terpuruk.

Cermatilah, ternyata umat Islam kala itu tidak benar-benar kalah. Bahkan, kaum Muslimin sama sekali tidak mendramatisasi kekalahan itu dengan tertunduk lemas berhari-hari. Lihhatlah, ada manuver penting yang langsung Rasulullah Saw lakukan keesokan harinya. Apa itu?

Tepat satu hari setelah Pertempuran Uhud selesai, Rasulullah Saw dan para sahabat kembali keluar dari Madinah. Mereka menyusul pasukan musyrikin untuk menyelesaikan perang. Hal ini tidak akan terjadi kalau kaum Muslimin patah mentalnya.

Lihatlah, seraplah pemahaman yang utuh tentang Peristiwa Uhud. Bukankah target pasukan musyrik ingin menghancurkan kaum Muslimin? Bukankah mereka ingin Rasulullah Saw terbunuh dan menaklukkan Kota Madinah? Dalam kaidah perang, kemenangan bukan ditentukan dari banyak atau sedikitnya kerugian, tapi dari apakah pemenang perang bisa menghancurkan mental dan Tanah Air musuh (h.147-148).

Baqi’ yang Indah

Kematian adalah nasihat terbaik bagi kaum beriman. Tepat di sebelah timur Masjid Nabawi terbentang area makam nan luas tak berhias. Semua sama, hanya nisan tanpa nama, di hamparan tanah kering yang berpasir. Dikelilingi oleh pagar besi yang sering dihinggapi merpati. Area itu bernama Baqi’.

Baqi’, tempat yang terhitung sunnah dikunjungi oleh siapapun yang mendatangi Madinah sebab Rasulullah Saw secara langsung berkomitmen dalam hidupnya untuk menziarahi area pemakaman itu sembari mendoakan sahabat-sahabatnya dan orang-orang yang wafat setelahnya. Rasulullah Saw menjamin akan memberi syafaat bagi yang dimakamkan di sana (h.183).

Di pemakaman Baqi’ ada keluarga Nabi Saw seperti Aisyah Ra,  Hafshah Ra, dan Saudah Ra. Ada anak-anak Rasulullah Saw seperti Ruqayyah, Fatimah, Zainab, dan Ummu Kultsum. Juga, Hasan bin Ali. Ada 10.000 Sahabat Nabi Saw, di antaranya Usman bin Affan Ra, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Mas’ud, Saad bin Abi Waqqash, dan Abbas bin Abdul Muthalib (h.183-184).

Pemakaman Baqi’ jaraknya dekat dengan Masjid Nabawi. Rasulullah Saw sendiri yang menentukan posisinya. Salah satu hikmahnya, agar orang-orang selalu mentadaburi bahwa perjalanan hidup ini singkat dan padat, seperti jalan antara Masjid Nabawi dan pemakaman Baqi’. Hal lain, salah satu imam mazhab yaitu Imam Malik juga dimakamkan di Baqi’ (h.185).

Madinah, Kami Rindu!

          Di Madinah terdapat banyak keutamaan. Tentu, setelah kita mengetahui berbagai keutamaan itu, tak akan ada kalimat lain yang bisa terucap selain ini: Kami rindu Madinah yang bercahaya.

          Selanjutnya, bisa dibilang sebagai puncaknya, kita akan segera menyusuli kalimat di atas dengan doa: Yaa Allah, mudahkan kami bertamu ke Mekkah yang mulia dan ke Madinah yang bercahaya. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *