Jejak Yahudi Di Madinah: Tinjauan Sejarah Hubungan Islam dan Yahudi di Madinah

Masyarakat Yahudi di Hijaz Sebelum Islam

Tidak banyak sumber sejarah yang menjelaskan asal­usul keberadaan Yahudi di wilayah Hijaz  yang  meliputi  Mekah,  Madinah,  Thaif,  Khaibar,  Fadak,  Taima  dan  sekitarnya. Sumber sejarah yang ada, terbatas pada beberapa catatan sejarawan muslim, yang berarti penulisannya  dilakukan  setelah  kedatangan  Islam.  Sementara  catatan  sejarah  sebelum Islam,  bisa  dikatakan  sangat  langka.  Itupun  terbatas  pada  ungkapan  para  penyair  dalam puisi­puisi  mereka.  Alhasil,  permulaan  kedatangan  masyarakat  Yahudi  ke  Hijaz  tidak dapat dipastikan, karena tidak didukung data dan fakta yang memadai.

Namun  berbagai  indikator  menunjukkan,  keberadaan  masyarakat  Yahudi  di  tanah  Hijaz sudah  berlangsung  sejak  lama.  Kondisi  politik  yang  tidak  di  stabil  di  Palestina  sejak penyerangan  Babilonia  hingga  Romawi,  mendesak  masyarakat  Yahudi  mencari perlindungan  bahkan  pemukiman  baru  di  pelbagai  daerah,  terutama  daerah­daerah  yang memiliki  hubungan  langsung  dengan  Palestina,  seperti  Hijaz.  Selain  faktor  politik  di Palestina,  kesuburan  tanah  di  beberapa  wilayah  Hijaz,  seperti  Yatsrib  (Madinah), Khaibar,  Taima,  Wadi  al­Qura  dan  Fadak,  mendorong  masyarakat  Yahudi  untuk menjadikannya sebagai alternatif pemukiman baru bagi mereka (Jawad Ali : 3675).

a. Aspek Sosial Politik

Di  pemukiman  baru  tersebut,  masyarakat  Yahudi  hidup  berdampingan  dengan  pribumi yang  telah  lebih  dulu  tinggal  di  tempat  itu.  Kondisi  ini  memaksa  mereka  melakukan penyesuaian dengan  budaya dan tradisi  lokal. Meskipun di Madinah,  Khaibar dan  Wadi al­Quran, mereka berhasil mendominasi berbagai aspek kehidupan tapi mereka tetap tidak dapat menghindari tuntutan­tuntutan pragmatis di tempat baru. Cara berpakaian dan nama mengikuti tradisi Arab. Samuel bin Yazid, Zubair bin Batha, Sallam  bin  Misykam, Huyay  bin  Akhthab, adalah nama­nama tokoh Bani Qainuqa` dan Bani  Nadhir.  Komunikasi  sehari­haripun  menggunakan  bahasa  Arab,  meskipun  masih ada  pengaruh  aksen  Ibrani.  Bahkan  sebagian  dari  kalangan  Yahudi  dikenal  pandai berpuisi  dalam  bahasa  Arab,  diantaranya  adalah  Ka`b  bin  Sa`d  al­Qurazhi,  Sarah  al­ Qurazhiyah, Rabi` bin Abi al­Huqaiq dan Ka`b bin Asyraf (Jawad Ali: 3738).

Tidak hanya bahasa dan budaya, pernikahan antara etnik Bani Israil dan Arab juga tidak dapat dihindari. Ka`b bin Asyraf adalah contohnya. Menurut salah satu riwayat, ayahnya adalah  keturunan  Arab  Thai’  sedangkan  ibunya  berdarah  asli  Bani  Israil.  Jawad  Ali memberi  alasan,  perkawinan  silang  antar  etnik  ini  dapat  terjadi  karena  –antara  lain— sejumlah orang Arab memeluk agama Yahudi.

Ketika masyarakat Yahudi tiba di Madinah, sejumlah kabilah Arab kecil telah mendiami kota  tersebut.  Namun  demikian,  klan­klan  besar  Yahudi,  seperti  Bani  Nadhir,  Bani Quraizhah  dan  Bani  Qainuqa`  berhasil  menempati  tempat­tempat  strategis.  Daerah `Awali (Wadi Mudzainib), Wadi Mahzur dan Wadi Buth­han yang merupakan sumber air di Madinah, berhasil dikuasai. Selain tanah, mereka juga menguasai perdagangan. Pasar Bani Qainuqa` menjadi pasar paling ramai dan lengkap, sekaligus jantung perekonomian Madinah.

Sejak kedatangan  Aus dan  Khazraj, dua klan  Arab  berasal dari  Azd (Yaman), dominasi Yahudi  di  Madinah  mulai  pudar.  Aus  dan  Khazraj  berhasil  menggeser  posisi  Yahudi meskipun  tidak  dapat  menguasai  daerah­daerah  subur  yang  menjadi  pemukiman  dan kebun mereka.

Kehadiran  Aus  dan  Khazraj  yang  mengancam  hegemoni  dan  stabilitas  masyarakat Yahudi  tidak  disikapi  secara  konfrontatif.  Masyarakat  Yahudi  lebih  mengutamakan perlindungan  internal  dengan  membangun  bangunan­bangunan  kokoh  di  daerah pemukimannya dalam bentuk benteng, atham (semi benteng) dan ratij (rumah berdinding tanah liat). As­Samhudi –dalam kitab Wafa’ al­Wafa—menyatakan terdapat lebih dari 59 atham dan ratij milik Yahudi di Madinah.

Di  dalam  batas  lingkungan  eksklusif  itulah,  masyarakat  Yahudi  melakukan  segala aktivitas  yang  terkait  antara  sesama  meraka,  sehingga  kondisinya  mirip  dengan komunitas  Ghetto  yang  identik  dengan  budaya  masyarakat  Yahudi  di  seluruh  penjuru dunia semasa diaspora.

Dalam  berhubungan dengan komunitas  lain di Madinah,  masyarakat Yahudi tampaknya lebih  bersikap  pragmatis.  Perpecahan  di  kalangan  internal  Yahudi  mendorong  mereka untuk  membangun  aliansi  dengan  masyarakat  Arab  guna  memperkuat  posisinya.  Bani Qainuqa`  beraliansi  dengan  Khazraj,  sedangkan  Bani  Nadhir  dan  Bani  Quraizhah beraliansi dengan Aus (al­Syarif: 267).

Perpecahan  internal  Yahudi  bukan  semata­mata  strategi  jitu  mereka  untuk  memecah belah  kekuatan  Aus  dan  Khazraj  yang  menjadi  rival  mereka.  Sekalipun  secara  tidak langsung,  tujuan  tersebut  tercapai.  Pada  kenyataannya,  klan­klan  Yahudi  itu  memang pecah, terutama setelah menapaki puncak kekuasaan di Madinah. Bani Nadhir dan Bani Quraizhah  memandang  status  mereka  lebih  terhormat  daripada  Bani  Qainuqa`.  Kedua klan  Yahudi  tersebut  berasal  dari  garis  keturunan  al­Kahin  (Cohen),  keturunan  Nabi Harun as yang dikenal relijius dan sangat terhormat (Ibn Hisyam: 2/202).

b. Aspek Ekonomi

Sejak  sebelum  kedatangan  Aus  dan  Khazraj  hingga  masa  Islam.  Yahudi  Madinah  tetap menguasai  perekonomian  kota  tersebut.  Bani  Nadhir  dan  Bani  Quraizhah  menguasai tanah­tanah  tersubur, sedangkan  Bani  Qainuqa`  mengusai  pasar  terbesar.  Kemahiran masyarakat  Yahudi  dalam  bercocok  tanam  yang  diwarisi  dari  Palestina  juga  mereka terapkan.  Begitu  juga  kelihaian  membuat  perhiasan,  pakaian,  baju  perang,  senjata,  alat­ alat  pertanian  dan  profesi  lainnya  semakin  mengokohkan  dominasi  mereka  atas perekonomian Madinah.

Perdagangan valuta dan praktik riba juga dikenal luas di Madinah. Dalam hal ini, tokoh­ tokoh  Yahudi  dan  Arab  memainkan  peran  yang  sama.  Bunga  riba  yang  dibebankan kepada  peminjam  kadang­kadang  lebih  besar  dari  jumlah  utang,  sehingga  menciptakan kesenjangan sosial dan memicu banyak konflik (al­Syarif: 301­302).

Hubungan  dagang  para  saudagar  Yahudi  Madinah  dan  Khaibar  terjalin  dengan  baik. Letak  Madinah  sebagai  transit  kafilah­kafilah  dagang  Quraisy  yang  bertolak  menuju pasar­pasar besar di Gaza dan Syam tentu dimanfaatkan dengan baik oleh para pedagang domestik  Madinah.  Begitu  juga  Khaibar  yang  terletak  di  persimpangan  jalan  dagang kafilah­kafilah Ghathafan dan beberapa kabilah Najed lainnya.

Aspek Pendidikan dan Keagamaan

Lingkungan  eksklusif  masyarakat  Yahudi  di  Madinah  menjadi  tempat  ideal  untuk mengembangkan  pendidikan  dan  tradisi  keagamaan.  Lembaga  pendidikan  Yahudi  di Madinah dikenal dengan nama Bait al­Midras yang berasal dari bahasa Ibrani, Midrash, yang  berarti  kajian  dan  penjelasan  teks­teks  keagamaan.  Tampaknya,  Midras  juga berfungsi  sebagai  tempat  ibadah  dan  pertemuan  penting  untuk  membahas  masalah­ masalah agama (Jawad Ali: 4876).

Meskipun  orang­orang  Yahudi  tidak  tertarik  menyebarkan  agama,  tapi  bukan  berarti tidak  ada  orang  Arab  yang  memeluk  Yahudi.  Kondisi  sosial  yang  majemuk,  kebutuhan pragmatis  yang  berkaitan  dengan  ekonomi  dan  keamanan,  serta  faktor­faktor  lainnya, membuat  orang­orang  Yahudi  berkepentingan  dengan  adanya  orang­orang  Arab  yang memeluk  agama  mereka.  Namun  perlu  dicatat,  pilihan  memeluk  agama  Yahudi  ini dilakukan  oleh  individu­individu  dan  tidak  ada  fakta  yang  menyebutkan  perpindahan agama  secara  masif  yang  dilakukan  oleh  satu  kabilah  Arab  secara bersama­sama  (al­ Syarif: 248).

 

Hubungan Yahudi dengan Masyarakat Muslim

a. Apakah Rasulullah saw. Berhubungan dengan Penganut Yahudi di Mekah?

Banyak  ayat  Al­Qur’an  yang  menyinggung  Bani  Isra’il  dan  agama  Yahudi.  Kedudukan mereka  sebagai  Ahl  al­Kitab  menjadi  sorotan  tersendiri,  karena  sepatutnya  merekalah orang  yang  lebih  cepat  menerima  ajaran  Al­Qur’an  yang  merupakan  penerus  dan membenarkan ajaran asli Taurat. Persinggungan  wacana  yang  dikembangkan  dalam  Al­Qur’an  mendahului  kontak  fisik antara  Rasulullah  saw.  dan  kaum  muslimin  dengan  masyarakat  Yahudi.  Meskipun  sulit dipungkiri  adanya  sejumlah  saudagar  Yahudi  yang  berdagang  ke  Mekah  dan  tinggal disana  untuk  urusan  berbisnis,  namun  tidak  ada  fakta  yang  menyebutkan  bahwa Rasulullah saw. pernah berhubungan dengan mereka, terlebih lagi dalam masalah agama.

Kabar  tentang  masayarakat  Yahudi  tentu  diketahui,  bahkan  dikuasai  dengan  baik  oleh Rasulullah  saw.  Selain  cepat  atau  lambat,  pasti  akan  berhubungan  dengan  penganut Taurat tersebut, harapan Rasulullah saw. untuk menemukan alternatif pusat dakwah Islam selain  Mekah,  mendesak  beliau  untuk  mengetahui  lebih  detail  kondisi  masyarakat­ masyarakat di sekitarnya, termasuk Madinah.

Karena  itu,  saat  menemui  sekelompok  pemuda  Khazraj  di  Mina,  pertanyaan  pertama yang  beliau  sampaikan  adalah,  “Apakah  kalian  orang­orang  yang  beraliansi  dengan Yahudi?”.  (Ibn  Hisyam:  428).  Tampaknya  beliau  sudah  sangat  menguasai  seluk  beluk karakter sosial Madinah, termasuk hubungan Aus dan Khazraj dengan klan­klan Yahudi yang tinggal berdampingan dengan mereka itu.

b. Dakwah Rasulullah saw. kepada Masyarakat Yahudi

Hubungan dakwah Rasulullah saw. dengan Yahudi Madinah terjalin sejak dini. Riwayat Bukhari  dan  Ibn  Ishaq  mengisyaratkan  kedatangan  Abdullah  bin  Salam,  seorang  ulama Yahudi  Bani  Qainuqa`,  dan  keputusannya  memeluk  Islam  terjadi  hanya  beberapa  saat setelah beliau menetap di Madinah. Peristiwa ini pula yang memicu undangan Rasulullah saw. kepada masyarakat Yahudi untuk mengajak mereka memeluk Islam dan menjadikan Abdullah bin Salam sebagai bukti pembenarannya (al­Mubarakfuri: 140).

c. Piagam Madinah; Konsepsi Konstitusi Islam untuk Masyarakat Plural

Kedatangan Rasulullah saw. ke Madinah secara langsung menjadi penguasa baru di kota tersebut,  karena  Aus  dan  Khazraj,  dua  klan  Arab  yang  mendominasi  Madinah,  adalah pihak yang mengundang sekaligus mengangkat beliau sebagai pemimpin. Latar belakang  masyarakat Madinah  yang  sangat majemuk, karena terdiri dari  beberapa etnik  Arab  dan  Yahudi  mendesak  adanya  peraturan  umum  yang  mengatur  kehidupan bersama dengan  baik. Disinilah  letak pentingnya  Piagam Madinah  yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. berdasarkan kaedah dan prinsip Islam. Hal ini juga membuktikan, ajaran Islam  dapat  mengatur  kepentingan  bersama  masyarakat  muslim  dan  non  muslim,  tanpa harus menghilangkan karakter khas masing­masing, terutama agama.

Al­Mubarakfuri  merangkum  beberapa  bagian  pasal  Piagam  Madinah  yang  mengatur hubungan masyarakat Muslim dengan Yahudi seperti berikut,

1.     Yahudi  Bani  `Auf  merupakan  satu  komunitas  bersama  masyarakat  Mu’min.  Orang­orang  Yahudi  berhak  menjalankan  agama  mereka  dan  orang­orang  muslim  berhak menjalankan agama mereka…begitu juga klan­klan Yahudi lainnya diluar Bani `Auf.

2.     Masyarakat  Yahudi  harus  menanggung  biaya  hidupnya  sendiri  dan  orang­orang muslim juga harus menanggung biaya hidupnya sendiri.

3.     Masyarakat  Yahudi  dan  Muslim  harus  saling  bahu  membahu  melawan  musuh  yang menyerang pihak yang menandatangani Piagam ini.

4.     Mereka  juga  harus  saling  memberi  saran  dan  nasihat  dalam  kebaikan,  tapi  tidak demikian dalam kejahatan.

5.     Siapa pun yang dizalami maka wajib ditolong.

6.     Masyarakat Yahudi dan Mu’min harus bersatu padu ketika diserang musuh.

7.     Jika terjadi perselisihan atau pertikaian antara pihak­pihak yang menyepakati Piagam ini,  sehingga  khawatir  akan  merusak  hubungan,  maka  keputusannya  harus dikembalikan kepada hukum Allah azza wa jalla dan Muhammad, utusan Allah saw.

8.     Siapa  pun  tidak  boleh  memberi  suaka  (perlindungan)  kepada  Quraisy  dan pendukungnya (al­Mubarakfuri: 182).

 

Pengkhianatan dan Konspirasi Yahudi

Dipandang  dari  sudut  mana  pun,  bagi  masyarakat  Yahudi,  kedatangan  Rasulullah  saw. dan kaum  muslimin ke Madinah tidak  menguntungkan. Keharmonisan Aus dan Khazraj adalah  ancaman  terbesar  sejak  lama,  apalagi  ditambah  pihak  ketiga  yang  menjadi kekuatan  baru  yang  semakin  merekatkan  hubungan  mereka.  Masyarakat  Yahudi  tidak pernah  dapat  menghapus  trauma  kehadiran  pihak  asing  yang  bertentangan  dengan kepentingan mereka. Eksistensi Yahudi di Madinah benar­benar diambang kehancuran.

Terlebih  lagi,  masyarakat  Muhajirin  Mekah  adalah  pedagang­pedagang  handal.  Sejak hari­hari pertama kedatangannya, Abdurrahman bin `Auf telah menunjukkan kepiawaian dalam  meraih  keuntungan  di  pasar  Bani  Qainuqa`  (Bukhari:  no.  1908).  Seiring  dengan perjalanan  waktu,  Usman  bin  `Affan,  Zubair  bin  `Awwam  dan  nama­nama  populer lainnya  dalam  kancah  perdagangan  Arab  masa  itu  menjadi pesaing­pesaing  baru  bagi pedagang Yahudi.

Persaingan  di  pasar  diperparah  dengan  kehadiran  aturan­aturan  baru  dalam  segala transaksi  ekonomi  yang  dibuat  oleh  Rasulullah  saw.  Larangan  menipu,  menimbun, menjual khamr dan praktik riba, adalah diantara yang semakin mengekang sistem  ‘pasar bebas’  yang  berkembang  sebelumnya.  Khamr  (arak)  merupakan  komoditi  yang  sangat potensial  bagi  masyarakat  Yahudi.  Selain  menjajakan  arak  lokal,  mereka  biasa mengimpornya dari Syam.

Semua  faktor di atas, selain tentu saja keyakinan  dan  agama,  meningkatkan ketegangan antara Yahudi dan kaum muslimin. Beberapa fakta membuktikan adanya usaha individu ataupun  kolektif  kelompok  Yahudi  untuk  memicu  perselisihan  hingga  perang  besar­ besaran.

a. Benih­benih Pengkhianatan

Ibn  Ishaq  meriwayatkan,  Syas  bin  Qais,  seorang  sesepuh  Yahudi  melewati  sekelompok pemuda  Aus  dan  Khazraj  yang  sedang  berkumpul.  Mereka  terlibat  perbincangan  yang hangat dan akrab. Pemandangan  ini  membakar  hati Syas,  maka segera  ia suruh seorang pemuda  Yahudi  untuk  ikut  dalam  pembicaraan  tersebut  dengan  mengingatkan  mereka kepada  peristiwa  kelam  di  masa  lalu,  perang  Bu`ats  yang  telah  menelan  korban  tokoh­ tokoh besar Aus dan Khazraj.

Kehangatan segera berubah menjadi ketegangan. Kedua kelompok Anshar tersebut nyaris saja  baku  hantam,  bahkan  terlibat  pertumpahan  darah,  jika  saja  Rasulullah  saw.  tidak segera datang dan melerai. (Ibn Hisyam: 553­554).

Kasus  Ka`b  bin  Asyraf, tokoh terkemuka Bani Nadhir,  merupakan  model paling krusial penaburan benih pengkhiantan dalam skala individu. Kelihaian menggubah puisi, media propaganda  paling  efektif  masa  itu,  menempatkan  Ka`b  dalam  posisi  yang  sangat membahayakan.  Setelah  kemenangan  kaum  muslimin  dalam  perang  Badar,  Ka`b menunjukkan  permusuhannya  secara  terbuka.  Ia  segera  pergi  ke  Mekah  untuk mengucapkan simpati dan  bela  sungkawa atas terbunuhnya pembesar­pembesar Quraisy di  Badar  dalam  rangakaian  puisi  yang  menyayat  hati.  Tidak  cukup  disitu,  ia  juga mengobarkan  semangat  Quraisy  untuk  segera  melupakan  kekalahan  dan  menyiapkan pembalasan yang jauh lebih hebat (al­Shallabi: 2/56­58).

b. Konspirasi Yahudi

Bani  Qainuqa`  adalah  klan  Yahudi  yang  lebih  dulu  menunjukkan  aksi  pengkhianatan kolektif  terhadap  kesepakatan  Piagam  Madinah.  Kemenangan  kaum  muslimin  di  Badar membuka  mata  mereka,  bahwa  kekuatan  dan  dominasi  kaum  muslimin  di  Madinah menjadi  kenyataan.  Bagi  Bani  Qainuqa`,  ketergantungan  ekonomi  kepada  mekanisme pasar yang mereka kuasai tidak lagi menggairahkan seperti dahulu.

Tampaknya  benih  pengkhiantan  kolektif  Bani  Qainuqa`  telah  tercium  oleh  Rasulullah saw.  Menurut  Abu  Dawud,  beberapa  saat  setelah  kembali  dari  Badar,  Rasulullah  saw. mengumpulkan  Bani Qainuqa` di pasar  mereka untuk  memberi peringatan. Namun  juru bicara Bani Qainuqa` malah menjawab, “Hai Muhammad! Jangan pernah merasa bangga hanya  karena  berhasil  membunuh  segelintir  orang­orang  Quraisy  yang  tidak  pandai berperang itu. Seandainya kami yang menjadi lawanmu, engkau baru akan tahu, kamilah tandinganmu yang sebenarnya. Dan, engkau tidak akan banyak berkutik melawan kami”. (al­Mubarakfuri: 226)

Sebatas  perlawanan  verbal,  Rasulullah  saw.  hanya  melihatnya  sebagai  indikator pengkhianatan. Tapi  setelah  terjadi  kasus  pelecehan  wanita  muslim  di  pasar  Bani Qainuqa` yang disusul dengan pembunuhan lelaki muslim yang membelanya, Rasulullah saw. mengepung Bani Qainuqa` lalu mengusir mereka dari Madinah. Pembunuhan  Ka`b  bin  Asyraf  dan  pengusiran  Bani  Qainuqa`  dari  Madinah  cukup meredam  gejolak  pengkhianatan  klan  Yahudi  lainnya.  Tapi  kekalahan  kaum  muslimin dalam  perang  Uhud  dan  tragedi  Bi’r  Ma`unah  menumbuhkan  kepercayaan  diri  Yahudi. Bani  Nadhir,  klan  yang  paling  kuat  saat  itu,  berkhianat.  Diawali  dengan  memberi perlindungan  kepada  Abu  Sufyan  saat  melakukan  oprasi  militer  (Perang  Sawiq)  ke Madinah (Ibn Ishaq: 108).

Pelanggaran  terhadap  salah  satu  pasal  Piagam  Madinah  tersebut  disusul  dengan pelanggaran  lain.  Bani  Nadhir  tidak  bersedia  menanggung  biaya  diyat  (denda pembunuhan)  yang  seharusnya  dipikul  bersama.  Bahkan  lebih  jauh  lagi,  mereka menyusun  rencana  pembunuhan  Nabi  saw.  (al­`Umari:  146).  Rencana  busuk  itupun terbongkar, sehingga Rasulullah saw. segera mengumumkan ultimatum pengusiran Bani

Nadhir dari Madinah.

Mulanya Bani Nadhir berusaha bertahan karena Abdullah bin Ubay, pemimpin kelompok Munafik  menjanjikan  bantuan  (al­Mubarakfuri:  280),  tapi  kemudian  menyerah  dan terpaksa meninggalkan Madinah setelah dikepung selama 15 hari. Pada dasarnya, mereka diusir  ke  Syam,  tapi  sejumlah  tokoh  penting  Bani  Nadhir  seperti  Huyay  bin  Akhthab, Salam bin Abi al­Huqaiq dan Kinanah bin Rabi` memutar haluan menuju Khaibar, koloni Yahudi terkuat di Hijaz. (al­Umari: 149).

c. Kelihaian Lobi Yahudi; Kasus Perang Ahzab

Ahzab  adalah  aliansi  sejumlah  klan  Arab  besar  yang  meliputi  Quraisy,  Ahbasy, Ghathafan  bersama  sekutunya.  Mereka  melakukan  kesepakatan  dengan  Yahudi  untuk menyerang  Madinah.  Perang  Ahzab  yang  mencatat  rekor  fantastik  dalam  sejarah peperangan Arab saat itu, sebenarnya bisa dikatakan sebagai bukti kelihaian lobi Yahudi. Para sejarawan mengungkapkan, provokator perang Ahzab adalah sebuah tim kecil yang dibentuk di  Khaibar dan dipimpin oleh kalangan elit Bani Nadhir,  yaitu Sallam  bin  Abi al­Huqaiq, Huyay bin Akhthab, Kinanah bin Rabi`, Haudzah bin Qais dan Abu `Ammar (al­Shallabi:  2/256).  Pembentukan  tim  ini  tentu  disetujui  oleh  tokoh­tokoh  Yahudi Khaibar sendiri dengan target yang sangat besar, menggalang kekuatan Arab dalam satu pasukan terpadu untuk menyerang Madinah.

Sasaran tim yang paling realistis adalah dua kabilah Arab, Quraisy dan Ghathafan. Selain merupakan  kabilah  besar  dan  memiliki  sekutu  yang  loyal,  keduanya  memiliki kepentingan  langsung  dengan  Madinah.  Menggalang  dukungan  Quraisy  tentu  lebih mudah,  karena  permusuhan  mereka  dengan  Madinah  sudah  cukup  menjadi  pemicu utama. Tapi para provokator ini  menambahkan dukungan  moral  yang tidak kecil,  yakni memberi pengakuan bahwa agama Quraisy  lebih  baik daripada agama Muhammad saw.

Allah swt. mengecam pragmatisme murahan Yahudi ini dalam surah al­Nisa’: 51­52: “Apakah  kamu  tidak  memperhatikan  orang­orang  yang  diberi  bagian  dari  Al  kitab? Mereka  percaya  kepada  jibt  dan  thaghut,  dan  mengatakan  kepada  orang­orang  Kafir (musyrik  Mekah),  bahwa  mereka  itu  lebih  benar  jalannya  dari  orang­orang  yang beriman.  Mereka  itulah  orang  yang  dikutuki  Allah.  Barangsiapa  yang  dikutuki  Allah, niscaya kamu sekali­kali tidak akan memperoleh penolong baginya”.

Sedangkan  untuk  meraih  dukungan  Ghathafan,  tim  Yahudi  melakukan  kontrak kesepakatan  dengan  kabilah  besar  Najed  tersebut  dalam  dua  pasal  yang  saling menguntungkan;  1).  Ghthafan  harus  menghimpun  pasukan  sebanyak  6000  orang;  2). Yahudi  akan  membayar  klan­klan  Ghathafan  yang  bergabung  dalam  pasukan  tersebut dengan seluruh hasil panen kurma Khaibar dalam setahun (al­Shallabi: 2/257).

Lobi Yahudi  ini  berhasil dengan gemilang.  Kabilah­kabilah  Arab  yang telah  melakukan kesepakatan  itu  berdatangan  ke  Madinah  dengan  seluruh  kekuatan  yang  mereka  miliki. Tidak  tanggung­tanggung,  jumlah  mereka  mencapai  10.000  pasukan.  Jumlah  yang disebut  al­Mubarakfuri  sebagai  catatan  rekor  fantastis  dalam  sejarah  kemiliteran  Arab pada masa itu.

Merasa  tidak  cukup  dengan  menggalang  kekuatan  Arab.  Huyay  bin  Akhthab  berusaha keras  membujuk  klan  Yahudi  terakhir  yang  masih  berada  di  Madinah  dan  mentaati kesepakatan  Piagam  Madinah,  Bani  Quraizhah,  untuk  mendukung  logistik  Ahzab  dan menggerogoti  kekuatan  Madinah  dari  dalam.  Lobi  inipun  akhirnya  berhasil.  Quraizhah berkhianat,  sehingga  Madinah  semakin  terjepit  (al­Mubarakfuri: 293).  Namun  dengan strategi  yang  jitu  dan  pertolongan  Allah  swt.,  akhirnya  kaum  muslimin  berhasil  keluar dari medan perang sebagai pemenang.

Dengan  pengkhianatan  Bani  Quraizhah,  habislah  kekuatan  Yahudi  di  Madinah. Rasulullah  saw.  menghukum  meraka  sebagai  pengkhianat  perang,  semua  laki­laki  Bani Quraizhah  yang  terlibat  perang  dipancung,  anak­anak  dan  wanita  ditawan,  dan  harta benda mereka dirampas (al­Mubarakfuri: 301).

Setelah  itu, kekuatan Yahudi  yang signifikan  hanya tersisa di  Khaibar. Di tempat  inilah tersimpan  potensi  ancaman  yang  tidak  dapat  diremehkan.  Selain  menjdai  rahim  yang melahirkan provokasi Ahzab, Khaibar memiliki benteng­benteng yang kuat dan letaknya sangat strategis karena berada di persimpangan jalan yang menghubungkan daerah timur dan selatan Jazirah Arab.

Rasulullah  saw.  harus  konsentrasi  penuh  guna  melumpuhkan  kekuatan  Khaibar. Gencatan  senjata  yang  disepakati  dengan  Quraisy  dalam  Perjanjian  Hudaibiyah  pada tahun  6H  menjadi  momentum  yang  sangat  tepat.  Beberapa  saat  setelah  itu  Rasulullah saw. langsung melancarkan serangan besar­besaran ke Khaibar dan menang. Masyarakat Yahudi Khaibar yang kebanyakannya petani tidak diusir dari daerah tersebut, melainkan diizinkan  tinggal  untuk  mengelola  kebun­kebun  Khaibar  dan  berbagi  hasil  dengan  para pemilik barunya, kaum muslimin.

 

PENUTUP

Demikianlah  sekelumit  gambaran  kehidupan  masyarakat  Yahudi,  terutama  di  Madinah, dan  persentuhan  mereka  dengan  kaum  muslimin  pada  permulaan  sejarah  Islam. Penyimpangan  dari  ajaran  Taurat  yang  mengkristal  dalam  nilai  dan  sistem  yang mendasari  kehidupan  sosial,  ekonomi  dan  politik,  berakibat  pada  penolakan  mereka terhadap ajaran Islam.

Namun  demikian,  bukan  berarti  seluruh  masyarakat  Yahudi  menolak  Islam.  Sejarah mencatat  bebarapa  individu  Yahudi  memeluk  Islam  saat  itu.  Diantaranya  Abdullah  bin Salam dan keluarganya dari Bani Qainuqa`(Ibn Hisyam: 516) 1 ; Yamin bin `Amr dan Abu Sa`d  bin  Wahb  dari  Bani  Nadhir  (al­`Umari:  149);  dan  `Athiyyah  al­Qurazhi, Abdurrahman  bin  Zubair  bin  Batha,  Rifa`ah  bin  Samuel  dan  beberapa  orang  lagi  dari Bani Quraizhah (al­Mubarakfuri: 302).

 

Rujukan

1.     Al­Qur’an al­Karim

2.     Shahih al­Bukhari [al­Maktabah al­Syamilah]

3.     Ibn Hisyam, al­Sirah al­Nabawiyyah [al­Maktabah al­Syamilah]

4.     Ali, Jawad, al­Mufashshal fi Tarikh al­Arab Qabl al­Islam [al­Maktabah al­Syamilah]

5.     Al­Syarif, Ahmad Ibrahim, Makkah wa al­Madinah fi al­Jahiliyyah wa `Ahd al­Rasul saw. [al­Maktabah al­Syamilah]

6.     Al­`Umari,  Akram  Dhiya’,  al­Mujtama`  al­Madani  fi  `Ahd  al­Nubuwwah  [al­

7.     Maktabah al­Syamilah]

8.     Al­Mubarakfuri,  Shafiy  al­Rahman,  al­Rahiq  al­Makhtum,  Dar  al­Salam­Riyadh,

1418H

9.     Al­Shallabi,  Ali  Muhammad,  al­Sirah  al­Nabawiyyah;  `Ardh  Waqa’i`  wa  Tahlil  Ahdats, Dar Ibn Katsir­Beirut, 1425H/2004

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *