Ironi HAM Dunia dalam Tragedi Rohingya

Hak-hak kaum Muslimin Rohingya dirampas, dan itu terjadi di negeri Aung San Suu Kyi si peraih Nobel perdamaian. Dia disebut-sebut sebagai pejuang HAM dan demokrasi di Myanmar. Tapi, Aung San Suu Kyi tidak berkomentar, meski di depan matanya umat Islam ditindas.

Tokoh wanita itu diapresiasi sebagai pejuang HAM dan demokrasi dunia atas keberaniannya menyuarakan nilai-nilai demokrasi di negeri junta militer itu. Belum ada LSM dan NGO dunia yang memprotes keras bergemingnya Aung San Suu Kyi terhadap pembantaian Rohingya. Pegiat HAM Indonesia juga belum menunjukkan  suara tegas.

Sejak lama, kekerasan terhadap Muslim Rohingya berlangsung secara sistematis. Sejak 1982, Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar tak mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Pemerintah di negara itu hanya menganggap mereka sebagai imigran illegal.

Padahal, etnis Rohingya telah mendiami Myanmar ratusan tahun lalu — sebelum Myanmar merdeka. Rohingya merupakan etnis yang tinggal di Provinsi Arakan, Myanmar Barat. Populasinya mencapai satu juta jiwa. Dalam catatan sejarah, mereka telah ada sejak abad ke-7 M, jauh sebelum Myanmar merdeka pada 1948.

Muslim Rohingya ditindas yang menyebabkan puluhan ribu tewas, tempat tinggal dibakar, wanitanya diperkosa, dan diusir dari negaranya. Mereka dikejar-kejar di mana pun mereka lari seperti warga yang tidak memiliki hak kewarganegaraan. Tidak ada alasan rasional mengapa mereka dianiaya dengan keji.

Belum ada lembaga internasional yang menjamin hak-hak hidup mereka. Padahal, jika dirujuk kepada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) PBB tahun 1948, perlakuan pemerintahan Myanmar mestinya masuk pengadilan Internasional dengan dakwaan pelanggaran berat HAM.

Jika dibanding dengan kasus HAM yang menimpa orang Barat, reaksi dunia lebih keras. Ketika terdapat satu orang Barat di Papua teraniaya, misalnya, NGO HAM Indonesia bersuara keras. Tapi tidak jika yang menjadi korban pribumi muslim.

Secara konseptual, HAM yang diterapkan negara-negara di dunia cenderung membarat karena konsepsinya disusun oleh negara-negara Barat. Sejak awal disusun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 10 Desember 1948 telah menuai banyak kritik dan keberatan. Deklarasi tersebut tidak melibatkan negara-negara Islam dan Afrika. Tapi disusun oleh segelintir negara, tidak representatif dan umumnya didominasi oleh orang Barat.  HAM yang disusun lebih westernis daripada humanis.

Tidak banyak ide-ide yang masuk dan diperdebatkan serta didiskusikan dalam deklarasi tersebut yang berkaitan dengan nilai-nilai keagamaan, khususnya agama Islam. Pada masa itu, kebanyakan negara-negara Islam di Asia masih dalam kekuasaan penjajah Barat. Jadi, sejak awal, butir-butir DUHAM dibuat oleh penjajah Barat. Kuat dugaan bahwa ketidakadilan yang selama ini berlangsung di negara-negara Islam itu demi kepentingan negara Barat, bukan kepentingan menegakkan keadilan dan kedamaian di dunia.

Mata dunia seakan menjadi buta tatkala umat Islam mengalami kekerasan dan penderitaan. Tidak ada protes tegas atau tekanan keras saat umat Muslim menjadi objek kekerasan dan pembantaian. Ketika umat Islam sebagai minoritas, selalu ditindas, dizalimi, dibantai, diskriminasi dan diperlakukan tidak adil.

Pelanggaran HAM di Myanmar ini diduga kuat bukan sekedar konflik komunal membersihkan etnis, tapi ada faktor Islamophobia. Di Myanmar ada seratus lebih etnis, namun hanya Rohingya yang ditindas. Selainnya, hidup aman di bawah naungan pemerintah Myanmar. Noor Husain Arakani -warga Muslim Myanmar- pernah menerangkan bahwa Muslim Myanmar dipaksa untuk berpindah agama. Mereka yang menolak, dibunuh atau diusir dari negaranya.

Pembiaran kekerasan ini justru menodai HAM itu sendiri. Bahkan, membuka tabir yang selama ini terselubung, bahwa perjuangan Badan HAM Dunia hanya untuk kepentingan tertentu. Tidak murni adil menegakkan keadilan secara tegas, tanpa membedakan negara, ras dan agama. Sikap lamban dan tidak adil Badan HAM PBB makin memperburuk citra di mata dunia. Bahwa, HAM dunia tidak humanis.

Oleh sebab itu, Indonesia sebagai bagian dari ASEAN harus memainkan peran diplomasinya. Di ASEAN, Indonesia memiliki kekuatan untuk menekan Myanmar. Sedangkan pengungsi yang sampai ke Indonesia mestinya mendapatkan perlindungan yang cukup. Misal, anak-anak pengungsi Rohingya diberi beasiswa untuk bersekolah di Indonesia. Peran demikian, lebih menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara berdaulat dalam menegakkan keadilan. []

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *