Kisah Rhoma dan Urgensi Pemimpin Seiman

Nasihat Internal

Semua bermula dari Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) DKI Jakarta. Pada pemungutan suara 11/07/2012, Jokowi-Ahok meraih 42,6 persen suara sah disusul pasangan Foke-Nara dengan 34,05 persen suara sah. Keduanya lolos ke putaran kedua karena memeroleh hasil suara terbanyak (www.metrotvnews.com 05/08/2012). Pasangan Jokowi-Ahok adalah sebutan untuk Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama, sementara Foke-Nara untuk Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli.

Pada 29/07/2012 Rhoma Irama berceramah di sebuah masjid di Jakarta Barat. Sebagai pendakwah, Rhoma tahu bahwa tema terbaik yang urgen disampaikan adalah yang bisa memberikan pencerahan kepada umat terkait dengan masalah-masalah aktual yang ada di sekitar dakwah itu dilangsungkan.

Dalam konteks suasana “Rakyat Jakarta akan memilih pemimpinnya”, maka lewat ceramahnya Rhoma menyampaikan rambu-rambu tentang bagaimana seharusnya sikap Muslim jika memilih pemimpin.

Rhoma memulai ceramahnya dengan seruan untuk tidak memilih pemimpin nonmuslim. Ia menggunakan ayat Kitab Suci untuk menyerukan ajakan agar tidak memilih pemimpin nonmuslim. “Kalau memilih pemimpin yang nonmuslim maka sanksinya adalah mendapat azab dari Allah SWT,” kata Rhoma. Lalu, Rhoma memaparkan latar belakang suku dan agama dua pasangan dalam Pemilukada DKI 2012 itu yakni Jokowi-Ahok dan Foke-Nara. Jokowi Muslim dan suku bangsanya Jawa, bukan warga Betawi alias pendatang. Ahok suku bangsanya Cina, agamanya Kristen. Sementara, pasangan Foke-Nara adalah Muslim dan keduanya orang Betawi (baca www.jpnn.com 13/08/2012).

Rhoma-pun dituding memainkan isu SARA. Tapi, setelah melakukan beberapa tahapan, seperti konsultasi dengan Kepolisian, Kejaksaan, KPID dan FKUB, Panwaslu DKI Jakarta memutuskan bahwa secara kumulatif Rhoma tidak memenuhi unsur-unsur pelanggaran Pemilukada sebagaimana diatur dalam UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah (baca www.rmol.co 12/08/2012). Alhasil, Rhoma bebas dari dugaan pelanggaran isu SARA (suku, agama, ras dan antargolongan).

Sekarang, kita ambil hikmahnya. Hasil Pemilukada putaran pertama di DKI Jakarta -sangat boleh jadi- mengusik ghirah Rhoma, bahwa ternyata banyak umat Islam yang tak tahu dan atau tak mengamalkan panduan Islam saat memilih pemimpin. Maka, kitapun bisa ‘membaca’ bahwa saat berceramah, Rhoma itu sedang mendidik umat Islam tentang bagaimana seharusnya memilih pemimpin. Kala itu, Rhoma sedang menasihati saudara sesama muslimnya.

Kualifikasi Jelas

Bagaimana kualifikasi pokok pemimpin yang wajib kita pilih? Dia haruslah: Muslim, beriman, bertaqwa, serta berakhlak terutama dalam hal dia menegakkan shalat dan menunaikan zakat (baca QS Al-Maaidah [5]: 55). Dia harus memiliki kualifikasi yang terbaik dan termampu (baca HR Hakim). Dia harus yang paling mendekati sifat-sifat kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW yang shiddiq (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran kepada siapa saja), dan fathonah (cerdas).

Subhanallah, Islam tak hanya memberi kriteria tentang pemimpin yang wajib kita pilih. Tetapi, juga memberi kriteria orang-orang yang tak boleh kita pilih sebagai pemimpin. Berikut ini kualifikasi orang-orang yang tak boleh kita pilih sebagai pemimpin umat Islam.

  1. Orang Kafir.

“Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman akrab, pemimpin, pelindung, penolong) sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang-siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan, hanya kepada Allah kembali(mu)” (QS Ali ‘Imraan [3]: 28). Ayat ini menjadi dasar tak bolehnya kita mengambil kaum kafir menjadi pemimpin kaum beriman.

2. Yahudi dan Nasrani.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu). Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang-siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS Al-Maaidah [5]: 51).

Larangan di atas semakin beralasan, jika kita hubungkan dengan firman Allah di QS Al-Baqarah [2]: 120, bahwa: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka”.

Jika kita memilih mereka sebagai pemimpin, maka sama saja seperti kita memberi jalan kepada mereka untuk memimpin dan memengaruhi kaum Muslim. Padahal, kita seharusnya  berpegang kepada ketetapan Allah ini: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman” (QS An-Nisaa’ [4]: 141).

3. Yang Mempermainkan Agama.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertaqwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman (QS Al-Maaidah [5]: 57).

4. Musuh Allah dan Musuh Mu’min.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih-sayang” (QS Mumthahanah [60]: 1).

Tanya Itu

Jika sudah terang-benderang Allah memberi petunjuk tentang tata-cara memilih pemimpin, maka mengapa banyak di antara kita yang sering mengabaikannya? Kita mengabaikan dengan cara tak memilih yang seiman. Kita mengabaikan dengan cara memilih yang seiman tapi bukan yang terbaik. Mengapa? Ada apa? []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *