Oleh Kholili Hasib
Pendahuluan
Dekonstruksi adalah teori yang awalnya digunakan Heidegger dan Derrida sebagai istilah yang merujuk pada makna usaha pelucutan atas bangunan pemikiran yang telah terbentuk secara mapan, termasuk teks. Mohammed Arkoun memakai teori ini sebagai alat untuk konsep al-Qur’an.
Dalam bingkai pemikiran liberal, konsep wahyu telah didekonstruksi sedemikian rupa, sehingga keluar dari mainstream pemikiran umat Islam. Dalam pandangan Mohammed Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zaid, wahyu yang sakral adalah kalam Allah SWT saat berada di Lauhul Mahfudz[1]. Bagi dua tokoh liberal Arab ini, wahyu langit tersebut adalah suci dan diyakini itu adalah kalam Allah. Sampai di sini, secara ideologis, pemikiran tersebut seirama dengan keyakinan Islam. Mereka sepakat, untuk tidak meragukan dan menolak keberadaan wahyu langit tersebut. Akan tetapi, nilai kesakralan itu turun seiring wahyu itu ‘membumi’, yakni ketika disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW dan dikodifikasi oleh Ustman bin Affan. Al-Qur’an, bagi Abu Zaid diposisikan sebagai hasil inspirasi dan “karangan” Nabi Muhammad SAW[2]. Wahyu yang terkandung dalam Mushaf Utsmani bagi pandangan liberal (khususnya pengikut pendapat Arkoun) telah banyak yang tereduksi[3].
Kesalahan mendasar dari konsep kaum Liberal karena mereka tidak mengaitkan konsep wahyu ini dengan konsep-konsep dasar lainnya. Sehingga pemahamannya menjadi liar dan parsial, seperti tidak mengaitkan dengan konsep Nabi dan konsep Iman. Padahal dalam perspektif pandangan hidup Islam, wahyu adalah elemen utama yang berkait dengan konsep-konsep kunci lainnya, seperti konsep kenabian, dan Iman. Implikasi dari dekonstruksi ini di antaranya adalah sebagai saluran dalam membangun paradigma kesatuan agama, menilai ada kesalahan gramatikal dalam al-Qur’an dan memandang wahyu secara dualis. Tulisan ini hendak mengelaborasi konsep wahyu dalam perspektif pandangan hidup Islam dan membandingkannya dengan konsep liberal, serta menjawab atas tiga implikasi tersebut.
Definisi dan Karakteristik Wahyu
a. Analisa Bahasa
Agar mendapatkan pemahaman yang tepat, maka kajian tentang konsep perlu dimulai dengan analisis bahasa. Apalagi obyek yang dikaji adalah bahasa Arab, yang memiliki karakteristik tertentu yang membedakan dengan bahasa lain. Menurut Syed M. Naquib al-Attas, peranan bahasa – terutama bahasa Arab – menduduki posisi sentral dalam konsepsi dan Islamisasi pengetahuan. Berposisi sentral, karena bahasa Arab memiliki keunikan. Yakni, struktur katanya senantiasa merujuk pada sistem akar kata (mashdar). Selain itu struktur pemaknaan (semantic) bahasa Arab secara jelas melekat kepada kosa kata secara permanen yang konsisten merujuk pada akar kata[4]. Oleh karena itu, penjelasan tentang konsep wahyu terlebih dahulu dimulai dengan analisis bahasa.
Secara bahasa kata wahyu memiliki beragam makna. Di antaranya adalah berbicara secara sembunyi, isyarat atau memberi tanda, memberi informasi secara cepat, memberi informasi secara tertulis atau menuliskan sesuatu dan memberi ilham[5]. Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa pemberian informasi wahyu dapat disampaikan dalam tiga bentuk, yaitu melalui komunikasi oral, melalui isyarat panca indera, melalui suara dan melalui tulisan[6]. Secara terminologis, Ibnu Mandzur mendefinisikan, wahyu adalah pemberian informasi yang tersembunyi yang khusus disampaikan kepada para Nabi Allah SWT[7].
Sementara, definisi syari’ah mengatakan, bahwa wahyu adalah kalam Allah SWT yang khusus disampaikan kepada para Nabi-Nya. Wahyu didefinisikan sebagai pemberitahuan Allah SWT kepada para Nabi-Nya tentang pesan-pesan Ilahi berupa syari’at dan berita-berita lain secara sembunyi, yang tidak biasa dialami oleh manusia biasa[8]. Menurut Al-Asfahani, wahyu adalah ilmu rabbaniy yang memiliki spesifikasi dan bersifat qat’iy (pasti). Berkenaan dengan al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka al-Qur’an dalam epistemologi Islam adalah sumber informasi yang benar yang otoritatif (khabar shadiq)[9]. Karena memiliki sifat rabbaniyah itu, Abu Hamid al-Ghazali menegaskan bahwa wahyu al-Qur’an adalah sumber ilmu yang tidak dihasilkan oleh akal manusia, hanya diturunkan kepada Nabi[10].
Berkenaan dengan hal tersebut, wahyu berbeda dengan Ilham meskipun sama-sama bersifat rabbaniyah. Al-Ghazali membedakan, Ilham termasuk kategori sumber ilmu dari Allah SWT, bentuknya seperti petunjuk yang datang ke dalam hati berupa informasi tanpa usaha atau tanpa belajar yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya yang dikehendaki[11]. Ilham bisa dialami Nabi atau orang biasa yang dikehendaki Allah SWT. Dibanding dengan wahyu, bentuk informasi ilham berbeda. Jika wahyu yang diturunkan adalah berupa lafadz dan ma’nanya, maka ilham hanyalah sebatas pemberian semacam ide atau ma’na. Pengertian ini sesuai dengan makna wahyu dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Dalam beberapa ayat, wahyu juga memiliki beragam makna sesuai dengan konteksnya. Di dalam al-Qur’an kata wahyu dan derivasinya disebut di enam puluh satu tempat. Dari keenam puluh satu itu, al-Qur’an memberi makna yang berbeda-beda. Seperti bermakna pemberian ilham kepada manusia, terdapat dalam QS Al-Qashas 7, memberi isyarat atau kode terdapat dalam QS Maryam 11. Bermakna isyarat atau menuliskan sesuatu terdapat dalam QS Al-An’am 112. Bahkan makna dasar wahyu juga bisa bermakna pemberian informasi yang tidak baik, seperti dalam QS Al-An’am 121: “Sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan (yuuhuuna) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu”. Dalam ayat-ayatnya, al-Qur’an secara konsisten memaknai wahyu sebagai ilham, kode, membisikkan atau pemberian informasi biasa, apabila objeknya adalah bukan Nabi. Sebaliknya, wahyu dimaknai sebagai kalam Allah SWT yang suci disampaikan secara sembunyi melalui malaikat sebagai tanda kenabian, bila objeknya adalah seorang Nabi SAW, seperti dalam QS Al-Anbiya 25, QS Yunus 109 dan lain sebagainya[12].
Oleh karena itu bisa dikatakan, wahyu hanya diturunkan kepada para Nabi, sedangkan selain Nabi wahyu dimaknai ilham, pemberitahuan atau isyarat. Hal itu misalnya dapat dilihat bahwa kata wahyu dengan khitabnya Nabi (objek yang diberi wahyu adalah Nabi), maka wahyu diterjemahkan secara terminologis seperti terdapat dalam QS Al-Syuraa 51 atau QS Yunus 109. Wahyu diartikan ilham bila khitabnya adalah orang-orang shalih yang cara penyampaian informasinya tidak dalam bentuk lafadz tapi ide. Nabi juga menerima ilham, dalam arti yang turun adalah maknanya, akan tetapi al-Qur’an tidak diturunkan melalui bentuk makna. Wahyu dalam bentuk ilham yang diberikan kepadn Nabi lebih tepat disebut dengan hadis karena yang diberikan adalah dalam bentuk ide (makna)[13]. Secara ringkas perbedaan antara wahyu dan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana datangnya, dialami oleh Nabi maupun manusia biasa yang bentuk informasinya dalam bentuk ide.
Berkaitan dengan hal tersebut, wahyu dibagi menjadi dua. Al-Suyuthi mengutip Imam al-Juwaini menjelaskan, kalam Allah SWT ada dua macam. Pertama, wahyu yang kemudian disebut al-Sunnah. Bentuk ini disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk ide. Allah SWT menyampaikan kepada Jibril tentang sesuatu, lantas Jibril memahami kalam-Nya kemudian disampaikanlah kepada Nabi, hanya saja redaksinya diungkapkan oleh Nabi SAW. Kedua, wahyu yang disebut al-Qur’an yakni yang diturunkan adalah lafadz dan maknanya. Allah SWT mengatakan kepada Jibril, bacalahkanlah al-Kitab ini kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian Jibril turun tanpa mengubah redaksi lafadznya sedikitpun, seakan-akan Allah SWT menulis sebuah tulisan yang kemudian diserahkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Jibril[14]. Mengenai hadis qudsi, pendapat yang masyhur menurut Imam al-Zarqani adalah lafadznya dari Allah SWT seperti halnya al-Qur’an. Hanya saja tidak memiliki i’jaz, dan karakteristik seperti al-Qur’an[15].
Dari informasi di atas, kita bisa mengatakan bahwa pengertian wahyu tidak bisa dilihat dari satu sisi etimologis saja, karena makna literal saja belum bisa memahami hakikat kata tersebut. Yang harus dipahami adalah makna etimologi dan makna syari’ah. Memahami keduanya akan menghasilkan pemahaman yang komprehensif dan tidak dikotomis. Hal itu misalnya dapat dilihat dari makna dasar wahyu, di antaranya bermakna memberi informasi secara sembunyi dan menuliskan. Dua makna ini ternyata melekat dalam makna syar’i wahyu al-Qur’an. Artinya, al-Qur’an adalah bacaan, akan tetapi bukan berarti tidak sama dengan al-Qur’an sebagai teks. Dalam makna kata dasar wahyu terdapat arti tertulis. Maka adalah benar jika ia juga disebut kitab tertulis, sehingga al-Qur’an disebut juga al-Kitab.
Penjelasan tersebut misalnya dapat dilihat dari salah satu makna etimologis bahwa wahyu diartikan “mengatakan sesuatu atau sesuatu yang tertulis” (al-maktub). Saat menerima wahyu, Nabi SAW tidak menerimanya dalam bentuk tulisan atau buku akan tetapi ia menerima bacaan ayat. Namun, sesuai dengan makna literalnya, setelah Rasulullah SAW menerima wahyu kemudian diajarkan kepada para Sahabat secara lisan dan mengafalnya, maka wahyu yang telah dihafal oleh para sahabat itu ditulis di atas pelepah kurma, atau tulang. Meskipun wahyu disampaikan secara lisan, akan tetapi secara konsisten al-Qur’an menyebut sebagai kitab tertulis (al-Kitab)[16]. Oleh karena itu, penjagaan wahyu al-Qur’an melalui dua media, yaitu hafalan dan dibantu dengan tulisan seperti yang akan dijelaskan nanti. Artinya, tidak akan ada perbedaan isi antara wahyu saat disampaikan secara oral pada masa Rasulullah SAW dan wahyu saat dituliskan dalam bentuk teks.
Proses penurunan wahyu (tanziil) melalui beberapa cara. Pertama, Nabi SAW didatangi Malaikat kemudian terdengar seperti suara gemerincing dengan sadar Nabi SAW mendengarkan dan memahami bahwa itu adalah wahyu[17]. Menurut beberapa riwayat, wahyu yang turun dengan cara ini bila ayat itu berisi ancaman.[18] Kedua, Malaikat datang kemudian ia menyampaikan seperti membisiki Nabi SAW[19]. Ketiga, malaikat Jibril datang dengan rupa manusia biasa, kemudian malaikat menyampaikan wahyu secara langsung (talaqqiyan) kepada Nabi SAW. Keempat, Nabi SAW didatangi Malaikat dalam tidurnya. Kelima, Allah SWT langsung menyampaikan wahyu-Nya baik Nabi SAW dalam keadaan sadar, seperti Nabi Muhammad SAW menerima perintah shalat pada malam Isra’ atau Allah SWT mendatanginya dalam tidur Nabi SAW. Menurut al-Suyuthi al-Qur’an tidak diturunkan melalui cara kelima ini.[20] Setiap selesai mendapat wahyu Rasulullah SAW mengajarkan kepada para Sahabat, mengajarkan secara lisan dan menganjurkan untuk menghafal di samping beliau juga memerintahkan untuk menuliskan.
Dari informasi tentang cara tanziil di atas, bisa dipahami bahwa wahyu al-Qur’an pada dasarnya adalah bacaan bukan tulisan. Yang dimaksud dengan membaca al-Qur’an adalah membaca dari ingatan, sedangkan tulisan hanya sebagai pembantu[21]. Nabi Muhammad SAW sangat perhatian dalam memelihara hafalan al-Qur’an para Sahabat, bahkan beliau bersemangat menggerakkan lidahnya untuk melatih bacaan Sahabat dan menyegerakan penghafalannya karena khawatir terlewatkan satu huruf[22]. Selain itu, untuk menjaga hafalan, malaikat Jibril datang pada bulan Ramadlan setiap tahunnya untuk mengecek bacaan Nabi SAW. Bahkan pada tahun menjelang wafatnya, Jibril menyampaikan bacaan al-Qur’an dua kali, sehingga beliau dapat memahaminya dengan sangat baik waktu menjelang akhir hayatnya[23]. Meskipun begitu, bukan berarti wahyu berbeda esensinya dengan teks al-Qur’an. Penjelasan tersebut akan dipaparkan berikut ini.
b. Wahyu Oral dan Wahyu Tulisan
Upaya dekonstruktif terhadap al-Qur’an dilakukan pemikir Liberal dengan mencoba mendikotomi antara wahyu oral dan wahyu dalam bentuk tulisan atau naskah Mushaf Usmani. Ide ini secara jelas menggiring pada keyakinan fasid bahwa ternyata wahyu dalam bentuk kitab (teks) berkurang kesakralan dan esensinya. Mereka berasumsi bahwa sejak awal wahyu turun, perjumpaan manusia (Nabi) dengan wahyu berlangsung pada tingkat oral. Pada tingkat ini yang diterima adalah ide[24]. Al-Qur’an dianggap fakta manusiawi dan historis. Dalam proses penulisannya sebagai kitab suci, al-Qur’an tidak semata-mata merupakan proses sepihak dari Tuhan. Proses itu berlangsung pada dataran historis yang melibatkan manusia (Rasul, Nabi, penafsir, dan komunitas)[25].
Dengan asumsi seperti itu, maka timbullah keyakinan bahwa wahyu al-Qur’an, ketika ditulis dalam bentuk teks, substansinya berkurang, isinya sudah tidak 100% lagi. Ketika ditulis secara resmi dalam naskah Mushaf Ustmani, isi wahyu Tuhan tereduksi dan tercampur nalar penulis. Seperti yang ditulis dalam buku Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya, penulis mengatakan “Dalam karya ini, saya membedakan antara wahyu, al-Qur’an dan Mushaf Ustmani. Ketiganya adalah tiga nama yang kendati mengacu pada satu substansi, tetapi kadar muatan ketiganya berbeda. Wahyu sebagai pesan otentik Tuhan masih memuat keseluruhan pesan Tuhan; al-Qur’an sebagai wujud konkret pesan Tuhan dalam bentuk Bahasa Arab oral memuat kira-kira lima puluh persen pesan Tuhan; dan Mushaf Ustmani sebagai wujud konkret pesan Tuhan dalam bentuk Bahasa Arab tulis hanya memuat kira-kira tiga puluh persen pesan Tuhan”. Dalam buku tersebut penulis tidak menjelaskan argumentasi bagaimana ia bisa menyimpulkan secara kalkulatif seperti itu.
Pendapat ini secara jelas merujuk kepada pemikiran Mohammed Arkoun, pemikir liberal asal Al-Jazair, yang membagi anggitan wahyu al-Qur’an menjadi tiga, yaitu wahyu sakral-supra natural, wahyu kenabian yaitu al-Qur’an yang disampaikan secara oral kepada para sahabat, dan wahyu dalam bentuk teks. Pemikiran Arkoun ini pun tampaknya bukan ‘ijtihad’ orisinil Arkoun sendiri. Arkoun yang banyak mengkaji pemikiran Barat postmo dipastikan merujuk pendapatnya kepada para pemikir barat potmodern.
Tentang tipologi wahyu, Arkoun terlihat ‘ijtihadnya’ tersebut dipengaruhi oleh Paul Ricour. Ricour menyatakan bahwa pesan atau bahasa Tuhan memiliki tiga tingkatan. Selain itu, Arkoun juga merujuk kepada pendapat orientalis Arthur Jefferey. Jeffery berkeyakinan bahwa teks al-Qur’an adalah teks historis yang terpengaruh oleh beragam bahasa asing seperti bahasa Aramic, Ibrani, Syiriac, Yunani kuno dan Persi yang kemudian dianggap sakral oleh umat Islam.[26] Kajian-kajian tersebut tentu sulit diterima. Sebab, kajian Barat dan orientalis didahului oleh prasangka dan spekulasi negatif tentang al-Qur’an.
Keyakinan tersebut berbeda dengan konsep yang diyakini oleh umat Islam. Wahyu al-Qur’an, sebenarnya telah terkumpul dalam bentuk tulisan sejak Nabi Muhammad SAW. Abu Ubaid dalam Fadla’il al-Qur’an melaporkan bahwa saat wahyu turun, Nabi Muhammad SAW langsung memanggil para juru tulis dan mendiktekan ayat yang baru saja turun[27]. Laporan Abu Ubaid memberi kesimpulan bahwa sebenarnya al-Qur’an telah terkumpul dalam bentuk tulisan sejak zaman Nabi Muhammad SAW masih hidup. Beberapa Sahabat yang terkenal sebagai penulis wahyu adalah Abdullah bin Sa’ad, Abdullah bin Amru bin Ash, Zaid bin Tsabit, dan Mu’awiyan bin Abi Sufyan.
Fakta ini juga memberi penjelasan tentang sebutan al-Kitab sebagai nama lain dari al-Qur’an. Dinamakan al-Kitab karena memang sejak awal ayat-ayat al-Qur’an ditulis oleh para Sahabat dan terkumpul. Ayat-ayat al-Qur’an yang menyebut al-Qur’an sebagai al-Kitab memberi indikasi bahwa wahyu tidak hanya diajarkan secara lisan akan tetapi ayat-ayat tersebut sebenarnya memberi informasi bahwa wahyu itu juga terjaga dan terkompilasi dalam bentuk naskah tulisan. Al-Qur’an yang artinya bacaan atau dibaca dengan lisan dan al-Kitab artinya ditulis dan dimodifikasi dengan tulisan. Hal ini juga sesuai dengan salah satu makna kata dasar wahyu, yakni waha salah satu artinya adalah menuliskan. Maka terbukti jelas di sini, dalam kata bahasa Arab, selalu makna terminologisnya melekat makna-makna kata dasarnya sebagaimana dijelaskan di atas.
Dengan dua media ini (hafalan dan tulisan), maka al-Qur’an terpelihara sepanjang zaman sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al-Hijr 9. Ibnu ‘Asyur mengungkap bahwa semua ayat-ayat yang dihafal oleh para Sahabat sudah termanifestasikan secara lengkap dalam bentuk tulisan pada masa Abu Bakar RA, yaitu saat beliau memerintahkan untuk mengumpulkan dalam mushaf[28].
Fakta dan penjelasan tersebut sekaligus menolak anggapan adanya ambivalensi antara al-Qur’an sebagai Kitab Suci dan al-Qur’an sebagai kitab tertulis. Apalagi dalam riwayat al-Juwaini dalam al-Itqan sebagaimana disebut di atas, sejak awal wahyu Allah disebut al-Kitab. Allah SWT sendiri yang menyebutkannya. Sebelum diturunkan, Allah mengatakan kepada Jibril: “Bacakanlah (wahai Jibril) al-Kitab ini kepada Nabi Muhammad SAW”[29]. Anggapan adanya ambivalensi ini berangkat dari asumsi bahwa penulisan al-Qur’an datang belakangan, tidak ada perintah dari Rasulullah SAW untuk menuliskan wahyu[30].
Dapat disimpulkan, isi wahyu saat disampaikan secara oral adalah sama saat wahyu itu ditulis. Wahyu adalah kalam Allah yang sakral disampaikan secara oral. Namun, bukan berarti esensinya berkurang ketika ditulis. Atau tidak ada perintah untuk menuliskannya, Sebagaimana disinggung di atas Rasulullah SAW memerintahkan Sahabat untuk menuliskan ayat-ayat yang turun[31]. Dan nyatanya, dalam beberapa ayat wahyu tersebut disebut al-Kitab. Meskipun pemikir Liberal menyangkal bahwa pada saat wahyu masih turun, ayat-ayat belumlah lengkap, berati, menurut mereka, yang dimaksud al-Kitab tersebut terbatas pada makna ‘tulisan’ secara umum. Ia tidak merujuk kepada satu kesatuan Kitab Suci yang utuh[32]. Pendapat ini terkesan mengada-ada dan spekulatif. Ketika wahyu masih turun, memang ayat-ayat al-Qur’an belumlah lengkap, tapi perlu diingat pula bahwa al-Qur’an yang utuh telah ada sebelumnya yaitu diturunkan di bait al-izzah langit ketujuh yang lafadz dan maknanya dari Allah SWT dengan berbahasa Arab. Begitu wahyu disampaikan secara oral, Rasulullah SAW langsung memerintahkan untuk menuliskannya dan -dalam suatu riwayat- beliau di samping mengecek hafalan sahabat juga mengecek tulisan yang dimiliki para Sahabat melalui juru tulisnya[33]. Sebutan al-Kitab dalam al-Qur’an menunjukkan pada kesatuan Kitab Suci yang utuh.
Dikotomisasi Lafadz dan Makna
Perdebatan tentang sakral dan tidaknya teks al-Qur’an atau Mushaf Ustmani, sebenarnya berangkat dari persoalan apakah wahyu al-Qur’an itu diturunkan dengan lafadz dan maknanya, atau hanya maknanya saja. Pendapat kaum liberal menyatakan bahwa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah maknanya saja, sedangkan lafadznya dikreasi oleh Nabi SAW. Sebagai manusia biasa yang hidup di lingkungan yang tidak kosong dari budaya Arab, maka lafadz yang diungkapkan oleh Nabi Muhammad SAW berupa al-Qur’an itu terpengaruh oleh historisitas budaya saat itu[34]. Implikasi dari pendapat ini adalah terdesakralisasinya dimensi lafadz al-Qur’an. Sebab yang sakral adalah dimensi maknanya saja.
Pemisahan antara lafadz dan makna tersebut membuka peluang untuk bisa ‘bermain-main’ dengan teks al-Qur’an. Insiden penginjakan lafadz al-Qur’an oleh seorang dosen IAIN Surabaya pada pada 5 Mei 2006 di hadapan mahasiswa ketika mengajar adalah bukti implikasi pemahaman yang batil tentang al-Qur’an. Si dosen berargumen bahwa teks al-Qur’an itu sama dengan rumput atau kertas lainnya. Sehingga, menurut dosen tersebut, dalam konteks penafsiran, maka sah-sah saja menggunakan ‘pisau’ hermeneutika untuk membedah pesan dan makna dalam al-Qur’an yang derajatnya diturunkan sebagai teks manusiawi.
Selanjutnya akan sangat mudah tumbuh keyakinan bahwa ada ‘kecelakaan’ gramatika dalam al-Qur’an, karena ia dianggap teks manusiawi yang terbungkus nilai budaya tertentu.
Keyakinan seperti tersebut di atas, bahwa kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah maknanya saja, bukanlah pendapat populer di kalangan ulama’. Semua ulama’ sepakat bahwa kalam Allah SWT yang disebut wahyu adalah diturunkan (munazzal) –lafdzan wa ma’nan– dari Allah, dan orang yang mengingkarinya termasuk orang yang menyalahi perkara pasti dalam agama (amru al-diin bi al-dlarurah)[35]. Adapun riwayat yang menisbatkan kepada pendapat Abu Hanifah bahwa beliau berpendapat al-Qur’an diturunkan dalam bentuk maknanya saja adalah tidak tepat. Sebab, dari laporan Nauh bin Abi Maryam al-Jaami’, ternyata Imam Abu Hanifah menarik pendapatnya tersebut, sehingga Imam Abu Hanifah dan kalangan ulama hanafiyah setelah penarikan pendapat itu berfatwa bahwa shalat dengan menggunakan bahasa lain selain Arab tidak diperbolehkan, sebab al-Qur’an itu adalah lafadz dan maknanya[36].
Imam Zarkasyi berpendapat bahwa sebelum diturunkan ke bait al-‘izzah, malaikat Jibril menghafal lafadz al-Qur’an di Lauh Mahfudz terlebih dahulu[37]. Bahkan, menurut Zarkasyi al-Qur’an sebelum diturunkan telah tertulis di lauh mahfudz dengan susunan yang sesuai dengan susunan mushaf saat ini[38]. Lafadz yang diturunkan tersebut adalah benar-benar lafadz (haqiqah), bukan majazi, tidak ada campur tangan Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad SAW dalam pengungkapannya[39]. Nabi Muhammad SAW dalam posisi penerima pasif.
Sebagai penerima pasif, Nabi Muhammad SAW menerima wahyu tanpa mengubah redaksi. Begitu pula Malaikat Jibril –sebagai makhluk yang tidak pernah inkar pada-Nya– hanyalah sebagai mediator. Maka pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa yang turun hayalah maknanya saja adalah pendapat yang ditolak oleh para ulama. Imam al-Zarqani mengatakan: “Sungguh ada sebagian orang berpendapat bahwa Jibril datang kepada Nabi SAW membawa makna al-Qur’an, kemudian Rasulullah SAW sendiri yang menyusun redaksinya dengan bahasa Arab. Ada pula yang berpendapat bahwa lafadz itu dari Jibril. Sedangkan Jibril menerima dari Allah SWT hanya dalam bentuk makna saja. Dua pendapat tersebut adalah salah, bertentangan dengan al-Qur’an, hadits dan ijma”[40].
Sejak awal, Malaikat Jibril sudah menghafal lafadz ayat-ayat al-Qur’an –bukan maknanya– sebelum ia menyampaikan kepada Nabi Muhammad SAW[41]. Adapun yang turun maknanya saja disebut hadits Nabawiy bukan al-Qur’an, karena hadits juga termasuk wahyu. Ketidakmungkinan prasangka bahwa kata-kata al-Qur’an dari Rasulullah SAW dapat dibuktikan bahwa ternyata lafadz-lafadz al-Qur’an itu mampu ‘menyihir’ para penyair Arab saat itu, mengandung mu’jizat berupa kabar-kabar ghaib, padahal Rasulullah SAW adalah seorang yang ummi tidak pakar sastra atau ilmu kegaiban. Selain itu, tantangan yang dinyatakan dalam al-Qur’an bagi orang-orang yang ingkar terhadapnya adalah tantangan untuk menandinginya dalam bentuk lafadz dan maknanya. Bukan maknanya saja. Apalagi menurut al-Suyuthi, proses transmisi baik di Lauh Mahfud yang melibatkan Allah dan Malaikat Jibril, maupun di bumi yang melibatkan dua komunikator Jibril dan Nabi Muhammad SAW, disampaikan secara talaqqi, dimana proses penyampaian itu benar-benar lafadznya tidak terpisah dari makna[42].
Wahyu, al-Qur’an dan Mushaf Usmani
a. Dekonstruksi Konsep
Dalam pandangan Liberal, antara wahyu, al-Qur’an dan Mushaf Usmani memiliki isi yang berbeda. Wahyu dalam arti kalam Allah SWT di Lauhul Mahfudz adalah wahyu yang suci yang tidak diketahui oleh akal manusia. Bagi mereka, bentuk wahyu merupakan realitas supra-natural yang jauh dari jangkauan rasio manusia. Oleh karena itu baginya, persoalan wahyu dalam konteks ini tidak bisa diperdebatkan. Wahyu itu kini telah mengalami naturalisasi berwujud al-Qur’an dan kemudian diresmikan oleh Ustman bin Affan sebagai Mushaf Usmani. Wahyu dalam bentuk ini bagi mereka yang perlu diperdebatkan, karena mereka berasumsi bahwa pada saat proses naturalisasi itu ada campur tangan budaya Arab dan Nabi Muhammad SAW.[43]
Bagi Nasr Hamid, al-Qur’an ditempatkan sebagai hasil ‘inspirasi’ Nabi Muhammad SAW. Dalam bukunya Mafhum al-Nash ia mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad, seorang manusia biasa. Nabi Muhammad SAW adalah buah produk masyarakat Arab yang memiliki sejarah. Al-Qur’an, bukanlah teks yang turun dari langit dalam bentuk kata-kata aktual, tetapi merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Muhammad sekaligus diekspresikan dalam bahasanya.[44] Dari sini, tampak Abu Zaid mengklaim bahwa al-Qur’an adalah hasil inspirasi Nabi Muhammad SAW. Wahyu yang turun kepada beliau bukanlah lafadz, tapi berbentuk ide yang kemudian dibahasakan oleh Nabi Muhammad SAW. Atas dasar ini Abu Zaid menyimpulkan bahwa al-Qur’an adalah muntaj tsaqafi (produk budaya). Sehingga, otomatis isi pesan Tuhan telah ‘termodifikasi’ sedemikian rupa berwujud al-Qur’an.
Agak sedikit berbeda dengan Abu Zaid, Mohammed Arkoun membagi wahyu menjadi dua. Pertama, disebut ummu al-Kitab (induk Kitab). Kitab ini disebut pula kitab langit, yaitu kalam Tuhan yang sakral dan sempurna. Menurut Arkoun, wahyu ini adalah sumber dari kitab-kitab suci, tidak hanya al-Qur’an akan tetapi juga sumber kitab suci agama lain, seperti Bible. Kedua, disebut wahyu bumi yang tertulis dalam beberapa kitab. Jenis kedua ini termasuk berbagai kitab suci baik kitab suci Kristen atau Yahudi[45]. Arkoun menilai, wahyu yang disebut ummu al-Kitab memiliki kebenaran mutlak, tak bisa disentuh akal manusia. Oleh sebab itu, wahyu bumi bagi dia tidak sesuci wahyu induk yang ada di Lauhul Mahfud karena ia berasumsi bahwa wahyu bumi itu mengalami modifikasi dan revisi[46]. Berkenaan dengan al-Qur’an, wahyu tertulis untuk umat Islam itu memiliki sejarah sendiri, yakni bermula dari catatan-catatan yang parsial yang berserak sampai menjadi naskah resmi yang ia sebut corpus official close (korpus resmi tertutup), yang diresmikan oleh Usman bin Affan[47].
Atas dasar itu, Arkoun membagi sejarah turunnya wahyu menjadi dua. Pertama, periode formatif dan periode penetapan. Pada peridode formatif al-Qur’an disampaikan secara oral dari Nabi Muhammad SAW kepada para Sahabat. Dan periode penetapan dimulai saat wafatnya Nabi Muhammad SAW. Periode penetapan disebut pula periode tertulis, yang menurut Arkoun tidak pernah pada masa Rasulullah SAW al-Qur’an itu ditulis[48]. Penulisan dimulai ketika Rasulullah SAW wafat dan secara resmi menjadi naskah yang diakui pada masa Usman bin Affan. Pada periode pewahyuan tersebut al-Qur’an disebut diskursus kenabian dan periode penetapan al-Qur’an disebut Arkoun sebagai Corpus Resmi Tertutup.
Al-Qur’an diskursus kenabian dianggap Arkoun lebih sakral dan keotentikannya lebih dipercaya daripada setelah al-Qur’an menjadi Corpus Resmi Tertutup. Karena, ketika pada diskursus kenabian, al-Qur’an terbuka untuk semua arti dan model bacaan. Saat itu, al-Qur’an disampaikan secara oral dan turunnya ayat-ayat mengikuti persoalan yang dihadapi masyarakat saat itu, sebagai respon atas soal-soal yang diajukan Sahabat. Al-Qur’an yang berbentuk oral sifatnya terbuka untuk segala penafsiran. Berbeda katika al-Qur’an ditulis dalam bentuk teks. Bentuk teks, menurut Arkoun mengurangi kesucian wahyu[49]. Apalagi setelah diresmikan oleh Usman menjadi teks yang tertutup, dialek Quraisy menjadi dialek bahasa al-Qur’an yang resmi, menutup kemungkinan bacaan-bacaan yang dianggap Usman tidak tepat. Akhirnya, menurut Arkoun, Al-Qur’an benar-benar mengalami penurunan kesucian[50]. Dengan pemahaman seperti ini, teks al-Qur’an saat ini bukanlah teks suci, yang bisa membuka kran kebebasan untuk menafsirkan dan berasumsi ada kesalahan penulisan teks. Ia adalah hasil kesepakatan manusia yang bisa saja terjadi kesalahan penulisan.
b. Implikasi dan Pengaruh Konsep Wahyu Mohammed Arkoun
Menyimak pemikiran Arkoun tersebut, ada tiga hal yang perlu dikaji di sini. Pertama, ia menempatkan al-Qur’an setara dengan beberapa kitab suci agama lain, seperti kitab suci Yahudi dan Kristen. Kedua, dualisme pemikiran yang melihat fakta secara mendua, seperti jiwa dan raga tidak saling terkait satu sama lain. Dalam kasus al-Qur’an, ia membedakan isi antara wahyu yang supra-natural dengan wahyu tertulis. Ketiga, membuka ruang untuk melakukan spekulasi-spekulasi, bahwa ada masalah dalam teks yang telah diresmikan tersebut, bahkan membuka ruang untuk ‘bermain-main’ dengan teks al-Qur’an. Maka timbullah dugaan ada kesalahan dalam penulisan teks al-Qur’an.
Pemikiran Arkoun seperti ini mendapatkan tempat istimewa dalam kajian pemikir Liberal Indonesia. Bagi Arkounism (julukan pemuja pemikiran Arkoun), kehadiran Arkoun adalah sebuah ‘amunisi’ untuk mengembangkan pemikiran yang liberal. Beberapa hasil pemikiran Arkoun lantas dikembangkan dan disintesa yang menjadi paradigma pemikiran liberal di Indonesia. Berikut ini adalah beberapa pemikiran yang dikembangkan dari hasil ide-ide Arkoun tentang dekonstruksi konsep wahyu.
- Membangun Paradigma Kesatuan Agama-Agama
Posisi al-Qur’an yang disetarakan dengan kitab suci agama lain adalah sebuah cara Arkoun untuk membangun konsep pluralisme, yang mengarah pada paradigma kesatuan agama-agama[51]. Konsep ini, tidak sesuai dengan kenyataan sejarah yang ada. Kitab Injil dan Taurat adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Isa dan Nabi Musa, ini benar. Akan tetapi, dua kitab itu tidak mendapat jaminan keaslian hingga sekarang. Dua kitab tersebut saat ini telah mengalami distorsi[52]. Sedangkan al-Qur’an sebagai satu-satunya kitab yang mendapat penjagaan dari Allah SWT[53] berposisi sebagai hakim terhadap kitab suci sebelumnya. Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat “Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan” mengatakan, maksud ayat itu adalah al-Qur’an berposisi sebagai hakim yang bertugas mengawasi dan memvonis kitab-kitab sebelumnya.[54] Jadi menyamakan dan mensetarakan ketiga kitab tersebut dalam konteks setelah diturunkannya wahyu al-Qur’an tidaklah tepat.
2.Dualisme wahyu supra-natural dan teks Mushaf Utsmani
Selain itu, salah satu dampak destruktif dari kajian Arkoun tentang wahyu adalah membedakan isi wahyu dan teks al-Qur’an. Seakan ada distingsi esensi antarkeduanya. Dia mengakui kebenaran mutlak wahyu hanya pada level supra-natural itu, akan tetapi mushaf al-Qur’an tidak layak untuk mendapatkan kesucian[55]. Pemikiran ini tampak mirip dengan doktrin dualisme yang merujuk kepada dikotomi subyek-objek, memisahkan substansi menjadi dua. Seperti substansi jiwa dan raga, akal dan materi yang masing-masing tidak terkait. Wahyu yang supra-natural isinya berbeda dengan wahyu yang berwujud fisik teks. Pengaruh ini berdampak pada asumsi-asumsi yang negatif terhadap Mushaf Usmani.
Penggunaan kata ‘resmi’ dalam istilah Korpus Resmi Tertutup untuk Mushaf Usmani seakan berbau politik kekuasaan Usman bin Affan RA. Sedangkan kata ‘tertutup’ menimbulkan dugaan negatif bahwa Khalifah Usman RA memaksakan haknya untuk tidak membuka peluang bacaan atau dialek lain selain yang ia tetapkan. Hal demikian menuai implikasi-implikasi lain yakni timbul keyakinan bahwa pada tulisan, wahyu mengalami perampingan, dari tujuh bahasa yang semula digunakan Nabi Muhammad SAW menjadi satu bahasa yakni bahasa Qurasy. Selanjutnya timbul kecurigaan, bahwa Usman bin Affan RA bertanggung jawab atas pereduksian wahyu tersebut[56].
Anggapan seperti tersebut di atas terkesan mengada-ada, apalagi menyebutkan angka matematis isi pesan. Jika wahyu yang sakral dan otentik itu ada di lauhul mahfudz tak bisa dijangkau akal manusia, sedangkan wahyu yang berwujud teks Mushaf Usmani dianggap mengalami reduksi, maka asumsi ini mengandaikan bahwa, pesan yang seratus persen itu gagal diwahyukan kepada manusia. Artinya, Allah SWT gagal menyampaikan wahyu dan tidak mampu menjaga dari pereduksian, yang berarti menyalahi janji Allah SWT sendiri untuk menjaganya sebagaimana disebut dalam QS Al-Hijr 9.
Dalam keyakinan Islam, ketiga nama itu –wahyu, al-Qur’an dan Mushaf Usmani- merujuk pada satu substansi, dan tidak ada pereduksian ataupun kesalahan penulisan teks. Sejak awal penulisan wahyu –yang ditulis di media kulit atau pelepah kurma–, Rasulullah SAW mengontrol tulisan Sahabat. Muhammad Abu Syuhbah dalam Al-Madkhal fii Dirasat al-Qur’anil Karim menyebut sebuah riwayat bahwa Rasulullah SAW menyuruh juru tulis untuk menuliskan wahyu, kemudian menunjukkan tempat wahyu itu harus diletakkan dan tata penulisannya sesuai dengan petunjuk Malaikat Jibril, Rasulullah berkata: “Letakkan surat ini pada tempat yang disebutkan di dalamnya ungkapan ini dan itu”.[57] Peletakan ayat-ayat ke dalam surat-surat tertentu bukanlah atas inisiatif Nabi SAW pribadi, akan tetapi penetapan itu memiliki dasar ilahiyah, karena Malaikat Jibril menemui Nabi Muhammad SAW untuk memberi perintah untuk menempatkan ayat-ayat tertentu[58]. Sebuah riwayat juga melaporkan bahwa Zaid bin Tsabit, salah satu sekretaris Nabi Muhammad SAW, ketika tugas penulisan selesai, Zaid membaca ulang tulisannya di hadapan Nabi SAW agar tidak ada sisipan kata lain yang masuk ke dalam teks.[59] Dengan demikian pada masa Nabi SAW bentuk teks al-Qur’an sudah tersedia yang dikumpulkan secara pribadi oleh para Sahabat.
Pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu Bakar RA dilakukan secara ketat dan teliti. Penghimpunannya harus disandarkan kepada hafalan dan tulisan. Tim pengumpul al-Qur’an tidak mau menerima naskah kecuali diperoleh dari dua sumber secara bersamaan, dengan disaksikan oleh dua orang saksi. Dengan tujuan menghindari kesalahan, pengurangan atau penambahan teks.[60] Hasil kompilasi ini kemudian disimpan Umar dan kemudian diserahkan kepada Hafshah.
Metode dan cara kodifikasi yang dilakukan Usman RA sebenarnya tidak berbeda jauh dengan apa yang telah dilakukan Abu Bakar RA. Naskah yang disimpah Hafshah adalah sumber penting dalam pengumpulan al-Qur’an untuk kedua kalinya ini. Hanya saja pengumpulan al-Qur’an pada masa Usman RA memiliki beberapa kelebihan. Di antaranya, di dalam pengumpulan tersebut ada pembatasan pada satu dialek, yaitu dialek Quraisy.[61]
Pemilihan satu dialek justru merupakan kelebihan bukan pereduksian sebagaimana diklaim Arkoun. Sebab, pertama, dialek Quraisy merupakan dialek pertama yang dipilih Allah SWT sebagai bahasa al-Qur’an, sedakangkan dialek-dialek lainnya yang tujuh sebenarnya diturunkan untuk memudahkan suku-suku tertentu. Tujuh bacaan itu semacam rukhshah bagi kaum yang kesulitan mengucapkan dengan dialek satu. Sebelum hijrah, dialek yang digunakan hanya satu, yaitu dialek Quraisy[62]. Ibnu Hajar berkomentar bahwa pilihan bacaan yang paling tepat adalah berdasarkan dialek Quraisy, ia adalah dialek yang terbaik bagi muslim Arab dan ajam (non-Arab). Ternyata dialek Quraisy ini memudahkan orang-orang ajam[63] dibanding dialek-dialek suku Arab lainnya. Adapun dialek yang tujuh tersebut diturunkan untuk beberapa kaum dengan tujuan untuk memudahkan dalam menghafal dan memahami al-Qur’an. Sebab, pada bebarapa suku tertentu mereka sulit menghafal dengan menggunakan dialek Quraisy.[64] Hikmah kedua, pemilihan satu dialek tersebut dapat menyatukan para kaum yang berselisih mengenai bacaan al-Qur’an.
Hal yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa beragamnya variasi bacaan itu bukan disebabkan oleh naskah awal al-Qur’an yang ditulis secara sederhana tanpa titik dan syakal. Sehingga membuka peluang untuk berimprovisasi dalam membaca. Asumsi tersebut bermula dari anggapan bahwa al-Qur’an itu adalah teks. Padahal pada dasarnya al-Qur’an adalah bacaan, rasm adalah media pembantu, dan dalam periode sejarahnya rasm selalu mengikuti qiraah. Sehingga jikapun terdapat rasm yang berbeda, maka rasm itu harus mengikuti cara baca (qiraah) al-Qur’an yang mutawatir.[65] Di samping itu rasm Usmani memilki kelebihan dapat menampung ragam bacaan (qiraat) yang ada[66].
- Isu Ada Kesalahan Gramatikal al-Qur’an
Isu adanya dugaan kesalahan gramatika dalam teks rasm Mushaf Usmani, juga didasari oleh asumsi keliru tersebut, bahwa al-Qur’an adalah sebuah teks belaka tanpa melihat adanya varian bacaan al-Qur’an yang mutawatir. Contoh ayat yang dianggap bermasalah secara gramatikal adalah QS Thaha 63. Dalam mushaf Usmani ayat tersebut ditulis:
(#þqä9$s% ÷bÎ) Èbºx»yd ÈbºtÅs»|¡s9 Èb#yÌã br& Oä.%y`Ìøä ô`ÏiB Nä3ÅÊör& $yJÏdÌósÅ¡Î0 $t7ydõtur ãNä3ÏGs)ÌsÜÎ/ 4n?÷WßJø9$# ÇÏÌÈ
Dan QS Al-Maidah ayat 69 yang berbunyi
bÎ) úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä úïÏ%©!$#ur (#rß$yd tbqä«Î6»¢Á9$#ur 3t»|Á¨Y9$#ur ô`tB ÆtB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# @ÏJtãur $[sÎ=»|¹ xsù ì$öqyz óOÎgøn=tæ wur öNèd tbqçRtøts ÇÏÒÈ
Dalam buku Metodologi Studi al-Qur’an ditulis bahwa surat Thaha ayat 63 tersebut secara gramatikal salah. Mestinya kata Hadzaani ditulis Hadzaini karena kata tersebut adalah isim inna yang harus manshub. Yang harus diketahui, dalam Mushaf Usmani dibaca in hadzaani bukan inna hadzaani. Akan tetapi buku itu mempersoalkan bacaan yang berbunyi inna hadzaani. Bacaan yang berbunyi inna hadzaani bukan bacaan Mushaf Usmani akan tetapi ia adalah bacaan ulama Bashrah seperti Isa bin Umar, Abu Amru dan Ashim al-Juhdari. Jadi, dari sini saja dapat diketahui, bahwa kritikan itu salah sasaran. Andaipun bacaan ulama Bashrah itu yang dikritik, tetap dugaan itu juga tidak tepat. Buku tersebut menjustifikasi dari sebuah riwayat Urwah yang dikutip oleh al-Suyuthi dalam al-Itqan. Dalam riwayat itu dilaporkan Urwah bin Zubair bertanya kepada Aisyah tentang lahn (penyimpangan) dalam al-Qur’an. Ayat yang dianggap menyimpang itu adalah QS Thaha 63, QS al-Maidah 69 dan QS. Al-Nisa’ 162. Aisyah menjawab bahwa itu kesalahan penulis. Dan ketika Usman disodori ayat yang dianggap bermasalah tersebut, Khalifah ketiga ini melihat ada penyimpangan akan tetapi Usman melarang untuk mengubah bacaan yang janggal dengan alasan bahwa bacaan orang Arab akan dengan sendirinya mengubah. Riwayat itu dianggap valid karena menurut al-Hakim riwayat itu memenuhi syarat kesahihan hadits Bukhari-Muslim. Akan tetapi penjelasan al-Suyuthi tidak berhenti sampai di situ. Pada pembahasan selanjutnya al-Suyuthi justru berkomentar bahwa riwayat itu bermasalah. Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah dalam Al-Madkhal fii Ulum al-Qur’an al-Karim juga berkomentar sama. Ia mengatakan, riwayat ini tidak benar dari Aisyah, dan riwayat itu termasuk kategori riwayat ahad – riwayat yang tidak bisa dijadikan dalil pasti untuk periwayatan al-Qur’an. Abu Syuhbah menegaskan riwayat itu sengaja dilontarkan dengan dinisbatkan kepada Aisyah untuk menciptakan keraguan di hati kaum muslim[67]. Dugaan adanya kecelakaan gramatika ini timbul tidak disertai pemahaman bahwa al-Qur’an diturunkan dengan varian bacaan yang berbeda-beda. Dugaan-dugaan seperti tersebut –seperti yang diangkat dalam buku Metodologi Studi al-Qur’an– sebenarnya adalah tuduhan lama yang dilontarkan orientalis.
Tuduhan tersebut pernah dilontarkan seorang Evangelis yang bernama Abdullah al-Fadly. Syekh Shalah Abdul Fattah al-Kholidi dalam Al-Qur’an wa Naqdu Mutha’in al-Rahban menyebutkan al-Fadly menulis buku Hal al-Qur’an Ma’shum yang berisi tuduhan adanya kesalahan gramatika dalam al-Qur’an yang mendasarkan pada riwayat yang bermasalah. Buku al-Fadly tersebut diterbitkan oleh yayasan Kristenisasi Light of Life yang berpusat di Libanon. Nama Abullah al-Fadliy menurut al-Khalidi juga patut dipertanyakan. Nama ini konon hanya penisbatan, karena buku tersebut ditulis oleh beberapa orang. Penulis buku memvonis bahwa teks al-Qur’an bukanlah kalam Tuhan karena terdapat kesalahan-kesalahan. Al-Fadly berkomentar: “Al-Qur’an itu bukanlah wahyu dari Allah SWT akan tetapi ia adalah karangan manusia, hal itu terbukti dengan ditemukannya kesalahan-kesalahan di dalamnya”[68]. Jadi, dugaan adanya persoalan dalam tata bahasa al-Qur’an bukan informasi baru, akan tetapi telah lama dilontarkan oleh orientalis dan sudah terjawab oleh beberapa ulama.
Kesimpulan
Jadi, bisa disimpulkan, tidak ada perbedaan substansi antara wahyu bentuk oral dan berbentuk tulisan atau antara wahyu di lauhul mahfudz, al-Qur’an dan Mushaf Usmani. Anggapan adanya perbedaan isi tersebut tampak jelas terlalu mengada-ada, karena tidak sesuai dengan data dan informasi valid. Asumsi tersebut terlihat hendak menggiring pada pamahaman yang dikotomis[69]. Pemikiran yang mendikotomi antara wahyu oral dan wahyu tekstual atau antara wahyu, al-Qur’an dan Mushaf Usmani ini juga diduga pengaruh pandangan Barat postmodern, yakni melihat realita dengan pendekatan dualisme. Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan bahwa visi intelektual Barat memiliki ciri-ciri, akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia dan bersifat dualistik terhadap realitas dan kebenaran[70]. Pemikiran yang dualistik inilah yang nampaknya mengilhami pemikir liberal untuk diterapkan dalam ‘membongkar’ konsep wahyu.
Pembongkaran konsep tersebut –sebagaimana yang dilakukan Arkoun– membuka peluang untuk berspekulasi adanya kesalahan gramatika dalam al-Qur’an dan menafsirkan teks dengan metode hermeneutika. Jika anggapan ada yang bermasalah dalam teks, maka implikasi yang sangat berbahaya adalah, penyamaan teks al-Qur’an dengan nasib teks Bible dimana naskah aslinya tidak bisa dilacak kembali. Tampaknya, dekonstruksi wahyu al-Qur’an seperti tersebut di atas mengarah ke sana. Sehingga pada saatnya nanti, teks al-Qur’an tidak dipercaya (tak diketahui) lagi sebagai teks asli yang suci dari Allah SWT. Dugaan penyamaan nasib tersebut dapat dibuktikan dengan pernyataan orientalis peneliti al-Qur’an. Toby Lester mengutip pendapat Gerd R. Joseph Puin mengatakan bahwa seharusnya kaum muslim sudah saatnya melepaskan keyakinan al-Qur’an adalah kata-kata Tuhan yang tetap. Sebagaimana Bible –yang dalam kajian tekstualitas menunjukkan bahwa teks tersebut memiliki aspeks kesejarahan– al-Qur’an sebenarnya juga harus dibuktikan memiliki aspek historisitas.[71] Sehingga, jika proyek dekonstruksi Arkoun itu sukses, maka bentuk teks orisinil tulisan al-Qur’an akan hilang, yang tertinggal adalah upaya-upaya yang dianggap penyempurnaan teks, dan membuka pintu baru untuk menambah dan mengedit teks al-Qur’an, sebagaimana yang terjadi pada Bible.
DAFTAR PUSTAKA
Abd.Moqsith Ghazali (dkk), Metodologi Studi al-Qur’an (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009)
Abdurrahman bin Ibrahim al-Mathrudiy, Al-Ahruf al-Qur’aniyyah al-Sab’ah (Riyadh: Dar al-Kutub, ttp)
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidz min al-Dlalal (Kairo: Silsilah Tsaqafat Islamiyah, 1961)
_________________ Al-Munqidz min al-Dlalal (Kairo: Silsilah Tsaqafat Islamiyah, 1961)
Abul Barakat Samir dalam Al-‘Ismah wa al-Najah min Tahrifi Kitabillah (Thoif: Maktabah al-Tharfaini, 1410 H/1990 M)
Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)
___________, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, Kritik Atas Nalar Tafsir Gender (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004)
Hasyim Sahlih, Al-Amanah wa al-Din: al-Islam, al-Masihiyah, al-Gharb (London: Dar al-Saqi’, 1990)
Ibrahim Mustofa (dkk), Al-Mu’jam al-Washith (Istanbul: al-Maktabah al-Islamiyah, 1380 H/1960 M)
Ibn ‘Asyur, Tafsir al-Tanwih (Tunis: Al-Sadaad al-Tanwiyah Li Nasr, 1984)
Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fii Ulum al-Qur’an (Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, 1429 H/2008 M)
M.M. Al-A’zami, The History the Qur’anic text From Revelation to Compilation, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi (terjemahan), (Jakarta: GIP, 2005)
Mandzur, Lisanul Arab (Beirut: Dar Shadir, jilid 15 tanpa tahun)
Manna Khalil al-Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Qur’an (terj) (Bogor: Litera Antar Nusa, 2009)
Mohammed Arkoun, Al-Fikr al-Ushuli wa istihalat al-Ta’shil (terj)(London: Dar al-Saqi’, 1999)
________________, Min Faysal al-Tafriqah Ila Fasl al-Maqal:’Ayna Huwa al-Fikr al-Islamiy al-Mu’ashir [from Faysal to Fasl al-Maqal:Where is Islamic Thought], (Beirut: Dar al-Saqi, 1993)
________________, Rethinking Islam Today (terj), (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
Muhammad Abdul Adzim, Manahil al-Irfan Fii Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1415 H/1995 M)
Muhammad Abu Zahrah, Al-Mu’jizah al-Kubra al-Qur’an(Kairo: Dar al-Fikr al-Araby)
Muhammad Ali Al-Shabuni, Al-Tibyan fii Ulum al-Qur’an (terj), (Jakarta: Pustaka Amani, 1422 H/2001 M)
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Madkhal Li Dirasah al-Qur’an al-Karim, terjemah oleh Taufiqurrahman Studi Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka setia,1992)
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mu’jam al-Mufradat Li al-Faadzi al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M)
Muhammad Hasan Husnu Jabal, Wistaqah al-Naql al-Nash al-Qur’aniy min Rasulillahi Ilaa Ummatihi (Kairo-Mesir: Dar al-Shahabah Li al-Turatsh)
Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash Dirasah fi Ulum al-Qur’an (Beirut: al-Markaz al-Thaqafiy al-Arabiy, 1994)
Richard Elliot Friedman, Who Wrote the Bible (New York: Perennial Library, 1989)
Shalah Abdul Fattah al-Kholidi, Al-Qur’an wa Naqdu Mutha’in al-Rahban (Damaskus: Dar al-Qalam, 1426 H/2005 M)
Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: GIP, 2008)
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpu: ISTAC, 1993)
____________________________, The Concept of Education In Islam: a Framework for an Islamic Phlilosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1999)
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas (terj), (Bandung: Mizan, 2003)
Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA Thn. I No.4 Januari-Maret 2005
Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA Thn I No.2 Juni-Agustus 2004
CD Program Mausu’ al-Hadis al-Syarif
[1]Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash Dirasah fi Ulum al-Qur’an (Beirut: al-Markaz al-Thaqafiy al-Arabiy, 1994) dan Abdul Kabir Hussain Solihu, Hermeneutika al-Qur’an Menurut Muhammad Arkoun:Sebuah Kritik, Majalah Islamia Thn I No.2 Juni-Agustus 2004.
[2]Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash Dirasah fi Ulum al-Qur’an, p. 65
[3]Lihat Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)
[4]Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas (terj), (Bandung: Mizan, 2003), p.352-355 dan lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education In Islam: a Framework for an Islamic Phlilosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1999)
[5]Ibnu Mandzur, Lisanul Arab (Beirut: Dar Shadir, jilid 15) bab wahyu. Manna Khalil al-Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Qur’an (terj) (Bogor: Litera Antar Nusa, 2009), p.36
[6]Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mu’jam al-Mufradat Li al-Faadzi al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M), p. 747 lihat juga Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradaat fi Gharibi al-Qur’an, tanpa tahun dan tempat, bab wahyu
[7]Ibnu Mandzur, Lisanul Arab entri wahyu
[8]Al-Raghib al-Asfahani, bab wahyu. Muhammad Abdul Adzim, Manahil al-Irfan Fii Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1415 H/1995 M), p.55
[9]Khabar shadiq adalah sumber ilmu dalam Islam. Ia adalah informasi benar yang memiliki otoritas. Imam al-Nasafi menjelaskan bahwa yang termasuk khabar shadiq ada dua. Pertama, yaitu informasi yang tidak diragukan lagi karena berasal dari banyak sumber yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta, dan oleh karena itu merupakan sumber ilmu yang pasti kebenarannya. Kedua, informasi yang dibawa dan disampaikan Rasul SAW yang diperkuat dengan mu’jizat. Informasi jenis ini bersifat istidlaliy. Lihat Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA Thn II No 5 April-Juni 2005
[10]Abu Hamim al-Ghazali, Al-Munqidz min al-Dlalal (Kairo: Silsilah Tsaqafat Islamiyah, 1961), p. 13-14
[11]Ibid
[12]Lihat Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mu’jam al-Mufradat Li al-Faadzi al-Qur’an al-Karim, p. 745 dan Manna Khalil al-Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Qur’an, p. 36-37
[13]Muhammad Ali Al-Shabuni, Al-Tibyan fii Ulum al-Qur’an (terj), (Jakarta: Pustaka Amani, 1422 H/2001 M), p.70. Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman: “Dia (Nabi) tidak berkata dari hawa nafsunya, tidak ialah wahyu yang diwahyukan (Allah) kepadanya”. QS al-Najm 30
[14]Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fii Ulum al-Qur’an (Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, jilid I, 1429 H/2008 M), p.63
[15]Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an (Beirut-Libanon: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1995 M/1415 H Jilid I), p. 45
[16]M.M. Al-A’zami, The History the Qur’anic text From Revelation to Compilation, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi (terjemahan), (Jakarta: GIP, 2005), p. 71
[17]Hadis shahih riwayat Imam Bukhari dalam Shahih al-Bukhari bab Bada’a al-wahyi hadis no.2, Imam Muslim dalam Shahih Muslim Kitab al-Fadlail hadis no.4303, Imam Turmudzi dalam Sunan Turmudzi hadis no. 3567, dan Imam Ahmad dalam Musnadnya hadis no. 24092
[18]Al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, p.64
[19]HR. Sahahih riwayat Hakim dalam Al-Itqan fii Ulum al-Qur’an
[20]Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fii Ulum al-Qur’an, p.64 dan Muhammad Abdul ‘Adzim al-Zarqani, Manahil al-Irfan Fii Ulum al-Qur’an, p.55
[21] Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: GIP, 2008), p. 10
[22]Karena terlalu bersemangat dan tekesan terburu-buru Allah SWT akhirnya mengingatkan agar pelan-pelan melafalkan disesuaikan dengan kemampuan Sahabat, hal ini dapat disimak dalam QS Al-Qiyamah 16-19
[23]Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Madkhal Li Dirasah al-Qur’an al-Karim, terjemah oleh Taufiqurrahman Studi Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka setia,1992), p.11
[24]Lihat Abd. Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi al-Qur’an, p.41. dalam buku tersebut terdapat kesalahan pemahaman konsep wahyu. Wahyu oral yang diterima Nabi SAW bukanlah berbentuk ide. Pemahaman ini adalah bersumber dari pemikiran Abu Zaid yang menduga bahwa wahyu yang diterima Nabi SAW adalah berbentuk ide sedangkan lafadznya berasal dari benak Nabi SAW.
[25] Ibid..p, 70
[26]Adin Armas, Kritik Arthur Jeffery terhadap al-Qur’an, Majalah Islamia Thn I No.2 Juni-Agustus 2004, p.8
[27]M.M. Al-A’zami, p. 75 . laporan ubaid juga dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari disebutkan bahwa riwayat tersebut shahih melalui al-Nasa’i, al-Hakim dan Abu Dawud. Lihat juga Ibn ‘Asyur, Tafsir al-Tanwih (Tunis: Al-Sadaad al-Tanwiyah Li Nasr, 1984), p 73
[28] Ibn ‘Asyur, Tafsir al-Tanwih, p. 73
[29] Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, p. 63
[30] Abd. Moqsith Ghazali, Metodologi Studi al-Qur’an, p. 21
[31]Muhammad Hasan Husnu Jabal,Wistaqah al-Naql al-Nash al-Qur’aniy min Rasulillahi Ilaa Ummatihi (Kairo-Mesir: Dar al-Shahabah Li al-Turatsh), p. 16
[32]Abd. Moqsith Ghazali (dkk), Metodologi Studi al-Qur’an, p.9
[33]Lihat M.M. Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text from Revelation to Compilation; Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, p.73
[34]Baca Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash Dirasah fi Ulum al-Qur’an (Beirut: al-Markaz al-Thaqafiy al-Arabiy, 1994)
[35]Muhammad Abu Zahrah, Al-Mu’jizah al-Kubra al-Qur’an (Kairo: Dar al-Fikr al-Araby), p. 583
[36]Ibid, p. 586-587
[37]Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, p. 228. Lihat juga Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fii Ulum al-Qur’an, p.62. Lihat juga pendapat Abul Barakat Samir dalam Al-‘Ismah wa al-Najah min Tahrifi Kitabillah (Thoif: Maktabah al-Tharfaini, 1410 H/1990 M), p. 59 dan Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, p.43
[38] Ibid,. p. 234
[39] Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, p. 43
[40] Muhammad ‘Abdul ‘Adzim al-Zarqani, p. 43
[41]Al-Qur’an sejak awal tertulis di Lauhul Mahfudz, seperti keterangan dalam QS Al-Buruj 21-22 “Bahkan ia adalah Qur’an yang mulia yang tersimpan di Lauhul Mahfudz. Manna al-Qattan menafsirkan bahwa al-Qur’an tersebut telah tertulis di Lauhul Mahfudz.
[42]Lihat kembali Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fii Ulum al-Qur’an, p.63. Di situ al-Suyuti mengumpamakan seakan-akan Allah SWT menyerahkan sebuah naskah tulisan kepada Nabi Muhammad SAW. Allah SWT mengatakan kepada Jibril, bacalahkanlah al-Kitab ini kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian Jibril turun tanpa mengubah redaksi lafadznya sedikitpun, seakan-akan Allah SWT menulis sebuah tulisan yang kemudian diserahkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Jibril.
[43] Lihat Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an, p.89
[44]Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash, p. 69. Lihat juga Nar Hamid Abu Zaid (terj), Kritik Teks Keagamaan, p. 70
[45]Mohammed Arkoun, The Unthought, p. 117-118 dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA, Thn I No2, Juni-Agustus 2004, p.21
[46]Hasyim Sahlih, Al-Amanah wa al-Din: al-Islam, al-Masihiyah, al-Gharb (London: Dar al-Saqi’, 1990), p. 82
[47]Mohammed Arkoun, Al-Fikr al-Ushuli wa istihalat al-Ta’shil(terj)(London: Dar al-Saqi’, 1999), p.35-36
[48]Ibid, p. 30
[49]Mohammed Arkoun, Min Faysal al-Tafriqah Ila Fasl al-Maqal: ‘Ayna Huwa al-Fikr al-Islamiy al-Mu’ashir [from Faysal to Fasl al-Maqal:Where is Islamic Thought], (Beirut: Dar al-Saqi, 1993), p. 59
[50]Lihat Mohammed Arkoun, Al-Fikr al-Ushuli wa istihalat al-Ta’shil(terj), p.29-30
[51]Mohammed Arkoun adalah pendukung paham pluralisme Agaman versi John Hick. Lihat Jurnal Pemikiran Islam dan Peradaban ISLAMIA Thn. I No.4/Januari-Maret 2005, p. 61
[52]Richard Elliot Friedman, penulis buku Who Wrote the Bible mengatakan kitab Taurat merupakan teka-teki paling tua, dalam kitab tersebut tidak ditemukan ayat yang menjelaskan Musa sebagai penulisnya. Lihat Richard Elliot Friedman, Who Wrote the Bible (New York: Perennial Library, 1989), p. 15-18
[53]QS Al-Hijr 9: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungghunya Kami benar-benar memeliharanya”
[54]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim (Beirut: Alam al-Kutub), p. 65
[55]Mohammed Arkoun, Al-Fikr al-Ushuli wa istihalat al-Ta’shil, p. 29-30
[56]Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya, p.vii dikatakan . Dalam buku Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an ditulis: “…al-Qur’an sebagai wujud konkret pesan Tuhan dalam bentuk Bahasa Arab oral memuat kira-kira sekitar lima puluh persen pesan Tuhan; dan Mushaf Usmani sebagai wujud konkret pesan Tuhan dalam bentuk Bahasa Arab tulis hanya memuat sekita kira-kira tiga puluh persen pesan Tuhan”
[57]Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Madkhal fii Dirasat al-Qur’anil Karim, p. 24. Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, dan Imam Ahmad. Lihat juga riwayat Abu Ubaid ,Fadha’il, p.280 dalam Al-Itqan fii Ulum al-Qur’an.
[58]HR. Tirmidzi dalam sunan Tirmidzi hadis no. 3086 dan dalam al-Suyuthi, Al-Itqan, p.173 jilid I
[59]As-Suli, Adabu al-KuttabI, p. 165 dalam M.M. Al-A’zami,The History The Qur’anic Text from Revelation to Compilation;Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, p.73
[60] Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Madkhal fii Dirasat al-Qur’anil Karim, p.32 dan 34
[61]Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Madkhal fii Dirasat al-Qur’anil Karim, p. 50
[62]Abdurrahman bin Ibrahim al-Mathrudiy, Al-Ahruf al-Qur’aniyyah al-Sab’ah (Riyadh: Dar al-Kutub), p. 95
[63]M.M. Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text from Revelation to Compilation (terj), p.98
[64]Abdurrahman bin Ibrahim al-Mathrudiy,Al-Ahruf al-Qur’aniyyah al-Sab’ah, p.101
[65] Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, p.10
[66]Uraian lengkap tentang rasm Usmani yang menampung varian qiraat dapat dibaca di Rasm al-Mushaf wa Dhabtuhu bayn al-Tauqif wa al-Isthilahaat al-Haditsah karya Sya’ban Muhammad Ismail dan lihat juga dalam Muhammad Abu Zahrah, Al-Mu’jizah al-Kubra (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy), p. 34
[67] Lihat Al-Itqan..,p. 263-270 dan Al-Madkhal fii Ulum al-Qur’an al-Karim, p.181-182
[68] Shalah Abdul Fattah al-Kholidi, Al-Qur’an wa Naqdu Mutha’in al-Rahban (Damaskus: Dar al-Qalam, 1426 H/2005 M), p.11-18 dalam kitab ini al-Kholidi juga menjawab persoalan gramatika al-Qur’an.
[69]Anggapan tersebut misalnya dapat dilihat dalam Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, Kritik Atas Nalar Tafsir Gender (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004). Pada halaman 55 buku itu ditulis: Penulis menganggap bahwa wahyu dalam arti al-Qur’an sudah beralih rupa menjadi Mushaf Ustmani. Karena itu, kini penulis akan menyebutnya sebagai Mushaf. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan mana pesan Tuhan dan mana pesan Mushaf, sebab antara keduanya ada perbedaan yang cukup signifikan.
[70]Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpu: ISTAC, 1993), p. 38-43
[71]Alphonse Mingana, Bulletin of the John Rylands Library (Manchester, 1927) XI: 77 dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA, Thn I No 2, Juni-Agustus 2004, p. 37-38. Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak, pernah melontarkan pernyataan yang hampir sama, bahwa saatnya sekarang melakukan kajian kritik teks al-Qur’an, sebagaimana yang telah dilakukan terhadap Bibel.