Oleh: Saifurrijal
Inpasonline.com-Istilah gender berasal dari bahasa Inggris yang secara literal dimaknai sebagai jenis kelamin. Namun jenis kelamin yang dimaksud adalah jenis kelamin sosial, budaya, politik, serta keagamaan yang didasarkan pada fiksi prempuan dan laki-laki. Ada yang mengartikan bahwa, “gender merupakan kajian tentang tingkah laku perempan dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan.
Gender berbeda dari seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempaun (Syafiq Hasyim, Bebas Dari Patriarkhisme Islam, hal. 35-36). Gender juga berbeda dengan perempuan. Banyak yang menyamakan pemahaman dan pengertian gender dengan perempuan. Pernyataan tersebut sama sekali tidak benar dan menyesatkan. Pertama, itu sama sekali tidak benar karena definisi gender memang bukan perempuan. Kedua, menyesatkan karena menyemakan definisi gender dengan perempuan berarti kita mereduksi universalitas istilah gender itu sendiri (Syafiq Hasyim, Bebas Dari Patriarkhisme Islam. hal. 40). Namun pada kenyatannya bisakah kita berbicara gender namun tidak membahas sex sama sekali?.
Adapun pengertian feminism menurut Jonne Hollows secara umum feminism dianggap sebagai suatu bentuk politik yang bertujuan untuk mengintervensi dan mengubah hubungan kekuasaan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Caroline Ramazanoglu mendeninisikan feminisme yaitu ‘pelbagai macam teori sosial yang menjabarkan hubungna antara jenis kelamin dalam masyarakat dan perbedaan antara pengalaman yang dialami oleh laki-laki dan perempuan, yang juga merupakan praktik politik (Joanne Hollows, Feminisme,feminitas, dan budaya popular , hal. 4). Namun laki-laki dan perempuan ketika berjalan sesuai dengan porosnya masing-masing yang telah ditentukan oleh pencipta manusia maka keseimbangan kehidupan akan terjadi.
Munculnya feminisme golongan kedua pada kasus di Amerika dan Inggris. Para feminis dua Negara ini berjuang menuntut kesetaraan upah, kesetaraan akses terhadap pendidikan, dan kesetaraan kesempatan kerja;mereka memperjuangkan kontarsepsi gartis dan hak untuk melakukan aborsi;tentang pekerjaan rumah tangga yang tak diupah, perlengkapan anak yang gratis, juga kemerdekaan secara ekonomi maupun hokum; mereka menuntut hak perempuan untuk menentukan seksualitas mereka sendiri, free sex; dan mereka memmprotes kekekrasan seksual dalam rumah tangga 1960-an dan 1970-an (Joanne Hollows, Feminisme,feminitas, dan budaya popular, hal. 5). Masalah keseteraan hak menjadi isu yang selalu diangkat oleh kalangan feminisme dari dulu sampai sekarang.
Teori feminis berusaha menganalisis pelbagai kondisi yang membentuk kehidupan kaum perempuan dan menyelidiki beragam pemahaman kultural mengengai apa artinya menjadi perempuan. Awalnya teori feminis diarahkan oleh tujuan politik gerakan perempuan, yakni kebutuhan untuk memahami subordinasi perempuan dan eksklusi atau marjinalisasi perempuan dalam pelbagai wilayah kultural maupun sosial. Kaum feminis menolak pandangan bahwa ketidak selarasan antara laki-laki dan perempuan bersifsat alamiah dan tak terelakan.
Sebagai sumber islam, Al-Q ur’an dan hadits juga menyinggung persoalan perempuan, baik perempuan sebagai individu, sebagai istri, sebagai anggota masyarakat atau identitas lainnya. Al-Qur’an juga mempersepsikan perempuan sebagai individu yang memiliki hak setara dengan laki-laki. Apabila perempuan berbuat sesuatu, makak pahala mereka sama dengan apa yang diperbuat oleh laki-laki. Perempuan juga dijamin oleh Al-Qur’an sebagaimana laki-laki bisa mencapai kesempurnaan dalam ketaqwaan (Stevi Jakson dan Jackie Jones, Pengantar Teori-Teori Femionis Kontemporer, hal. 1). Dengan demikian ada bentuk konseptualitas Al-Qur’an atas perempuan.
Kasus Amina Wadud)
Kehadiran amin awadud sebagai seorang aktivis dan pemikir perempuan Isalan (feminis Muslim) mulai menggemparkan dunia Islam ketika dia mulai menyampaikan khutbah jum’at di sebuah masjid besar di Afrika Selatan. Hal yang sama juga dilakukannya di sebuah Gereja di Amerika bebrapa tahun lalu, dimana Amin atampil menjadi Imam shalat yang makmumnya tidak hanya laki-laki, namun juga kaum perempuan (Syafiq Hasyim, Bebas Dari Patriarkhisme Islam. hal. 351).
Semangat Kebebasan
Dia dilahirkan di Pakistan, ia menjadi perempaun pertama, 1976, di Negara tersebut yang bekerja untuk melayani luar Negfri (foreign service). Pada Zaman Zia ul Haq, Asma diberhentikan dari tugasnya karena kritiknya yang keras terhadap kekuasaan rezim militer di Pakistan yang dipimpin oleh seorang Jendral. Selepas dari perkerjaannya ia bergabung sebagai asisten editor pada the Muslim, sebuah surat kabar yang menjadi oposisi terhadap kebijakan pemerintah, karena situasi yang tidak kondusif ia pindah ke Amerika. Riwayat pendidikan, Universitas di Pakistan B.A dalam bidang sastra Inggris dan filsafat, lalu MA dalam bidang jurnalisme, dan PhD dalam bidang kajian Internasional di Universitas Danver di Kalorado, Amerika Serikat. Dia menulis buku Believing Women Islam Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an (2002).
Kasus Haideh Moghissi
Dia adalah salah seorang perempuan Iran yang harus meninggalkan hak dasarnya untuk hidup dan berkehidupan di Negaranya sendiri, karena hak dasar yang dimilikinya dianggap bertentangan dengan misi Syari’ah Islam. Menurut system ini, fungsi seorang perempaun (istri) harus hidup di bawah regulasi syari’ah yang mengharuskan (istri) tinggal di dalam rumah, “wajib memakai hijab”, “taat kepada suami”, dan sebagainya. Mereka yang tidak mau hidup seperti aturan ini, akan mendapatkan sanksi hukum, kalau tidak mereka harus meninggalkan Negaranya, meskipun hak untk hidup di Negara sendiri adalah sebagian dari hak dasar manusia. Apa yang dialaminya adalah potret dimana hak-hak perempuan selalu menjadi target pertama sebuah system yang mengadopsi model Syari’ah (fundamentalis).
Kesimpulannya, kaum feminis berpandangan bahwa gender tidak sama dengan sex. Mereka menolak bahwa subordinasi adalah natural atau fitrah. Dan mereka juga mendefinisikan gender sebagai bangunan yang dikonstruk oleh sosial, politik dan budaya namun juga mereka mengakui bahwa gender juga tidak bisa lepas dari sex.
Sejarah panjang yang membawa kaum feminis yaitu gejola untuk melepaskan belenggu pemisah dan subordinasi kaum wanita atas pria, mereka menuntut hak sesetaraan dalam berbagai hal sampai akhirnya pada kebebasan sex yang dianggap sebagai jalan untuk mencapai kemandirian kaum wanita.
Penulis adalah Peserta PKU Unida Gontor Angkatan XI