SURBAYA – Pakar Pluralisme agama, Dr. Anis Malik Thoha, memanfaatkan waktu liburannya untuk melakukan rihlah ilmiah di Jawa Timur. Tidak seperti rihlah biasanya yang pergi ke tempat-tempat rekreasi, tapi rihlah yang dilakukan oleh Dosen IIUM Kuala Lumpur ini adalah menghadiri undangan beberapa Pesantren dan Kampus di Jawa Timur.
Selama beberapa hari di Jawa Timur, terlihat jadwal kunjungannya sangat padat. Dimulai dari menjadi pemateri seminar di Pondok Pesantren Langitan Tuban pada Jum’at, 1 Juli 2011, kemudian dilanjutkan ke Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang dan berakhir di STAIN Ponorogo.
Di tengah-tengah padatnya jadwal kunjungan pria kelahiran Pati Jawa Tengah ini, Inpas memanfaatkan keberadaannya di Surabaya untuk berdiskusi seputar permasalahan pemikiran di Indonesia. Meskipun dilaksanakan pada waktu yang sangat memaksa, yaitu ba’dha sholat Shubuh hingga jam 8 pagi, tapi diskusi ini banyak membahas hal penting yang perlu diketahui umat.
Salah satu poin pembahasan yang paling banyak mendapat tanggapan dari para peserta adalah kesalahan memahami istilah-istilah pemikiran Islam. Ia mencontohkan, banyak orang yang salah memahami istilah pluralisme. Istilah pluralisme seolah-olah disamakan dengan pluralitas dan toleransi, padahal keduanya jauh berbeda. Istilah pluralisme, tegas Assistant Professor IIUM Kuala Lumpur ini, jelas bermakna paham yang menyamakan semua agama sebagaimana ditegaskan oleh para pakar pluralisme dunia. Jadi bukan toleransi biasa, tetapi melebihi dari batas toleransi karena memaksa penganut agama untuk tidak hanya percaya pada agamanya sendiri, tetapi harus meyakini dan mengakui agama lain sebagai kebenaran juga.
Di samping istilah pluralisme, peraih penghargaan gold medal dari IIUI Pakistan ini juga menyinggung masalah hermeneutika Al-Qur’an. Menurutnya, ia kaget dengan salah seorang pakar di Indonesia yang menyamakan istikah Hermeneutika dengan Tafsir. Padahal dalam semua referensi ilmu Al-Qur’an tidak ada satupun ulama yang mendefinisikan sesederhana itu. Ia membacakan definisi para ulama tentang tafsir Al-Qur’an yang diambilnya dari kitab Al-Itqan karya As-Suyuthi. Menurutnya, seluruh ulama mendefinisikan Tafsir sebagai ilmu untuk memahami Al-Qur’an bukan yang lainnya.
Kesalahan dalam memahami istilah-istilah tersebut, tegasnya, kadang memang disengaja untuk mengacaukan konsep-konsep Islam. Makna secara bahasa dan istilah sering tidak dibedakan secara tegas untuk mengaburkan makna asli dari sebuah istilah. Tujuan akhirnya tidak lain agar umat menjadi tidak peka terhadap istilah di luar Islam sehingga memudahkan untuk menyandingkan ke dalam istilah-istilah umat Islam. Dari situlah akan muncul distorsi-distorsi yang merugikan Islam. Oleh karena itu, penulis buku Tren Pluralisme Agama ini berharap agar Inpasonline.com. menjadi mediator untuk menjelaskan istilah-istilah keagamaan secara kompleks dari berbagai perspektif agar umat tidak salah memahaminya.
Selain membahas masalah kerancuan memahami istilah keagamaan, peneliti INSISTS ini juga menyampaikan beberapa pengalamannya ketika menjadi pemateri di forum-forum international yang membahas masalah pluralisme agama. Dalam sebuah acara di Turkey, ia yang mewakili IIUM Kuala Lumpur pernah berdebat panjang dengan seorang tokoh Ateis, yang terang-terangan mengaku tidak percaya dengan agama dan segala pernak-perniknya. Dalam forum tersebut, pria yang pernah meraih Isma’il Al-Faruqi Publications Award di Malaysia ini, menyampaikan makalah “Teaching-Learning Religions after 9/11: A Preliminary Assessment of Islamic Cases”.
Dalam makalah tersebut, ia menyampaikan masalah fenomena naluri keberagamaan yang oleh para pakar perbandingan agama biasa disebut sebagai sensus numinis yang jamak ditemukan di semua lapisan komunitas manusia. Istilah ini juga sering disebut sui generis, sensus communis, dan religio naturalis.
“Pertanyaan yang segera mencuat ke permukaan dan mengusik kesadaran kritis kita adalah bagaimana dan dari mana naluri yang demikian pervasive dan universal ini muncul? Adakah ia lahir dan muncul dengan begitu saja, atau ada sebab-sebab di belakangnya? Para sarjana modern berusaha mencoba menjelaskan fenomena ini dengan mengajukan beberapa teori (yang disebut-sebut) “ilmiah”, yang paling menonjol diantaranya adalah (i) psikoanalitis a la Freudian, yang menunjuk kepada faktor psikologis individu manusia yang lemah dan powerless sebagai peyebab utamanya; dan (ii) sosio-antropologis a la Durkhei`mian yang mengidentifikasi faktor sosiologis sebagai penyebab utamanya. Tapi dalam kenyataannya, di samping gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, justeru kedua teori ini malah menyisakan sejumlah pertanyaan baru yang tentu saja tak mudah dijawab”, jelasnya panjang lebar.
Kesimpulannya, tegas pria yang menjabat sebagai Deputy Dean (IIUM Press) ini, hanya Islam yang memiliki konsep yang jelas dan selaras dengan logika untuk menjelaskan masalah ini secara begitu meyakinkan. Dalam perspektif Islam, sensus numinis ini memang sudah ditanamkan oleh Allah SWT kepada setiap individu semenjak masih berada di alam ruh, ketika manusia masih jauh berada dalam blueprint (cetak-biru) ilahi atau yang bisa disebut juga archetypal world, sebagaimana yang termaktub dalam surat al-A’raf: 172.
Ketika selesai menyampaikan makalahnya, terjadilah perdebatan itu, yang pada intinya tokoh ateis tersebut tidak terima jika setiap manusia punya naluri keberagamaan. Malik menjelaskan bahwa ateis itu sendiri juga agama, karena agama adalah sesuatu yang diyakini seseorang mampu memberikan solusi segala permasalahan hidupnya. Jika seseorang meyakini ateis sebagai jalan yang baik bagi dirinya maka jadilah ia agama bagi dirinya.
Ketika ditanya tentang bagaimana ritual ateis, Malik menjawab bahwa ritual tidaklah harus pergi ke sebuah tempat seperti masjid atau gereja, cukup jika seseorang melakukan sebuah aktivitas yang mengekspresikan keyakinannya tersebut itu sudah cukup dikatakan sebagai ritual. Termasuk orang ateis sendiri, bagaimana mereka mengekspresikan keyakinannya tersebut hanya mereka yang tahu bentuk-bentuknya.
“Perdebatan tersebut berlanjut hingga di luar forum bahkan hingga berlarut-larut tanpa ada yang mau mengalah. Perdebatan ini selesai setelah Oliver Leaman, dari University of Kentucky, USA dan tokoh-tokoh dari agama Yahudi membenarkan tesis saya. Barulah tokoh ateis tersebut menerima atas argumen saya,” jelas pria yang Excellent dalam Bahasa Inggris, Arab dan Urdu ini. (mm)