Oleh M. Anwar Djaelani
Inpasonline.com-Para kafir manapun, jangan pernah bangga jika pernah berdekat-dekat dengan orang yang mulia. Bukankah sejarah mengajarkan: Ada anak Nabi, istri Nabi, suami dari wanita calon penghuni surga dan sekaligus ikut mengasuh Nabi (di masa kecilnya), serta paman Nabi yang tetap tak selamat dunia-akhirat karena tak beriman?
Pelajaran Kuat
Lihatlah sebagian anggota keluarga atau orang-orang yang pernah ada di sekitar Nuh As, Musa As, Luth As, dan Muhammad Saw. Mari cermati.
Setelah Nuh As berdakwah lama, tak banyak yang lalu beriman. Bahkan, salah seorang putranya termasuk yang ingkar. Maka, datanglah azab Allah berupa banjir besar.
Salah satu putra Nuh As itu termasuk yang dibinasakan. “Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung, dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat jauh terpencil: ‘Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir’. Anaknya menjawab: ‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!’ Nuh berkata: ‘Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang’. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan” (QS Huud [11]: 42-43).
Memang, sempat timbul kasihan di hati Nuh As terhadap anaknya. Segera ia meminta dengan sedih kepada Allah agar menyelamatkannya. Bukankah Allah telah menjanjikan sebelumnya, akan menyelematkannya beserta seluruh keluarganya? Sedangkan anaknya termasuk keluarganya pula. Bukankah jika Allah berjanji pasti akan menepatinya. Dia adalah Hakim yang Maha Adil.
Mendengar permintaan Nuh As itu, Allah menjawab; “Bahwa anaknya yang kafir itu tidak termasuk keluarga yang telah dijanjikan Allah atas keselamatan mereka itu, karena ia belum beriman. Bahkan, sebaliknya, dia fanatik dalam kekufurannya dan melakukan perbuatan yang tak terpuji” (Afif Abdullah, 1985: 102).
Sekarang kita perhatikan Nabi Luth As. Sebagai Nabi, Luth As gigih berdakwah. Sayang sekali, bahkan istri beliau sendiri memilih untuk berada di barisan orang yang ingkar. “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?’ Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: ‘Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan diri.’ Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu” (QS Al-A’raaf [7]: 80-84).
Ayat di atas menerangkan bahwa azab Allah turun karena pembangkangan mereka kepada Nabi Luth As dan termasuk pula praktik homoseksual yang mereka lakukan. Istri Nabi Luth As termasuk yang tak selamat dari azab karena ada di barisan pembangkang.
Kemudian, mari kita lihat Asiyah. Dia adalah teladan. “Cukuplah wanita-wanita ini sebagai panutan kalian, yaitu Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad dan Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun” (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Siapa Asiyah? Dia adalah salah satu wanita utama yang disebut sebagai calon penghuni surga. “Sebaik-baik wanita penduduk surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad dan Asiyah istri Fir’aun” (HR Ahmad).
Saat bersama Fir’aun, Asiyah tidak dikaruniai seorang anakpun. Fir’aun sangat mencintainya karena kecantikan dan kematangan akhlaknya. Berbagai kesulitan mampu dia ubah menjadi kemudahan, sehingga Asiyah dikenal sebagai rahmat bagi masyarakat di zaman Fir’aun yang penuh kezaliman.
Di antara puncak kezaliman Fi’aun adalah ketika dia memutuskan bahwa semua bayi laki-laki Bani Israel yang lahir diperintahkan agar dibunuh karena dinggap berbahaya bagi kekuasaannya. Pada masa seperti itulah lahir Musa. Ibu Musa yang tak ingin membunuh anaknya sendiri, lalu menghanyutkan bayi itu di sungai dan bayi itupun ditemukan Asiyah. Relakah Fir’aun?
Fir’aun luluh dengan bujukan Asiyah ketika ia berkata, “Kita tidak mempunyai keturunan anak laki-laki, maka jangan bunuh anak ini. Semoga ada manfaatnya untuk kita atau kita jadikan dia sebagai anak kandung kita” (www.republika.co.id 16/06/2011). Tapi, di akhir cerita, meski Fir’aun dekat dengan Asiyah dan pernah dekat dengan Nabi Musa As (di masa kecilnya) dia tak selamat dunia-akhirat,
Terakhir, kita ikuti sebagian sejarah Nabi Muhammad Saw. Tersebutlah Abu Lahab, paman kandung Nabi Saw. Sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasulullah, dalam tali kekeluargaan, hubungan paman-keponakan sangat baik. Misal, seketika Muhammad lahir, Abu Lahab menyatakan sukacitanya karena kelahirannya dipandang sebagai pengganti adiknya (yang bernama Abdullah) yang telah meninggal. Bahkan, Abu Lahab lalu mengirimkan salah seorang pembantunya yang muda yang bernama Tsuaibah untuk menyusukan Muhammad sebelum datang Halimatus Sa’diyah dari Desa Bani Sa’ad.
Keadaan itu lalu berbalik setelah Muhammad Saw diangkat menjadi Rasulullah. Sejak itu pulalah terjadi penentangan yang amat keras dari Abu Lahab kepada Islam. Bahkan kerasnya penentangan itu melebihi kerasnya penentangan Abu Jahal.
Meski Abu Lahab paman kandung Nabi Saw, namun oleh karena sikap yang menantang Islam, maka namanya disebut terang dalam Al-Qur’an. Kedudukan Abu Lahab -kata HAMKA-, seperti Fir’aun, Haman, dan Qarun. Nama-nama itu sama-sama disebut dalam kehinaaan. “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa” (QS Al-Lahab [111]: 1).
Jangan Bangga
Alhasil, duhai kaum kafir, dekat saja dengan orang shalih tidak cukup. Duhai kaum yang zalim, sekadar berjabat-tangan dengan orang yang mulia tidak akan pernah menjamin seseorang akan turut menjadi mulia pula. []